Kamis, 29 Januari 2015

Ahlussunnah Salaf dan pokok-pokok pendirian salafiyah



 BAB I
PENDAHULUAN

A.      LatarBelakang
Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa tampilan Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam, perubahan jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya, ada komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang senang pemerintahan Republik. Bahkan, ada yang ingin kembali kepemerintah bentuk khilafah. Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami ajaran Islam.
Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatic buta dapat diredam, sejarah tampilan ajaran Islam dari waktu kewaktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti. Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.
Di antara tokoh yang ada adalah Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiah, Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam dari pemikiran tokoh yang telah disebutkan di atas.



A.    RumusanMasalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Salaf ?
2.      Apa saja pokok-pokok pendirian salafiyah ?
3.      Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Hambal ?
4.      Bagaimana pemikiran Imam Ibnu Hambal tentang ilmu kalam ?
5.      Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Taimiyah ?
6.      Bagaimana pemikiran Imam Taimiah tentang Teologi ?

B.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui maksud dari Ahlussunnah Salah
2.      Untuk mengetahui apa saja pokok-pokok pendirian salafiyah
3.      Untuk mengetahui Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Hambal
4.      Untuk mengetahui Bagaimana pemikiran Imam Ibnu Hambal tentang ilmu kalam
5.      Untuk mengetahui Bagaimana riwayat hidup Imam Ibnu Taimiyah
6.      Untuk mengetahui Bagaimana pemikiran Imam Taimiah tentang Teologi




BAB II
PEMBAHASAN

A.    AHLUS SUNNAH SALAF
1.      Pengertian Ahlus Sunnah Salaf
Berkembangnya dakwah Salafiyah dikalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan umat di bawah tuntunan Rasulullah SAW adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Maka banyak definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi Salaf .
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad , Salaf  artinya ulama terdahulu. Salaf  terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in,para pemuka abad ke-3 dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf  berarti pula ulama-ulama Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Menurut As-Syahrastani, ulama Salaf adalah yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih. Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan Salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[1]
Aliran Salaf terdiri dari orang-orang Hanbaliah yang muncul pada abad keempat Hijriah dengan mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal, yang dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama Salaf . karena pendapat ulam Salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang Hanabilah menamakan dirinya “ aliran Salaf”.
Antara golongan Hanabilah tersebut dengan aliran Asy’ariah sering terjadi pertentangan, baik yang bersifat fisik, karena di mana terdapat aliran Asy’ariah yang kuat, maka di situ pula terdapat orang-orang Hanabilah. Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu yang berhak mewakili ulama Salaf[2]                                    
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan Salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di jerusallem dan Damaskus. Di damaskus, Kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang Ketat.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau Salafiyah sebagai berikut:
1.      Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah ( aql).
2.      Dalam persoalan pokok-pokok agama ( ushuludin )dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan Sunnah.
3.      Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut ( tentang Dzat-Nya). Dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4.      Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-tokoh berikut ini dapat diketegorikan sebagai ulma salaf, yaitu: Abdullah Bin Abbas (68 H), Abdullah Bin Umar (74 H), Umar Bin Abdul Aziz (101 H), Az-Zuhri 124), Ja’far Ash-Shidiq (148 H),dan para Imam Mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad Bin Hambal). Menurut  Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad Bin Hambal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad Bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis. Di Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang lebih dilaksan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan- gerakan lainya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama  
Salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).[3]

2.      Pokok-pokok pendirian Salafiyah.
Ulama salaf adalah ulama terdahulu, terdiri dari para sahabat dan para tabiin. Aliran salaf ialah aliran faham yang ingin menghidupkan kembali ajaran islam menurut keyakinan ulama salaf dan membasmi aliran-aliran yang bertentangan dengan itu.[4]
Pokok pembicaraan dalam aliran ilmu salaf ialah berkisar pada sekitar tauhid, pentakwilan ayat mutasyabihat, ziarah kubur.
Dalam masalah tauhid, aliran salaf berpendirian bahwa Allah memiliki sifat-sifat, nama-nama, perbuatan-perbuatan, pembicaraan-pembicaraan dan keadaan serta persemayaman, turun dari langit ke bumike bumi, dan lain-lain sifat  bagaimana yang terdapat dalam Al-quran dan Hadits. Sifat-sifat itu dipercaya oleh aliran salaf dengan memegangiarti lahir saja. Jadi menurut faham salaf bahwa tuhan itu bertangan, bermuka, bersemayam, bermata, berbicara, marah, senang, tertawa, dan lain-lain sifat yang terdapat dalam Alquran dan Hadits.
Dalam masalah pentakwilan ayat-ayat atau hadits-hadits mutasyabihat, yang mengandung kesan serupa sifat-sifat Allah dengan makhluknya, mereka mengartikan ayat dan hadits itu secara lahir saja, tidak mau sama sekali mentakwilnya, terhadap ayat-ayat, hadits-hadits mutasyabihat percaya bahwasanya firman Allah, Hadits mereka serahkan kepada Allah. Jadi tegasnya dalam masalah pentakwilan firman Allah mutasyabihat melarang.
Dalam masalah ziarah kubur sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Taimiyah adalah haram termasuk ziarah ke makam nabi Muhammad SAW. Dan perjalanan menuju makam adalah maksiat dan masalah ini banyak mendapat pertentangan dari umat islam.[5]

  Dalam masalah berdo’a dengan tawasul dihukumi syirik kepada orang islam yang melakukan berdo’a dengan tawassul.padahal tawassul itu pernah dilakukan oleh para sahabat seperti : umar bin khattab.[6]         

B.     RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBALI
1.      Riwayat singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin Ibn Syaiban, Ibn Dahal Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn Rabi Al-Hadits Ibn Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada ulama-ulama terkenal di Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam, dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih, Hadits, tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa Arab.[7]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid membagi-bagikan beberapa keping emas kepada para ulama hadis, yang telah menjadi kebiasaan para Khalifah masa itu.  Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Kealiman Ahmad bin Hanbal ini diakui oleh gurunya sendiri yaitu Imam As Syafi’i. ketika Imam Asyafi’i meninggalkan Baghdad, ia berkata “saya tidak tinggalkan di Baghdad orang yang lebih utama, yang alim, yang lebih faqih dari Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal berguru kepada Imam Syafi’i kemudian berijtihad sendiri. Beliau terhitung seorang ahli Hadits yang berijtihad. [8]
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah (inquistition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk. Akibatnya, beberapa kali ia harus dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan pengganti Al-Ma’mun, yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.                                                                                                                    
Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad yang membuktikan keluasan pengetahuan dan penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam. Buku tersebut terdiri atas tiga puluh ribu hadis yang disandarkan kepada lebih dari tujuh ratus orang sahabat, diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh ribu ratus hadis. Buku ini dan buku lainnya telah membantu menempatkan hadis pada tempat yang proposional, sebagai salah satu sumber Fikih Islam.[9]

2.      Pemikiran Teori Ibn Hanbal
      a.  Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
            Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzy(tekstual) dari pada pendekatan Ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat Mutsyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat :
Artinya: “ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam diatas Arsy.”(Q.S. Thaha [20]:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
                                                     
إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: “istawa diatas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia     khendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan Hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab:
Artinya: “ kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”                                                                            



Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (Tafwid) makna-makna ayat dan Hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
     b.      Tentang setatus Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentag status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak dicipakan yang karenanya Qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya Qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus Mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak.  [10]
Ishaq bertanya          Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad              :    Ia adalah kalam Allah.
Ishaq                 :    Apakah ia makhluk ?
Ahmad              :    Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq                 :    Apakah arti bahwa AllahituMaha Mendengar dan Maha Melihat ?
Ahmad              :    Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.               


Ishaq                 :    Apakah maksudnya?
Ahmad              :    Aku tidak tahu Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada dirinya [11]                                      

Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. [12]
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[13]

C.    RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH
1.       Riwayat singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[14]                                                                            
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim Bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan Hakim di kotanya.
Dikatan oleh Ibrahim Madkur bahwa Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqiwara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani.
Ibnu taimiyah dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berulang kali Ibn Taimiyah masuk ke penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk menerbitkan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.





Masa hidup Ibn Taimiyah bersamaan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyaka tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.[15]

2.  Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
     Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah           sebagai berikut :
a.   Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b.     Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c.     Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.      Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan  tabi’it tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya[16]
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat baha pengakuan Ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :
1.           Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah             
               a.    Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu  binafsihi dan wahdaniyyat.                                                  
        b.     Sifat Ma’ani,yaitu :qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
c.      Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun       akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
        d.      Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada        makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
2.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3.       Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a.      Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b.      Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
c.       Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d.      Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
e.       Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat.Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.



     


  Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu
1.       Allah pencipta segala sesuatu;
2.       Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan   serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
3.       Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk[17]
Menurut Ibn Taimiyah, umat Islam hanya satu umat; tidak ada umat lain. Umat ialah sebuah wadah anggota yang memiliki tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits, yaitu mewujudkan kehendak Allah swt. Anggota umat Islam harus bekerja sama dengan yang lainnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Mereka harus menjadikan kerja sama sebagai dasar bagi perbuatan yang dilakukan bersama-sama.[18]
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[19]
 Menurut suatu sumber, bahwa Ibnu taimiyah memiliki karangan lebih dari 300 kitab, meliputi masalah tafsir, fiqh, retorika (jadal), fatwa- fatwa yang merupakan kumpulan jawaban atas pertanyaan masyarakat. Dia juga melakukan kritikan pedas terhadap berbagai masalah, terutama tentang tasawuf, filsafat, ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya. 


                                                              
Diantara karangan-karangannya, antara lain:
a.       Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul
b.      Al-jawab al-Shahih Liman Baddala Dina al- Masih
c.       Al-Rasail Wa al-Masail
d.      Al-Iman
e.       Al-Istiqamah
f.       Kitab al-Tauhid
g.      Naqd al-Mantiq[20]
                                                                                                                                                                           


                                                                           








                                 








                                                                          

                                                                              BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah:
1.     Salaf adalah uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Atau golongan yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai fahamtasybih (antropomorphisme). Diantara tokoh ulama salaf adalah Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah.
2.     Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Diantara pemikiran teologi Ibnu Hanbal adalah dalam menanggapi ayat mutasyabihat ia lebih suka menggunakan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada ta’wil dan ia tidak mau mengatakan bahwa Quran itu diciptakan.
3.     Ibnu Taimiyah mempunyai nama lengkap Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim, ia lahir di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729













DAFTAR PUSTAKA
Abbad Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
    Amin Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
A. Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
fauzi Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press,
Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.
 H.Moh Rifa’i, Rs Abdul Azis Wicaksana  1988











[1] Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011. Hlm. 53
[2] Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995. Hlm. 138
[3].  Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Hlm. 109-110
4. H. Moh Rifa’I, Rs Abdul Aziz Ilmu kalam, wicaksana , 64



[5].  Ibid hal    64
[6] . Ibid hal    65

[7]. Mustopa, Op. Cit. hlm. 54

[8]. Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000. Hlm. 83

[9]. Abdul rozak, Rosihon Anwar, Op. Cit. Hlm. 111-114

[10]. Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010.  Hlm. 126-     127

11. Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 114
12.  Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press, hlm. 99
13.  Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah. 1987. Hlm. 261
14.  Abdul rozak, Rosihon Anwar, OP.Cit. hlm. 115






[15].  Mustopa, Op. Cit. Hlm. 56
[16].  Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 116-117

[17].  Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 116-117
[18].  Mustopa, OP. Cit, hlm. 58
19.  Sahilun A. Nasir, Op. Cit. hlm. 281


[20]. Husayn Ahmad Amin. Op.Cit. Hl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar