Jumat, 16 Januari 2015

Makalah



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
            Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya makalah (Tasawuf dan Karakteristik Tasawuf) ini. Tanpa ridho, hidayah dan inayah-NYA mustahil penulisan makalah ini bisa selesai secara tepat waktu.
            Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak/Ibu Dosen yang telah membimbing dan mengajarkan Mata Kuliah Pengantar Studi Islam ini serta pihak-pihak yang bersangkutan yang telah membantu,sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
            Meskipun demikian kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna ,oleh karena itu saran dan kritik dari semua pihak,khususnya teman-teman seprofesi menjadi harapan bagi kami guna perbaikan selanjutnya.
            Akhirnya permohonan dan harapan semoga apa yang telah kami lakukan mendapat ridho dan kebaikan dari Allah SWT, serta bermanfaat bagi para pembaca sebagai jembatan ilmu pengetahuan. Amin.
            Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

                                                                                    Lamongan, 18 Oktober 2013 

                                                                                                       Penulis



 




DAFTAR ISI



1.      KATA PENGANTAR.................................................................      1
2.      DAFTAR ISI................................................................................      2
3.      BAB I PENDAHULUAN............................................................     3
A.    Latar Belakang.........................................................................     3
B.     Rumusan Masalah....................................................................     4
C.     Tujuan......................................................................................     4
D.    Manfaat....................................................................................     4
4.      BAB II PEMBAHASAN..............................................................    5
A.    Pengertian Tasawuf..................................................................    5
B.     Karakteristik Tasawuf..............................................................     7
5.      BAB III PENUTUP.......................................................................    11
A.    Kesimpulan................................................................................   11
B.     Saran..........................................................................................   11















BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Al-Qur’an dan Hadits bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi ruang gerak manusia.  Al-Qur’an dan hadits adalah panduan hidup yang mengiringi manusia menuji ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan  yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dpat dirasakan dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti melalui panca indra dan organ tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses komunikasi yang dilakukan antara jiwa suci dngan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang luat biasa dan anugrah yang tiada tara.

 Mengikat lingkaran rohani dengan Allah merupakan tujuan akhir kehidupan manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani dan fiitrah yang diciptakan Allah disebut kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan yang hanya berdasarkan kepada materi saja adalah kehidupan yang semu. Oleh karena itu manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah kepada pesucian jiwa di dalam kehidupan disebut tasawuf.
Ilmu tasawuf juga ilmu yang menjelaskan tentang tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka mencari dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin menyelami makna syar’iyah secara lebih mendalam untuk menemukan hakikat agama islam. Bagi kaum sufi yang mementingkan syari’at dan hakikat sekaligus, misalnya shalat, tidaklah hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan tertentu, tetapi adalah  dialong spiritual antara seorang hamba dengan tuhannya.
 Ibadah bagi para sufi harus dilakukan sepenuh hati, dengan mencurahkan seluruh perhatian pada makna-makna rohaniyah yang terkandung didalamnya. Sikap para sufi pada mulanya didasarkan pada rasa takut, tetapi kemudian rasa takut itu diubah dan dikembangkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah (801 M), seorang sufiyati dari Basrah (Irak). Dengan rasa cinta kepada Allah melebihi cinta kepada apapun juga. Seorang sufi yang mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pengembangan rohani dinamakan salik. Salik yanki orang yang bepergian jauh dan menempuh perjalanan dengan langkah lambat dan teraturmelalui tarikan tertentu dan harus melewati tujuh tingkatan menuju ke satu tujuan yaitu pertemuan dengan kenyataan yaitu Allah sendiri. Jalan atau tarikan (tariqat) itu, kemudian menjadi organisasi sufi itu sendiri, dipimpin oleh seorang guru yang disebut syeikh (mursyid) yang berfungsi sebagai penunjuk jalan.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian Tasawuf?
2.    Bagaimana Karakteristik Tasawuf?

C.  Tujuan
1.      Penulis Menjelasakan Pengetian Tasawuf
2.      Penulis menjelaskan Karakteristik Tasawuf

D.  Manfaat
1.    Kita Dapat Mengetahui Pengertian Tasawuf.
2.    Kta Dapat Mengetahui Karakteristik Tasawuf.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Tasawuf
           
            Ada beberapa pengrtian yang dikemukakan oleh bebeapa ahli mengenai asal kata tasawauf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf  berasal dari kata ahl al-suffah, yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah. Kehilangan harta benda dan dalam keadaan miskin, mereka tinggal di masjid dan tidur diatas batu dengan memkai pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut suffah. Meskipun miskin, ahl suffah berhati mulia, tidak mementingkan keduniaan, itu merupakan sifat-ssifat kaum sufi.[1] 

            Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada di shaf pertama akan mendapat kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala. Dan ada yang berpendapat bahawa tasawuf  berasal dari kata al-shafa’ yang berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihan-latihan yang lama.[2]

            Menurut Abu Bakar Al-Kalabi dalam bukunya al-ta’aruf li mazhab ahl tasawuf yaitu: taubat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, takwa, tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah. Abu Hasan Al-Qusairi membaginya kepada: taubat, waa’, tawakal, sabar dan kerelaan.[3] 

                   Mengenai asal-usul kata tasawuf para ahli berbeda pendapat. Diantara pendapat yang banyak itu, ada satu pendapat yang sering ditulis dalam buku-buku mengenai tasawuf di indonesia. Pendapat itu mengatakaan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, artinya bulu domba kasar. Disebut demikian, karena orang-orang yang memakai pakaian itu disebut orang-orang sufi atau mutasawwif, hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kesederhanaan dan[4] kemiskinan. Berlawanan dengan pakaian yang terbuat dari sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya.
      
       Dalam sejarah tasawuf telah lahir sejumlah zahid (orang yang tidak tertarik kepada harta dan kesenangan duniawai), diantaranya Hasan Al-Basri, Rabi’ah Al-Adwiyah, Junaidi Al-Baghdadi, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Jalaluddin Ar-Rumi. Mereka telah mengelola dan mengembangkan sikap atau emosi (perasaan) keberagaman dalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa. Dengan tekanan yang bervariasa, mereka telah mengembagkan rasa takut kepada Tuhan dan azab-NYA.
      
       Dengan demikian arti khas yang menambah mauatan pengertian tasawuf adalah upaya mengelola atau mengembangkan sikap dan perasaan keberagaman dalam kehidupan yang diridhai Allah atau dalam rangka mencapai kedekatan dengan-NYA. Dalam perkembangannya kemudian, kalau dihubungkan dengan pembicaraan terakhir ini, kata mutasawwif tersebut dapat dipahami mengacu kepada orang yang sedang berjuang menjalankan upaya tasawuf, sedangkan sufi mengacu kepada mereka yang telah mencapai tujuan tasawuf.

       Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak meninginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya dan tingkatan ma’rifat yang dimiliki cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa bersama-sama dengan Tuhannya.4






B.  Karakteristik Tasawuf
       Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran dari tasawuf[5], yaitu:
1.      Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral.  Tasawuf seperti ini bersifat praktis.
2.      Tasawuf yang bertujuan untuk ma’rifatullah melalui peyingkapan langsung (kasyf al-hijab). Tasawuf ini bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis.
3.      Tasawuf yang bertujuan membahas bagaimana system pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis. Arti dekat dengan Tuhan terdapat tiga simbolis, yaitu: dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan,  dekat dalam arti penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dengan idarat Tuhan.

            Orang-orang sufi mempunyai jalan rohsni untuk mencpai tujuannya yang menjadi tempat mereka bejalan. Thariqat (jalan)  unini berdasarkan pada asas dan petunjuk serta berpatokan pada al-Qur’an dan Hadits. Prinsip jalan sufi ini dinamakan al-maqamat wa al-ahwal[6]. Maqam merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkanya untuk menempuh jalan menempuh tingkatan kedua. Hal ini misalnya dari tingkatan taubat menuju tingkatan wara’, dari tingkatan wara’  menuju tingkatan zuhud. Demikian jalanya hinggaa mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.
Imam Abu Nashr Al-Sarraj Al-Tusi membicarakan maqam pada: taubat. Al-wara’, zuhud, al-faqr, al-shabr, al-ridha tawakal.[7]
a.       Taubat
Taubat merupakan batu pertama jalan menuju Allah dan merupakan penyerahan diri kepada-NYA. Taubat adalah mensucikan manusia dari maksiat dan menghaapus kesalahan (dosa-dosa) sebelumnya[8]. Taubat oran sufi adalh taubat dari lalai beribadah. Taubat semacam ini mempunyai syarat sehingga dapat menyiapkan manusia menempuh tujuanya dengan satu kesiapan yang sempurna. Syarat-syarat tersebut meliputi, pertama agar manusia meninggalkan maksiat, kedua agar manusia  menyesali perbuatanya dan ketiga agar dirinya bertekat untuk tidak mengulangi kesalahan untuk selama-lamanya. Jika satu syarat tidak terpenuhi tidak sah taubatnya. Apabila perbuatanya ada kaitanya dengan manusia, syaratnya ada empat, yaitu tiga syarat yang diatas dan yang keempat adala membersihkan diri dari hak orang lain.
b.      Wara’
Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang mengandung syubhat (kesamaran) di dalamnya. Menurut Abdul Halim wara’ adalah  kehati-hatian di dalam perkataan, hati nurani dan perbuatan[9]. Dalam perkataan adalah menahan dari ucapan sia-sia yang tidak bermanfaat dan membuang waktu. wara’ dalam arti sanubari adalah mencegah manusia agar tidak lengah dalam hal-hal remeh. Wara’ dalam perbuatan meliputi kewaspadaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, semuanya harus berasal dari hasil yang halal.
c.       Zuhud
Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari  rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan akhirat. Zuhud  berarti mengasingkan diri dari kehidupan duniawi untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani. Memrangi keinginan hawa nafsu di dalam pengasinganya dan dalam penggembaraan.[10]
d.      Faqr
Faqr tidak diartkan kemiskinan tanpa ada usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi faqr dalam konteks sufi adalah hidup bagaikan orang fakir. Faqr tidak membutuhkan lebih banyak dari apa yang telah dimiliki, merasa puas dan bahagia atas apa yang sudah dimiliki. Sehingga tidak meminta sesuatu yang lain secara berlebihan. Sikap mentar faqr ini merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Dengan tertanamnya  sikap rohaniyah faar ini, maka dalm menerima atau memanfaatkan segala sesuatu bersikap wara’.
e.       Sabar
Sabar sabar merupakan sikap mental yang fundamental bgi sufi dalam usahanya mencapai sasaran. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendirianya tidak labil walau bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyeah, karena seorang sufi beranggapan bahwa egala sesuatu yang terjadi adalh iradah Allah yang mengandung ujian.[11]
f.       Tawakal
Tawakal bukan berarti menyerahkan semua urusan kepada Allah  tanpa dibarengi perencanaan yang matang dan tanpa usaha. Akan tetapi tawakal secara umum berarti pasrah secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan sesuatu sesuai rencana dan usaha. Tawakal itu tidak lepas dari rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang, hasilnya diserahkan kepada Allah.



g.      Mahabbah
Harun nasution[12] mengatakan bahwa pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain: pertama, memleluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-NYA. Kedua, menyerahkan seeluruh diri kepada yang dikasihi. Ketiga, mengisongkan diri dari segala sesuatu kecualidari diri yng dikasihi.  Maqam mahabbah dialami oleh Rabi’ah Al-Adawiyah. Rasa cinta kepada Allah begitu bergelora, siang malam bermunajat kepada Allah. Cinta memenuhi kalbunya sehingga tidak ada ruang raa benci sekecil apapun.
h.      Ridha
Sikap mental ridha merupakan kelanjutan dari rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Ridha juga mengandung arti menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terkait apa saja yang menimpa dirinya dan tidak berburuk sangka kepada Allah. Dengan timbulnya rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan, maka terbina pula kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban berbuat apa saja yang diperintahkan sang kekasih. Rela menuruti apa yang dikendaki Allah tanpa ada rasa keterpaksaan. Ia merasa puas terhadap pemberian dari Allah walaupun sedikit bila dibandingkan dengan yang diterima orang lain.[13]
i.        Ahwal
Disamping istilah maqamat terdapat pula dalam literature tasawuf yaitu istilah ahwal. Maqamat diperoleh manusia dengan usaha manusia itu sendiri yang tidak berubah, sedangkan ahwal tidak diperoleh manusia dari usaha manusia tetapi merupakan anugrah dari Allah. Ahwal merupakan keadaan mental yang hadir secara optimis tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti perasaan senang. sedih, perasaan takut dan lain-lain. Ahwal yang biasa terdapat dalam tasawuf adalah takut, tawadu’, taqwa, ikhlas, rasa berteman, gembira dan syukur.[14]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
      Dari uraian di atas disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu bentuk usaha dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan karakteristik tasawuf sangatlah banyak diantaranya taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, mahbbah, ridha dan ahwal yang disebut maqam. Semua kararistik tersebut di lakukan para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tanpa dibarengi dengan unsur ingin dipuji manusia atau sejenisnya.

B.       Saran  
     Setelah mempelajari pengertian tasawuf dan karakteristiknya diharapakan kita mampu untuk mengaplikasikanya didalam kehidupan sehari-hari, walaupun masih kurang maksimal. Namun itu merupakan suatu bentuk usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh pengabdian dan keikhlasan kepada-NYA.


[1] (Harun Nasution.filsafat islam dan misitisisme dalam islam.1977.H.57 )
[2] (Pengantar Ilmu Tasawuf.1982.H.9)
[3] (Harun.Op.cit.H.62-63)
[4](Mahyuddin.1991.H.120)
[5] (A.Rivay Siregar.Tasawuf dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme.1999.57)
[6] (Abdul Halim.Op.cit.H.38)
[7] (Ibid.H.39)
[8] (Harun.Op.cit.H.62-63)
[9] (Abdul Halim.Op.cit.H.55)
[10] (Simun.Tasawuf dan Perkembangan Isalam.1996.H.60)
[11] (Tim Penyusun.Op.cit.H.106)
[12](Harun Nasution.Op.cit.H.139)
[13] (Ibrahim Basuni.Op.cit.H.139)
[14] (Harun Nasution.Op.cit.H.63)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar