KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji
syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya makalah (Tasawuf dan
Karakteristik Tasawuf) ini. Tanpa ridho, hidayah dan inayah-NYA mustahil penulisan makalah
ini bisa selesai secara tepat waktu.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak/Ibu Dosen yang telah membimbing dan mengajarkan Mata Kuliah Pengantar Studi Islam ini serta pihak-pihak yang
bersangkutan yang telah membantu,sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
Meskipun demikian kami menyadari
makalah ini jauh dari kata sempurna ,oleh karena itu saran dan kritik dari
semua pihak,khususnya teman-teman seprofesi menjadi harapan bagi kami guna
perbaikan selanjutnya.
Akhirnya permohonan dan harapan
semoga apa yang telah kami lakukan mendapat ridho dan kebaikan dari Allah SWT,
serta bermanfaat bagi para pembaca sebagai jembatan ilmu pengetahuan. Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Lamongan,
18 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
1. KATA
PENGANTAR................................................................. 1
2. DAFTAR
ISI................................................................................
2
3. BAB
I PENDAHULUAN............................................................ 3
A. Latar
Belakang.........................................................................
3
B. Rumusan
Masalah.................................................................... 4
C. Tujuan......................................................................................
4
D. Manfaat....................................................................................
4
4. BAB
II PEMBAHASAN.............................................................. 5
A. Pengertian
Tasawuf.................................................................. 5
B. Karakteristik
Tasawuf.............................................................. 7
5. BAB
III PENUTUP.......................................................................
11
A. Kesimpulan................................................................................
11
B. Saran..........................................................................................
11
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan
Hadits bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi ruang gerak
manusia. Al-Qur’an dan hadits adalah
panduan hidup yang mengiringi manusia menuji ketentraman, kedamaian dan
kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi
dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dpat dirasakan dengan jiwa yang
tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi
dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti melalui panca indra dan organ
tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses komunikasi yang dilakukan antara
jiwa suci dngan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang luat biasa dan
anugrah yang tiada tara.
Mengikat lingkaran rohani dengan Allah
merupakan tujuan akhir kehidupan manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani
dan fiitrah yang diciptakan Allah disebut kehidupan yang hakiki. Sedangkan
kehidupan yang hanya berdasarkan kepada materi saja adalah kehidupan yang semu.
Oleh karena itu manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan
oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha
yang mengarah kepada pesucian jiwa di dalam kehidupan disebut tasawuf.
Ilmu tasawuf juga ilmu yang menjelaskan
tentang tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka mencari dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin
menyelami makna syar’iyah secara lebih mendalam untuk menemukan hakikat agama
islam. Bagi kaum sufi yang mementingkan syari’at dan hakikat sekaligus,
misalnya shalat, tidaklah hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan
tertentu, tetapi adalah dialong
spiritual antara seorang hamba dengan tuhannya.
Ibadah
bagi para sufi harus dilakukan sepenuh hati, dengan mencurahkan seluruh
perhatian pada makna-makna rohaniyah yang terkandung didalamnya. Sikap para
sufi pada mulanya didasarkan pada rasa takut, tetapi kemudian rasa takut itu
diubah dan dikembangkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah (801 M), seorang sufiyati dari
Basrah (Irak). Dengan rasa cinta kepada Allah melebihi cinta kepada apapun juga.
Seorang sufi yang mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui
pengembangan rohani dinamakan salik. Salik yanki orang yang bepergian jauh
dan menempuh perjalanan dengan langkah lambat dan teraturmelalui tarikan
tertentu dan harus melewati tujuh tingkatan menuju ke satu tujuan yaitu
pertemuan dengan kenyataan yaitu Allah sendiri. Jalan atau tarikan (tariqat) itu, kemudian menjadi
organisasi sufi itu sendiri, dipimpin oleh seorang guru yang disebut syeikh (mursyid) yang berfungsi sebagai
penunjuk jalan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Tasawuf?
2. Bagaimana
Karakteristik Tasawuf?
C. Tujuan
1. Penulis
Menjelasakan Pengetian Tasawuf
2. Penulis
menjelaskan Karakteristik Tasawuf
D. Manfaat
1. Kita
Dapat Mengetahui Pengertian Tasawuf.
2. Kta
Dapat Mengetahui Karakteristik Tasawuf.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf
Ada beberapa pengrtian yang
dikemukakan oleh bebeapa ahli mengenai asal kata tasawauf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata ahl al-suffah, yaitu orang-orang yang
ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah. Kehilangan harta benda dan
dalam keadaan miskin, mereka tinggal di masjid dan tidur diatas batu dengan
memkai pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut suffah. Meskipun miskin, ahl
suffah berhati mulia, tidak mementingkan keduniaan, itu merupakan
sifat-ssifat kaum sufi.[1]
Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf pertama
dalam shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada di shaf pertama akan
mendapat kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah
dan diberi pahala. Dan ada yang berpendapat bahawa tasawuf berasal dari kata al-shafa’ yang berarti suci. Seorang
sufi adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihan-latihan yang lama.[2]
Menurut Abu Bakar Al-Kalabi dalam
bukunya al-ta’aruf li mazhab ahl tasawuf
yaitu: taubat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, takwa, tawakal, kerelaan,
cinta, ma’rifah. Abu Hasan Al-Qusairi membaginya kepada: taubat, waa’, tawakal,
sabar dan kerelaan.[3]
Mengenai asal-usul kata
tasawuf para ahli berbeda pendapat. Diantara pendapat yang banyak itu, ada satu
pendapat yang sering ditulis dalam buku-buku mengenai tasawuf di indonesia.
Pendapat itu mengatakaan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, artinya bulu
domba kasar. Disebut demikian, karena orang-orang yang memakai pakaian itu
disebut orang-orang sufi atau mutasawwif, hidup dalam kemiskinan dan
kesederhanaan. Mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai
lambang kesederhanaan dan[4]
kemiskinan. Berlawanan dengan pakaian yang terbuat dari sutra yang biasa
dipakai oleh orang-orang kaya.
Dalam sejarah tasawuf telah lahir
sejumlah zahid (orang yang tidak
tertarik kepada harta dan kesenangan duniawai), diantaranya Hasan Al-Basri,
Rabi’ah Al-Adwiyah, Junaidi Al-Baghdadi, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Jalaluddin
Ar-Rumi. Mereka telah mengelola dan mengembangkan sikap atau emosi (perasaan)
keberagaman dalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa. Dengan
tekanan yang bervariasa, mereka telah mengembagkan rasa takut kepada Tuhan dan
azab-NYA.
Dengan demikian arti khas yang menambah mauatan pengertian
tasawuf adalah upaya mengelola atau mengembangkan sikap dan perasaan
keberagaman dalam kehidupan yang diridhai Allah atau dalam rangka mencapai
kedekatan dengan-NYA. Dalam perkembangannya kemudian, kalau dihubungkan dengan
pembicaraan terakhir ini, kata mutasawwif tersebut dapat dipahami mengacu
kepada orang yang sedang berjuang menjalankan upaya tasawuf, sedangkan sufi
mengacu kepada mereka yang telah mencapai tujuan tasawuf.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak
meninginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk
menunjang ibadahnya dan tingkatan ma’rifat yang dimiliki cukup menjadikan ia
bahagia dalam hidupnya karena merasa bersama-sama dengan Tuhannya.4
B. Karakteristik
Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat
mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf
secara umum, terlihat adanya tiga sasaran dari tasawuf[5],
yaitu:
1.
Tasawuf yang
bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan
jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga
manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf seperti ini bersifat praktis.
2.
Tasawuf yang
bertujuan untuk ma’rifatullah melalui
peyingkapan langsung (kasyf al-hijab). Tasawuf
ini bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan
secara sistematis analitis.
3.
Tasawuf yang
bertujuan membahas bagaimana system pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah
secara mistis filosofis. Arti dekat dengan Tuhan terdapat tiga simbolis, yaitu:
dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam
arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan
Tuhan, dekat dalam arti penyatuan
manusia dengan Tuhan sehingga terjadi adalah monolog antara manusia yang telah
menyatu dengan idarat Tuhan.
Orang-orang sufi
mempunyai jalan rohsni untuk mencpai tujuannya yang menjadi tempat mereka
bejalan. Thariqat (jalan) unini berdasarkan pada asas dan petunjuk
serta berpatokan pada al-Qur’an dan Hadits. Prinsip jalan sufi ini dinamakan al-maqamat wa al-ahwal[6]. Maqam
merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah
dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah
memudahkanya untuk menempuh jalan menempuh tingkatan kedua. Hal ini misalnya
dari tingkatan taubat menuju tingkatan
wara’, dari tingkatan wara’ menuju tingkatan zuhud. Demikian jalanya hinggaa mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.
Imam Abu Nashr
Al-Sarraj Al-Tusi membicarakan maqam pada:
taubat. Al-wara’, zuhud, al-faqr, al-shabr,
al-ridha tawakal.[7]
a.
Taubat
Taubat merupakan batu
pertama jalan menuju Allah dan merupakan penyerahan diri kepada-NYA. Taubat
adalah mensucikan manusia dari maksiat dan menghaapus kesalahan (dosa-dosa)
sebelumnya[8].
Taubat oran sufi adalh taubat dari lalai beribadah. Taubat semacam ini
mempunyai syarat sehingga dapat menyiapkan manusia menempuh tujuanya dengan
satu kesiapan yang sempurna. Syarat-syarat tersebut meliputi, pertama agar
manusia meninggalkan maksiat, kedua agar manusia menyesali perbuatanya dan ketiga agar dirinya
bertekat untuk tidak mengulangi kesalahan untuk selama-lamanya. Jika satu
syarat tidak terpenuhi tidak sah taubatnya. Apabila perbuatanya ada kaitanya
dengan manusia, syaratnya ada empat, yaitu tiga syarat yang diatas dan yang
keempat adala membersihkan diri dari hak orang lain.
b.
Wara’
Wara’ adalah
meninggalkan segala sesuatu yang mengandung syubhat
(kesamaran) di dalamnya. Menurut Abdul Halim wara’ adalah kehati-hatian
di dalam perkataan, hati nurani dan perbuatan[9].
Dalam perkataan adalah menahan dari ucapan sia-sia yang tidak bermanfaat dan
membuang waktu. wara’ dalam arti
sanubari adalah mencegah manusia agar tidak lengah dalam hal-hal remeh. Wara’ dalam perbuatan meliputi
kewaspadaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, semuanya
harus berasal dari hasil yang halal.
c.
Zuhud
Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan
terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan akhirat. Zuhud berarti mengasingkan
diri dari kehidupan duniawi untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan
rohani. Memrangi keinginan hawa nafsu di dalam pengasinganya dan dalam
penggembaraan.[10]
d.
Faqr
Faqr
tidak diartkan kemiskinan tanpa ada usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Akan tetapi faqr dalam
konteks sufi adalah hidup bagaikan orang fakir. Faqr tidak membutuhkan lebih banyak dari apa yang telah dimiliki,
merasa puas dan bahagia atas apa yang sudah dimiliki. Sehingga tidak meminta
sesuatu yang lain secara berlebihan. Sikap mentar faqr ini merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi
pengaruh kehidupan materi. Dengan tertanamnya
sikap rohaniyah faar ini, maka
dalm menerima atau memanfaatkan segala sesuatu bersikap wara’.
e.
Sabar
Sabar sabar merupakan
sikap mental yang fundamental bgi sufi dalam usahanya mencapai sasaran. Sabar
diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam
pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendirianya tidak labil walau
bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal
menyeah, karena seorang sufi beranggapan bahwa egala sesuatu yang terjadi adalh
iradah Allah yang mengandung ujian.[11]
f.
Tawakal
Tawakal bukan berarti
menyerahkan semua urusan kepada Allah
tanpa dibarengi perencanaan yang matang dan tanpa usaha. Akan tetapi
tawakal secara umum berarti pasrah secara bulat kepada Allah setelah
melaksanakan sesuatu sesuai rencana dan usaha. Tawakal itu tidak lepas dari
rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang, hasilnya diserahkan kepada
Allah.
g.
Mahabbah
Harun nasution[12]
mengatakan bahwa pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain: pertama, memleluk kepatuhan kepada Tuhan dan
membenci sikap melawan kepada-NYA. Kedua, menyerahkan seeluruh diri kepada yang
dikasihi. Ketiga, mengisongkan diri dari segala sesuatu kecualidari diri yng
dikasihi. Maqam mahabbah dialami oleh Rabi’ah Al-Adawiyah. Rasa cinta kepada
Allah begitu bergelora, siang malam bermunajat kepada Allah. Cinta memenuhi
kalbunya sehingga tidak ada ruang raa benci sekecil apapun.
h.
Ridha
Sikap mental ridha merupakan kelanjutan dari rasa
cinta atau perpaduan dari mahabbah
dan sabar. Ridha juga mengandung arti
menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terkait apa saja yang menimpa
dirinya dan tidak berburuk sangka kepada Allah. Dengan timbulnya rasa cinta
yang diperkuat dengan ketabahan, maka terbina pula kelapangan hati dan
kesediaan yang tulus untuk berkorban berbuat apa saja yang diperintahkan sang
kekasih. Rela menuruti apa yang dikendaki Allah tanpa ada rasa keterpaksaan. Ia
merasa puas terhadap pemberian dari Allah walaupun sedikit bila dibandingkan
dengan yang diterima orang lain.[13]
i.
Ahwal
Disamping istilah maqamat terdapat pula dalam literature tasawuf yaitu istilah ahwal. Maqamat diperoleh manusia dengan usaha
manusia itu sendiri yang tidak berubah, sedangkan ahwal tidak diperoleh manusia dari usaha manusia tetapi merupakan anugrah
dari Allah. Ahwal merupakan keadaan
mental yang hadir secara optimis tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan
pemaksaan, seperti perasaan senang. sedih, perasaan takut dan lain-lain. Ahwal yang biasa terdapat dalam tasawuf adalah takut, tawadu’, taqwa,
ikhlas, rasa berteman, gembira dan syukur.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu bentuk usaha dengan tujuan mendekatkan diri
kepada Allah. Sedangkan karakteristik tasawuf
sangatlah banyak diantaranya taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal,
mahbbah, ridha dan ahwal yang disebut maqam.
Semua kararistik tersebut di lakukan para sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan tanpa dibarengi dengan unsur ingin dipuji manusia atau sejenisnya.
B. Saran
Setelah
mempelajari pengertian tasawuf dan karakteristiknya diharapakan kita mampu
untuk mengaplikasikanya didalam kehidupan sehari-hari, walaupun masih kurang
maksimal. Namun itu merupakan suatu bentuk usaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan penuh pengabdian dan keikhlasan kepada-NYA.
[1] (Harun Nasution.filsafat islam dan misitisisme dalam islam.1977.H.57
)
[2]
(Pengantar Ilmu Tasawuf.1982.H.9)
[3]
(Harun.Op.cit.H.62-63)
[4](Mahyuddin.1991.H.120)
[5]
(A.Rivay Siregar.Tasawuf dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme.1999.57)
[6] (Abdul Halim.Op.cit.H.38)
[7]
(Ibid.H.39)
[8] (Harun.Op.cit.H.62-63)
[9] (Abdul Halim.Op.cit.H.55)
[10] (Simun.Tasawuf dan Perkembangan
Isalam.1996.H.60)
[11] (Tim Penyusun.Op.cit.H.106)
[12](Harun Nasution.Op.cit.H.139)
[13] (Ibrahim Basuni.Op.cit.H.139)
[14] (Harun Nasution.Op.cit.H.63)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar