KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin puji syukur
selalu kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan nikmat beliaulah kita bisa merasakan manis dan pahitnya hidup dan dengan nikmat itu pula kita bisa menyelesaikan penulisan laporan dengan baik dan
lancar.
Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad. Mudah – mudahan tetap
terhaturkan kepada Nabi Muhammad SAW karena atas perjuangan beliaulah yang
telah membawa kita dari jalan kebodohan menuju jalan kecerdasan sehingga kita
dapat menyelesaikan dengan beberapa ilmu pengetahuan.
Penulisan makalah ini adalah salah satu persyaratan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ilmu Kalam. Dan selanjutnya, kami juga menyadari bahwa tugas
ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami mengharap saran
dan kritik yang membangun dalam memperbaiki tugas ini, dan mudah–mudahan tugas
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya,dan para pembaca pada umumnya.
Lamongan, 03 November 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu kalam merupakan objek kajian
berupa ilmu pengetahuan dalam agama Islam yang dikaji dengan menggunakan dasar
berfikir berupa logika dan dasar kepercayaan-kepercayaaan pribadi atau suatu
golongan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan akan eksistensi atau keberadaan
Tuhan, bagaimana Tuhan, seperti apa wujudnya dan pertanyaan-pertanyaan sejenis
lainnya yang berhubungan dengan Tuhan.
Pembahasan di atas terlihat
merupakan dasar-dasar dari pembahasan ilmu kalam itu sendiri dan bagaimana
peranannya atau korelasinya dengan kurikulum pendidikan agama islam. Dengan begitu
diharapkan kita mampu menguasai dasar pembahasan tentang ilmu kalam dan
korelasinya dengan kurikulum pendidikan Islam.
Adapun tujuan utama dari ilmu kalam
adalah untuk menjelaskan landasan keimanan umat Islam dalam tatanan yang
filosofis dan logis. Bagi orang yang beriman, bukti mengenai eksistensi dan
segala hal yang menyangkut dengan Tuhan yang ada dalam al-Qur’an, Hadits,
ucapan sahabat yang mendengar langsung perkataan Nabi dan lain sebaganya, sudah
cukup. Namun tatkala masalah ini dihadapkan pada dunia yang lebih luas dan
terbuka, maka dalil-dalil naqli tersebut tidak begitu berperan. Sebab, tidak
semua orang meyakini kebenaran al-Qur’an dan beriman kepadanya. Karenanya
diperlukan lagi interpretasi akal terhadap dalil yang sudah ada dalam al-Qur'an
tersebut untuk menjelasakannya. Awalnya perbincangan mengenai teologi ini
hanyalah debat biasa sebagai diskusi untuk mempertajam pemahaman keIslaman,
namun lama-kelamaan ia membentuk sebuah kelompok pro-kontra yang berjuang pada
kebencian, permusuhan dan bahkan peperangan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Ilmu Kalam?
2.
Dari
mana sumber-sumber Ilmu Kalam?
3.
Bagaimana
sejarah munculnya persoalan-persoalan Ilmu Kalam?
C.
Tujuan
Sebagai sebuah disiplin ilmu, komponen ilmu yang
memperkuat keimanan seorang, disiplin ilmu kalam merupakan komponen ilmu-ilmu
dasar universitas yang dikaji disetiap fakultas ilmu-ilmu keislaman. Dengan
tujuan agar setiap alumninya secara khusus mampu menjadi pengajar mata kuliah
ilmu kalam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa
disebut dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh
Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut Ilmu Ushuluddin karena
ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin); Disebut ilmu
tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT. Di dalamnya dikaji
pula tentang asma’ (nama-nama) dan af’al(perbuatan-perbuatan) Allah
yang wajib, mustahil, dan ja’iz, juga sifat
yang wajib, mustahil dan ja’iz, bagi Rasul-Nya. Ilmu tauhid sendiri
sebenarnya membahas keesaan Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.
Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid,
tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.
Oleh sebab itu, sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.
Abu Hanifah menyebut
nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar[1]. Menurut persepsinya, hukum Islam yang dikenal dengan
istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh al-akbar, membahas
keyakinan atau pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashgar; membahas
hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama tetapi
hanya cabang saja.
Teologi Islam
merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa Inggris,
theology. Willian L.Reese mendefinisikannya dengan discourse or reason
concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan)[2].
Dengan mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan,
“Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both
philosophy and science.” (Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara
tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).
Sementara itu. Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang
keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.
Masih berkaitan
dengan hakikat Ilmu Kalam, Musthafa Abdul Raziq berkomentar:
“Ilmu ini (Ilmu
Kalam) yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas
argumentasi-argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islam
ini bertolak atas bantuan nalar.”
Sementara itu,
Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
Ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang
mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati
yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu
ketuhanan secara filosofis.
Ibnu Kaldun
mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
“Ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang
diperkuat dalil-dalil rasional.”
Apabila memperhatikan
definisi ilmu kalam di atas, yakni ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan
dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat, secara teoretis aliran
Salaf tidak dapat dimasukkan ke dalam aliran ilmu kalam, karena aliran ini
–dalam masalah-msalah ketuhanan- tidak menggunakan argumentasi filsafat atau
logika. Aliran ini cukup dimasukkan ke dalam aliran ilmu tauhid atau ilmu
ushuluddin atau fiqh al-akbar.
B. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Sumber-sumber ilmu
kalam adalah berikut ini.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an : Banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,
diantaranya:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ
الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(4) (1-4 : ( الأخلاص
الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا (
الفرقان :59)
“Yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang
lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.”
الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَن أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا
عَظِيمًا ( الفتح :10)
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji
setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah
di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat
ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
Sebagai sumber ilmu
kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan, di antaranya adalah.
a. Q.S. Al-Ikhlas
(112): 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak
diperanakan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sekutu
(sejajar) dengan-Nya.
b. Q.S.
Asy-Syura (42): 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di
dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S. Al-Furqan (25): 59. Ayat ini menunjukkan bahwa
Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia Pencipta langit, bumi,
dan semua yang ada di antara keduanya
d. Q.S. Al-Fath (48): 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan
mempunyai “tangan” yang selalu berada di atas tangan orang-orang yang melakukan
sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
e.
Q.S. Thaha (20): 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan
mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk
gerakan hati makhluk-Nya.
f. Q.S. Ar-Rahman (55): 27. Ayat ini menunjukkan bahwa
Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan rusak selama-lamanya.
g. Q.S. An-Nisa’ (4): 125. Ayat ini menunjukkan bahwa
Tuhan menurunkan aturan berupa agama. Seseorang akan dikatakan telah
melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
h. Q.S. Luqman (31): 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang
yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah disebut sebagai orang muhsin.
i. Q.S. Ali Imran (3): 83. Ayat ini menunjukkan bahwa
Tuhan adalah tempat kembali segala sesuatu, baik secara terpaksa maupun secara
sadar.
j. Q.S. Ali Imran (3): 84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa
Tuhanlah yang menurunkan petunjuk jalan kepada para nabi.
k. Q.S. Al-Anbiya (21): 92. Ayat ini menunjukkan bahwa
manusia dalam berbagai suku, ras, atau etnis, dan agama apapun adalah umat
Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua umat, dalam kondisi dan situasi apapun,
harus mengarahkan pengabdiannya hanya kepada-Nya.
l. Q.S. Al-Hajj (22): 78. Ayat ini menunjukkan bahwa
seseorang yang ingin melakukan suatu kegiatan yang sungguh-sungguh akan
dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya hanya karena Allah SWT semata.
Ayat-ayat di atas
berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan, tuntunan, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rincinya tidak
ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan
rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan itu
disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan
istilah ilmu kalam.
2. Hadits
Hadis Nabi SAW. pun
banyak yang menyinggung
hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارزًا يومًا للناسِ
فأَتاه رجلٌ فقال : ما الإيمان قال : الإيمان أن تؤمنَ بالله وملائكتِهِ وبلقائِهِ
وبرسلِهِ وتؤمَن بالبعثِ قال : ما الإسلامُ قال : الإسلامُ أن تعبدَ اللهَ ولا
تشركَ به وتقيمَ الصلاةَ وتؤدِّيَ الزكاةَ المفروضةَ وتصومَ رمضانَ قال : ما
الإحسان قال : أن تعبدَ الله كأنك تراهُ، فإِن لم تكن تراه فإِنه يراك قال : متى
الساعةُ قال : ما المسئولُ عنها بأَعْلَم مِنَ السائل، وسأُخبرُكَ عن أشراطِها؛
إِذا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذا تطاولَ رُعاةُ الإبِلِ البَهْمُ في
البنيان، في خمسٍ لا يعلمهنَّ إِلاَّ الله ثم تلا النبيُّ صلى الله عليه وسلم (
إِنَّ الله عنده علم الساعة ) الآية : ثم أدبر فقال : رُدُّوه فلم يَرَوْا شيئاً
فقال : هذا جبريل جاءَ يُعَلِّمُ الناسَ دينَهم . متفق عليه
“ Dari Abi Hurairah ia berkata: Suatu
hari Nabi SAW. nampak di tengah manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya
dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah engkau percaya
pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari kubur
(hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab:
“Islam adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah
shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya
lagi: “Apakah Ihsan itu?”. Rasul menjawab: “Hendaklah engkau
beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau
tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu bertanya
lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang
ditanya tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya,
aku akan jelaskan tentang tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak
melahirkan tuannya, apabila para penggembala binatang ternak telah berlomba
bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal yang tak seorangpun mengetahuinya
kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat : إِنَّ الله عنده علم الساعة sampai
ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat:
“Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi.
Lalu Nabi berkata: “Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan
kepada manusia tentang agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada pula beberapa
Hadis yang kemudian dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai
kemunculan berbagai golongan dalam Ilmu Kalam, di antaranya adalah:
“Hadis yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,
“Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan: Dan
umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”
“Hadis yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,
“Akan menimpa umatku apa yang pernah menimpa Bani Israil. Bani Israil telah
terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu
golongan saja. “Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat.
Rasulullah menjawab, ‘Mereka adalah yang mengikuti jejakku dan
sahabat-sahabatku.’
Syaikh Abdul Qadir
mengomentari bahwa Hadis yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang
merupakan salah satu kajian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Di
antara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari beberapa sahabat,
seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darda, Jabir, Abu Said Al-Khurdi,
Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Ada pula pada riwayat
yang hanya sampai kepada sahabat. Di antaranya adalah Hadis yang mengatakan
bahwa umat Islam akan terpecah belah ke dalam beberapa golongan. Di antara
golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang lainnya
sesat.
Keberadaan Hadis yang
berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut di atas, pada dasarnya
merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para
sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa Hadis-hadis seperti itu
lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang
bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3. Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia
dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri atau pemikiran yang
berasal dari luar umat Islam.
Sebelum filsafat
Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah
menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya
(al-mutayabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan
dari beberapa ayat Al-Quran, di antaranya:
(أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى
قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ( محمد : 24
“Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci.” (Q.S. Muhammad
[47]: 24)
“Maka apakah mereka
tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu, dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata.” (Q.S. Qaf (50): 6-7)
Dari ayat yang
disebutkan di atas, terdapat kata-kata tafakkar, tafaquh, nazhar, tadabbar,
tadzakkar, fahima, aqala, ulu al-albab, ulu al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu
an-nuha. Semua ayat tersebut berkaitan langsung dengan anjuran motivasi, bahkan
perintah kepada manusia untuk menggunakan rasio. Dengan demikian, manusia dapat
melaksanakan fungsi utamanya, yakni sebagai khalifah Allah SWT. untuk mengatur
dunia. Dengan demikian, jika ditemukan seorang muslim telah melakukan suatu
kajian objek tertentu dengan rasionya, hal itu secara teoretis bukan karena
adanya pengaruh dari pihak luar saja, tetapi karena adanya perintah langsung
Al-Qur’an sendiri.
Bentuk kongkret
penggunaan pemikiran Islam sebagai ilmu kalam adalah ijtihad yang dilakukan
para mutakallim dalam persoalan-persoalan tertentu yang tidak ada penjelasannya
dalam Al-Qur’an dan Hadis, misalnya persoalan manzillah bain al-manzilatain
(posisi tengah di antara dua posisi) di kalangan Mu’tazilah; persoalan ma’shum
dan bada di kalangan Syi’ah; dan persoalan kasab di kalangan Asy’ariyah.
Adapun sumber ilmu
kalam berupa pemikiran yang berasal dari luar Islam dapat diklasifikasikan
dalam dua kategori. Pertama, pemikiran nonmuslim yang telah menjadi peradaban
lalu ditransfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat Islam. Proses transfer
dan asimilasi ini dapat dimaklumi karena sebelum Islam masuk dan berkembang, dunia
Arab (Timur Tengah) adalah suatu wilayah tempat diturunkannya agama-agama
samawi lainnya. Agama-agama itu beberapa kali diturunkan Allah SWT. di dunia
Arab antara lain disebabkan masyarakatnya dikenal suka ingkar pada kebenaran
dan suka hipokrit. Oleh sebab itu, secara kultural, mereka adalah orang-orang
yang suka menyelewengkan kebenaran Tuhan, sehingga sangat pantas kalau setiap
kali terjadi penyelewengan selalu terjadi degradasi nilai-nilai kemanusiaan
yang sangat memilukan.
Karena kondisi
inilah, Allah SWT menurunkan kembali agama Islam yang lurus untuk mengikis
penyelewengan terhadap agama-agama samawi dan dekadensi moral. Agama-agama
samawi yang telah diselewengkan itu adalah Mazdakiyah, Manawiyah, Yahudi, dan
Nasrani. Di antara para penganut agama itu, terdapat para teolog, pemikir
agama, dan tokoh lainnya yang sangat ahli di bidangnya. Setelah masuk Islam,
mereka membawa ide dan pemikiran yang selama ini mereka geluti ke dalam Islam
sehingga menimbulkan permasalahan baru di dalam Islam. Di antara permasalahan
itu ada yang berkaitan dengan ketuhanan. Padahal, pada masa Rasulullah SAW.,
permasalahan itu tidak pernah muncul apalagi berkembang.
Abu Hasan Ismail
Al-Asy’ari mengatakan bahwa pada masa awal Islam terdapat dua orang tokoh agama
lan. Satu orang di antaranya beragama Nasrani yang bernama Ma’bad bin Abdillah
Al-Juhani Al-Bisri. Ia datang ke Madinah lalu menghasut masyarakat Madinah
dengan mengajarkan masalah qadar. Ia mempertanyakan apakah takdir itu berasal
dari Allah SWT. Padahal takdir merupakan konsekuensi logis dari suatu karya
manusia yang bebas dari pengaruh siapapun dan apapun. Para ulama pada masa itu
telah memperingatkan masyarakat muslim agar menjauhi Ma’bad karena
menganggapnya sebagai racun yang berbahaya bagi masyarakat. Ma’bad juga
dianggap sebagai orang yang sesat dan menyesatkan. Kemudian Ma’bad ditangkap,
dihukum mati, dan disalib oleh Khalifah Malik bin Marwan di Damaskus pada tahun
ke-8 H.
Seorang tokoh lainnya
bernama Abdullah bin Wahab bin Saba’ yang terkenal dengan panggilan Ibn Sauda.
Ia adalah seorang Yahudi yang masuk Islam, tetapi masih membawa pemikiran
keyahudiannya ke dalam Islam. Di antara pemikiran yang dibawa dan disebarkan
kepada masyarakat Islam adalah imamah. Ia mengajarkan bahwa Ali bin Abi Thalib
r.a. adalah seorang khalifah yang diperkuat oleh nash agama, sedangkan semua
khalifah sebelumnya tidak sah, bahkan menganggapnya telah merebut hak orang
lain. Ajaran lainnya berkaitan dengan anggapan bahwa kehidupan Ali r.a.
bersifat lestari. Oleh karena itu, Ali r.a. tidak meninggal atau terbunuh dan
ia akan datang lagi menjadi Ratu Adil pendamai dunia pada akhir zaman nanti.
Pemikiran Ibn Sauda
ini merupakan transformasi pemikiran agama Yahudi. Pemikiran ini kemudian
berkembang menjadi suatu aliran terkenal dalam Islam, yaitu Syi’ah Imamiyah.
Adapun agama
Mazdakiyah, seperti dikatakan Henry Corbin, merupakan bagian dari Zoroaster.
Agama ini dianut bangsa Iran kuno dan mengajarkan bahwa Tuhan disebut Ohrmazd
dan setan disebut Ahriman. Roh dan jasad manusia diciptakan oleh Ohrmazh.
Adapun, seluruh kejelekan, kegelapan, dan kematian merupakan perbuatan Ahriman
yang selalu berlawanan dengan Ohrmaz yang merupakan lambang semua kebaikan dan
cahaya. Thaif Abd Muin lebih jauh menjelaskan bahwa untuk mengalahkan Ahriman,
Ohrmaz terpaksa harus menciptakan alam semesta. Adapun manusia sebagai
penghuninya, berada pada garis depan dalam pertarungan antara Ahriman dan
Ohrmaz. Untuk menjaring Ahriman agar dapat dihancurkan, Ohrmaz menciptakan
sebuah senjata berupa dunia materi. Dengan senjata itu, Ohrmaz mampu memberikan
pukulan terakhirnya kepada Ahriman lalu membunuhnya.
Henry Corbin
selanjutnya mengatakan bahwa agama Mazdakiyah memberikan pengaruh kepada Islam
setelah ditransfer oleh seorang sufi yang bernama Shihabuddin Yahya
As-Suhrawardi. Ia dikenal dengan sebutan Shaikh Al-Isyraq atau Al-Maqtul atau
The Master of Oriental Theosophy: Dalam tulisannya Corbin mengatakan,
“His (Suhrarwardi)
life’s work aimed to restore the theosophical wisdom of ancient Persia in Islam
itself, and with the reshourches of the pure sriritual side of Islam.”
“Seluruh karya
Suhrawardi dimaksudkan untuk mengembalikan kebijakan teosofis dari Persia Timur
ke dalam Islam dan dijadikan sebagai sumber spiritual murni di samping Islam.”
Pemikiran Suhrawardi
ini belakangan dikembangkan lagi oleh Muhyiddin Ibn Arabi (1165-1240 M).
Kedua, berupa
pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis, seperti filsafat
(terutama dari Yunani), sejarah, dan sains.
4. Insting
Secara instingtif,
manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah
berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan
bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama di kalangan orang-orang
primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animisme –anggapan adanya kehidupan
pada benda-benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun
Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek
moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa
animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan
ibadah tertua terhadap Tuhan yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya
pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi.
Di dalam mimpi,
seorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama, dan sebagainya dengan
orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang
mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah
membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa
apa yang telah dilakukannnya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada
masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke
pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap
benda-benda langit atau alam lainnya.
Abbas Mahmoud
Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap
benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap
benda-benda alam berkembang secara beraga,. Di Mesir, masyarakatnya memuja
Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa
(semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang
menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang
sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L.
Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal
dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan
bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (thelogia was originally viewed as
concerned with myth). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “theology
natural” (teologi alam) dan “revealed theology” (teologi wahyu).
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an,
hadis, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang
mempunyai objek tersendiri tersistematisasikan, dan mempunyai metodologi
tersendiri. Dikatakan oleh Mushthafa Abd A-Raziq bahwa ilmu ini bermula di
tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya imam Al-Hasan bin Muhammad
bin Hanafiyah. Adapun orang yang pertama membentangkan pemikiran kalam secara
lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wa
al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat, dan
Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah.
C. Sejarah Kemunculan
Persoalan-Persoalan Kalam
Menurut Harun
Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah
atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin
Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan
tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash,
utusan dari pihak Mu’awiyyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa,
tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan
yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya
datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma
illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka
memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan
barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu
orang yang keluar dan memisahkan diri atau secenders.
Di luar pasukan yang
membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah
yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang
Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan
Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
‘Ali-kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak disebut
Khawarij.
Harun lebih lanjut
melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa
yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah
disbutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlihat dalam peristiwa tahkim,
yakni Ali Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, adalah kafir
berdasarkan firman Allah pada surat Al-Ma’idah ayat 44.
Persoalan ini telah
menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij,
menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar
dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah,
menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan
kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah,
yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa
besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara
mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah
manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Dalam Islam, timbul
pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran Mu’tazilah
yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional
Islam, terutama golongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu
pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Mereka yang menantang ini kemudian
mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (935 M). Di samping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di
Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan
oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal
dengan nama teologi Al-Maturidiyah.
Aliran-aliran
Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam
sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-jama’ah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin
kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu ilmu kalam dapat
diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang Tuhan melalui berbagai
pembicaraan-pembicaraan yang baik dan bersumber dari naqal maupun akal.
Sumber-sumber ilmu kalam dapat
berasal dari Al-quran, al-hadist, pemikiran manusia dan insting.
Sejarah kemunculan ilmu kalam disebabkan
oleh beberapa hal-hal yang bersangkutan dengan persoalan persolan masalah
politik, persoalan siapa yang kafir dan mukmin, serta timbulnya beberapa
aliran-aliran teologi dalam islam.
Daftar Pustaka
[1] Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia,2009, h. 13-21.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, h. 18.
[3] op. cit. h. 26-27
[4] M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam,
Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, h. 8-9.
[5] op.cit. h. 27-28.
[6] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam
Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990, h. 3-6.
[7] Muslim Nasution, Transformasi Akidah
Dalam Kehidupan, h. 39.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional
Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995, h. 111-121.
[9] Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002, h. 18-73.
[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Husna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar