BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah
Nabi, diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi
oleh perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa
tampilan Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang
beragam, perubahan jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya,
ada komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada
pula yang senang pemerintahan Republik. Bahkan, ada yang ingin kembali kepemerintah
bentuk khilafah. Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami
ajaran Islam.
Tidak bisa dihindari
lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama Muslim yang
terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman itu utuh,
pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatic buta dapat diredam, sejarah tampilan ajaran
Islam dari waktu kewaktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses
terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat
dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti.
Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh
modernis.
Di antara tokoh yang ada adalah Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiah,
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam dari pemikiran tokoh
yang telah disebutkan di atas.
A.
RumusanMasalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Salaf ?
2.
Apa saja pokok-pokok pendirian salafiyah ?
3.
Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Hambal ?
4.
Bagaimana pemikiran Imam Ibnu Hambal tentang ilmu kalam ?
5.
Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Taimiyah ?
6.
Bagaimana pemikiran Imam Taimiah tentang Teologi ?
B.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui maksud dari Ahlussunnah Salah
2.
Untuk mengetahui apa saja pokok-pokok pendirian salafiyah
3.
Untuk mengetahui Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Hambal
4.
Untuk mengetahui Bagaimana pemikiran Imam Ibnu Hambal tentang ilmu
kalam
5.
Untuk mengetahui Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Taimiyah
6.
Untuk mengetahui Bagaimana pemikiran Imam Taimiah tentang Teologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. AHLUS SUNNAH SALAF
1.
Pengertian Ahlus
Sunnah Salaf
Berkembangnya dakwah Salafiyah dikalangan
masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan umat di bawah
tuntunan Rasulullah SAW adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Maka banyak
definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi Salaf .
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad , Salaf artinya
ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk
generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in,para pemuka abad ke-3 dan para
pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan
lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama Shaleh yang hidup
pada tiga abad pertama Islam. Menurut As-Syahrastani, ulama Salaf adalah
yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan
tidak mempunyai faham tasybih. Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi
dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan Salaf sebagai
sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[1]
Aliran Salaf terdiri dari orang-orang Hanbaliah yang
muncul pada abad keempat Hijriah dengan mempertalikan dirinya dengan
pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal, yang dipandang oleh mereka telah
menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama Salaf . karena
pendapat ulam Salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang Hanabilah
menamakan dirinya “ aliran Salaf”.
Antara golongan Hanabilah tersebut dengan aliran
Asy’ariah sering terjadi pertentangan, baik yang bersifat fisik, karena di mana
terdapat aliran Asy’ariah yang kuat, maka di situ pula terdapat orang-orang Hanabilah.
Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu yang berhak mewakili ulama Salaf. [2]
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan
Salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi
gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum
akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di jerusallem dan Damaskus. Di
damaskus, Kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak
yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat
satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah adalah seorang ulama
besar penganut Imam Hanbali yang Ketat.
Ibrahim Madzkur
menguraikan karakteristik ulama salaf atau Salafiyah sebagai berikut:
1. Mereka lebih
mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah ( aql).
2. Dalam persoalan
pokok-pokok agama ( ushuludin )dan persoalan-persoalan cabang
agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari
Al-Kitab dan Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah
tanpa perenungan lebih lanjut ( tentang Dzat-Nya). Dan tidak pula mempunyai
faham anthropomorphisme.
4. Mereka memahami
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk
menakwilkannya.
Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan
Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-tokoh berikut ini dapat diketegorikan sebagai
ulma salaf, yaitu: Abdullah Bin Abbas (68 H), Abdullah Bin Umar (74 H), Umar
Bin Abdul Aziz (101 H), Az-Zuhri 124), Ja’far Ash-Shidiq (148 H),dan para Imam
Mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad Bin Hambal).
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula
dari Imam Ahmad Bin Hambal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah,
kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad Bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang
di dunia Islam secara sporadis. Di Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang
lebih dilaksan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau
Muhammadiyah. Gerakan- gerakan lainya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan
ulama
Salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh
pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang
menyatakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).[3]
2.
Pokok-pokok pendirian
Salafiyah.
Ulama salaf adalah ulama terdahulu, terdiri dari
para sahabat dan para tabiin. Aliran salaf ialah aliran faham yang ingin
menghidupkan kembali ajaran islam menurut keyakinan ulama salaf dan membasmi
aliran-aliran yang bertentangan dengan itu.[4]
Pokok pembicaraan dalam aliran ilmu salaf ialah
berkisar pada sekitar tauhid, pentakwilan ayat mutasyabihat, ziarah kubur.
Dalam masalah tauhid, aliran salaf berpendirian
bahwa Allah memiliki sifat-sifat, nama-nama, perbuatan-perbuatan,
pembicaraan-pembicaraan dan keadaan serta persemayaman, turun dari langit ke
bumike bumi, dan lain-lain sifat
bagaimana yang terdapat dalam Al-quran dan Hadits. Sifat-sifat itu
dipercaya oleh aliran salaf dengan memegangiarti lahir saja. Jadi menurut faham
salaf bahwa tuhan itu bertangan, bermuka, bersemayam, bermata, berbicara,
marah, senang, tertawa, dan lain-lain sifat yang terdapat dalam Alquran dan
Hadits.
Dalam masalah pentakwilan ayat-ayat atau
hadits-hadits mutasyabihat, yang mengandung kesan serupa sifat-sifat Allah
dengan makhluknya, mereka mengartikan ayat dan hadits itu secara lahir saja,
tidak mau sama sekali mentakwilnya, terhadap ayat-ayat, hadits-hadits
mutasyabihat percaya bahwasanya firman Allah, Hadits mereka serahkan kepada
Allah. Jadi tegasnya dalam masalah pentakwilan firman Allah mutasyabihat
melarang.
Dalam masalah ziarah kubur sebagaimana yang
dikemukakan Ibnu Taimiyah adalah haram termasuk ziarah ke makam nabi Muhammad
SAW. Dan perjalanan menuju makam adalah maksiat dan masalah ini banyak mendapat
pertentangan dari umat islam.[5]
Dalam masalah berdo’a
dengan tawasul dihukumi syirik kepada orang islam yang melakukan berdo’a dengan
tawassul.padahal tawassul itu pernah dilakukan oleh para sahabat seperti : umar
bin khattab.[6]
B. RIWAYAT HIDUP DAN
PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBALI
1. Riwayat singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan
meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang
anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali
karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti
Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya
bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn
Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin Ibn Syaiban, Ibn Dahal
Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn Rabi Al-Hadits Ibn Nizar.
Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya
Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih
remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada
usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada
ulama-ulama terkenal di Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara
guru-gurunya adalah Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn
Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn
Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam,
dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih,
Hadits, tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa Arab.[7]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir
setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga dikenal
sebagai seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid
membagi-bagikan beberapa keping emas kepada para ulama hadis, yang telah
menjadi kebiasaan para Khalifah masa itu. Namun, Ibn Hanbal
menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dari
kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal
mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Kealiman Ahmad bin Hanbal ini diakui oleh
gurunya sendiri yaitu Imam As Syafi’i. ketika Imam Asyafi’i meninggalkan
Baghdad, ia berkata “saya tidak tinggalkan di Baghdad orang yang lebih utama,
yang alim, yang lebih faqih dari Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal berguru kepada Imam Syafi’i
kemudian berijtihad sendiri. Beliau terhitung seorang ahli Hadits yang
berijtihad. [8]
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika
khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi
korban Mihnah (inquistition) karena tidak mengakui bahwa
Al-Quran itu makhluk. Akibatnya, beberapa kali ia harus dipenjara. Nasib serupa
dialaminya pada masapemerintahan pengganti Al-Ma’mun, yakni Al-Mu’tasim dan
Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh
kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn
Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah
Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal
bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua orang yang disebutkan terakhir
adalah putra Ibn Hanbal.
Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad yang
membuktikan keluasan pengetahuan dan penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam.
Buku tersebut terdiri atas tiga puluh ribu hadis yang disandarkan kepada lebih
dari tujuh ratus orang sahabat, diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh ribu
ratus hadis. Buku ini dan buku lainnya telah membantu menempatkan hadis pada
tempat yang proposional, sebagai salah satu sumber Fikih Islam.[9]
2. Pemikiran Teori Ibn Hanbal
a. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzy(tekstual)
dari pada pendekatan Ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat Mutsyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya
tentang penafsiran ayat :
Artinya: “ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam diatas Arsy.”(Q.S. Thaha [20]:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ
وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: “istawa diatas Arasy terserah pada
Allah dan bagaimana saja Dia khendaki
dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul
(Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman
melihat Tuhan di akhirat), dan Hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal
menjawab:
Artinya: “ kita mengimani dan
membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal
bersikap menyerahkan (Tafwid) makna-makna ayat dan Hadits
mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan
dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b. Tentang setatus Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn
Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentag status
Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis
(baru) ataukah tidak dicipakan yang karenanya Qadim? Faham yang diakui oleh
pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun,
Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak
bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya Qadim disamping Tuhan,
berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham
tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus Mihnah oleh
aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat dari
dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak. [10]
Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang
Al-Qur’an?
Ahmad : Ia
adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah ia makhluk ?
Ahmad : Ia adalah
kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq : Apakah arti bahwa AllahituMaha
Mendengar dan Maha Melihat ?
Ahmad : Itu
seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq : Apakah
maksudnya?
Ahmad : Aku
tidak tahu Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada dirinya [11]
Ibn Hanbal, berdasarkan
dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia
hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola
pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada
Allah dan Rasul-Nya. [12]
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan
perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu
meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan
yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[13]
C. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH
1. Riwayat singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin
Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim
Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah
dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar
melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia
mendapati isterinya melahirkan seorang Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai
Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[14]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari
senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam
senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada
seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya.
Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim Bin Abdussalam Ibn Abdullah
bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan Hakim di kotanya.
Dikatan oleh Ibrahim Madkur bahwa Ibn Taimiyah
merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada
akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta
seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani.
Ibnu taimiyah dikenal sebagai seorang muhaddits
mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan
memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik Khalifah
Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn
Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga
membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berulang kali Ibn Taimiyah masuk
ke penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga
pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk menerbitkan
pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa
sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di
istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah
sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa
pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306
M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Masa hidup Ibn Taimiyah bersamaan dengan kondisi
dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi
moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Baghdad dihancurkan
pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat
islam, mengalami banyaka tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.[15]
2. Pemikiran
Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu
Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran
dan Al-Hadits)
b. Tidak memberikan ruang
gerak kepada akal
c. Berpendapat bahwa
Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d. Di dalam Islam yang
diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan
bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah
qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang
tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai
pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat baha pengakuan
Ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah
tentang sifat-sifat Allah :
1.
Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah
yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud
adalah
a. Sifat Salabiyyah, yaitu
qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
b. Sifat Ma’ani,yaitu :qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan
kalam.
c. Sifat khabariah (sifat
yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal
bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat
oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
d. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan)
kepada makhluk seperti rabbul
‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan
Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a. Tidak mengubah maknanya
kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d. Tidak
menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan
indera (min ghairi takyif at-takyif)
e. Tidak menyerupakan
(apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi
tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak
menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat.Menututnya, ayat atau
hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya
dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibnu Taimiyah mengakui
tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu
1. Allah pencipta
segala sesuatu;
2. Manusia adalah pelaku
perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga
manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Menurut Ibn Taimiyah, umat Islam hanya satu
umat; tidak ada umat lain. Umat ialah sebuah wadah anggota yang memiliki tujuan
yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits, yaitu mewujudkan kehendak Allah
swt. Anggota umat Islam harus bekerja sama dengan yang lainnya untuk melakukan
kebaikan dan menjauhi kejahatan. Mereka harus menjadikan kerja sama sebagai
dasar bagi perbuatan yang dilakukan bersama-sama.[18]
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah
mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah
pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak.
Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik
metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk
menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[19]
Menurut
suatu sumber, bahwa Ibnu taimiyah memiliki karangan lebih dari 300 kitab,
meliputi masalah tafsir, fiqh, retorika (jadal), fatwa- fatwa yang merupakan
kumpulan jawaban atas pertanyaan masyarakat. Dia juga melakukan kritikan pedas
terhadap berbagai masalah, terutama tentang tasawuf, filsafat, ziarah kubur,
tawassul, dan sebagainya.
Diantara karangan-karangannya, antara lain:
a. Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul
b. Al-jawab al-Shahih Liman Baddala Dina al- Masih
c. Al-Rasail Wa al-Masail
d. Al-Iman
e. Al-Istiqamah
f. Kitab al-Tauhid
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat
diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah:
1. Salaf adalah uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad
pertama Islam. Atau golongan yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan
ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai fahamtasybih (antropomorphisme). Diantara
tokoh ulama salaf adalah Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah.
2. Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan
meninggal pada tahun 241 H/855 M. Diantara pemikiran teologi Ibnu Hanbal adalah
dalam menanggapi ayat mutasyabihat ia lebih suka menggunakan
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada ta’wil dan ia tidak mau mengatakan bahwa
Quran itu diciptakan.
3. Ibnu Taimiyah mempunyai nama lengkap Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin
Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim, ia lahir di Harran pada hari senin
tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin
tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729
DAFTAR PUSTAKA
Abbad
Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka
Tarbiyyah.
Amin Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
A.
Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali
Pers. 2010.
fauzi
Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press,
Hanafi, Pengantar
Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
Rozak
Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia,
2011.
Mustopa, Mazhab-Mazhab
Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.
H.Moh
Rifa’i, Rs Abdul Azis Wicaksana 1988
4. H. Moh Rifa’I, Rs Abdul Aziz Ilmu
kalam, wicaksana , 64
[5]. Ibid hal 64
[6] . Ibid hal 65
[8]. Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,
Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2000. Hlm. 83
[10]. Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam
(Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 126- 127
12. Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah
pengantar), Cirebon: STAIN Press, hlm. 99
13. Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlussunah
Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah. 1987. Hlm. 261
14.
Abdul
rozak, Rosihon Anwar, OP.Cit. hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar