Jumat, 16 Januari 2015

Makalah


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

            Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya makalah (Perkembangan Hadits Masa Pra Kodifikasi dan Pasca Kodifikasi) ini. Tanpa Ridho, Hidayah dan Inayah-NYA mustahil penulisan makalah ini bisa selesai secara tepat waktu.
            Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Mahbub Junaidi M.THi yang telah membimbing dan mengajarkan Mata Kuliah Study Hadits I ini serta pihak-pihak yang bersangkutan yang telah membantu, sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
            Meskipun demikian kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna ,oleh karena itu saran dan kritik dari semua pihak,khususnya teman-teman seprofesi menjadi harapan bagi kami guna perbaikan selanjutnya.
            Akhirnya permohonan dan harapan semoga apa yang telah kami lakukan mendapat ridho dan kebaikan dari Allah SWT, serta bermanfaat bagi para pembaca sebagai jembatan ilmu pengetahuan. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.






                                                                                    Lamongan, 03 Maret 2014 

                                                                                                       Penulis


DAFTAR ISI

1.      KATA PENGANTAR…………………………………………………...1
2.      DAFTAR ISI…………………………………………………………….2
3.      BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….3
A.    Latar Belakang……………………………………………………….3
B.     Rumusan Masalah……………………………………………………3
C.     Tujuan………………………………………………………………..4
D.    Manfaat………………………………………………………………4
4.      BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..5
A.    Sejarah Perkembanga Hadits pada Masa Pra Kodifikasi…………….5
a.       Periode Pertama………………………………………………….5
b.      Periode Kedua……………………………………………………7
c.       Periode Ketiga……………………………………………………9
B.     Sejarah Perkembanga Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi…………11
d.      Periode Keempat…………………………………………………11
e.       Periode Kelima…………………………………………………...14
f.       Periode Keenam………………………………………………….16
g.      Periode Ketujuh-Sekarang……………………………………….18
5.      BAB III PENUTUP……………………………………………………..20
A.    Kesimpulan…………………………………………………………..20
B.     Saran …………………………………………………………………21

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an dan Hadits bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi ruang gerak manusia.  Al-Qur’an dan hadits adalah panduan hidup yang mengiringi manusia menuji ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan  yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dpat dirasakan dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti melalui panca indra dan organ tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses komunikasi yang dilakukan antara jiwa suci dngan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang luat biasa dan anugrah yang tiada tara.
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penebaran secara kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi yaitu zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kakhawatiran Nabi akan tercampurnya nash A-Qur’an dengan hadits. Selain itu juga disebabkan focus Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut sampai masa Tabi’in. bahkan dengan khalifah yang lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Pra Kodifikasi?
2.      Baaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi?
C.    Tujuan
1.      Menjelaskan Perkembangan Hadits pada Masa Pra Kodifikasi.
2.      Menjelaskan  Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi.
D.    Manfaat
1.      Mengetahui dan Memahami Perkembangan Hadits pada Masa Pra Kodifikasi.
2.      Mengetahui dan Memahami Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi.

.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembanga Hadits pada Masa Pra Kodifikasi
Masa pra kodifikasi berarti masa sebelum hadits dibukukan. Mulai sejak munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Masa pra kodifikasi ini mencakup tiga periode penting dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode Rasulullah SAW, periode Sahabat dan periode Tabi’in.

a.       Hadits di Masa Nabi
Masa dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan masa pembentukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliyah. Mereka menyadari betapa pentingnya kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[1] Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh dengan beberapa cara, yaitu:
1.      Melalui majelis al-‘ilm, yaitu tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah. Periwayatan hadis melalui majelis ini dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di majelis ini.
2.   Melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat disampaikan kepada orang lain.
3.      Untuk hal-hal sensitif yang berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, terutama menyangkut hubungan suami-istri, Nabi menyampaikannya melalui istri-istrinya.
4.     Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti pada saat menunaikan ibadah haji, Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah didepan ratusan ribu kaum muslimin yang isinya banyak terkait dengan muamalah, siyasah, jinayah dan hak asasi manusia.
5.      Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah ingatan mereka.[2] Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadis, syair dan lain-lainnya dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.[3] Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau.
Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:
لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب
عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار
            
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).[4]

b.      Hadits di Masa Sahabat
Periwayatan hadits pada masa sahabat besar (khulafa rasyidin) sejak tahun 11 H sampai 40 H belum begitu berkembang, karena pada satu sisi perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharan dan penyebaran al-Qur’an. Mereka berusaha untuk membatasi periwayatan hadits. Meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharan al-Qur’an, bukan berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima ketika Nabi masih hidup. Akan tetapi mereka hanya sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits. Hal ini dilakukan karena mereka khawatir akan terjadinya kekeliruan, mereka sadar bahwa hadits adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya Khulafa Rasyidin dan sahabat lain seperti al-Zubayr, Ibn ‘Abbas dan Abu Ubaydah berusah memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.[5]
Sikap hati-hati ditunjukan oleh khalifah pertama, Abu bakar. Hal ini terlihat pada riwayat Ibn Syihab al-Zuhri bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian waris untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Qur’an maupun hadits, nenek itu menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Kemudian Abu Bakar meminta nenek itu untuk mengajukan saksi terlebih dahulu sebelum haditsnya tersebut diterima.[6] Sikap demikian diambil Abu Bakar agar supaya berita yang disampaikan benar-benar secara meyakinkan dari Nabi, sehingga dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Karena mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits, seperti:
1.  Para sahabat (Khulafa Rasyidin) bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat.
2.     Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.
3.     Para sahabat mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
4.      Para sahabat meminta sumpah dari periwayat hadits.
5.     Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.[7]
Sungguhpun demikian tidak berarti pada masa sahabat tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan. Sebagai manusia yang tidak ma’shum, meskipun secara umum memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat, dapat saja melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad, kekeliruan terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat, yaitu seperti:
1.     Sahabat itu meriwayatkan hadits yang didengarnya langsung dari Nabi tetapi ia tidak tahu kalo hadits tersebut telah di nasakh.
2. Periwayat mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits.
3.     Periwayat meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan yang lebih luas dari makna yang sebenarnya yang bersumber dari Nabi.
4.    Periwayat meriwayatkan hadits secara keliru yakni yang sebenarnya tidak bersumber dari Nabi, melainkan dari dirinya sendiri.
5.     Periwayat tidak sadar dengan pemakaian suatu kata yang bukan asli dari Nabi sehingga memiliki perbedaan maksud.[8]
Dalam sejarah disebutkan sebagaimana disepakati ulama hadits bahwa telah terjadi pemalsuan hadits (wadh’ al-hadits) pada masa Ali ibn Abi Thalib. Kemunculan hadits palsu untuk pertama kalinya ini disebabkan oleh faktor politik. Menurut al-Siba’i pihak yang pertama kali membuat hadits palsu adalah orang Syi’ah.[9] Kaum Syi’ah yang banyak membuat hadits palsu adalah kelompok al-Rafidhah, menurut Ibn Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khatib.[10] Karena Irak merupakan pusat Syi’ah, maka ulama hadits menilai bahwa negeri itulah yang menjadi pusat munculnya hadits-hadits palsu untuk pertama kalinya.[11] Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan.

c.       Hadits pada Masa Tabi’in
Sebagaimana sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat (Khulafar Rasyidin). Karena pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan pada satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu pada masa akhir periode Khulafar Rasyidin para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in lain untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits, yaitu masa dimana hadits tidak lagi terpusat di Madinah tapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1.      Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Aisyah, Abu Hurairah, Ibn Umar, Abu Said al-Khudzri dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ maula Ibn ‘Umar dan lain-lain.
2.  Makkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Ibn Abbas, ‘Abd Allah    ibn Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, ‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, Atha ibn Abi Rabah dan lain-lain.
3.      Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in seperti Masruq ibn al-Ajda, Syuraikh ibn al-Haris dan lain-lain.
4.      Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Uthbah ibn Ghazawan, ‘Imran ibn Husayin dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah dan lain-lain.
5.      Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah ibn Shamit dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti  Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib dan Makhul ibn Abi Muslim.
6.      Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘Ash, ‘Uqbah ibn Amir dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti Yazid ibn Abi Hubayib, Abu Basrah al-Ghifari dan lain-lain.

Hadits-hadits yang diterima para tabi’in ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada pula yang harus di hafal. Kedua bentuk ini saling melengkapi sehingga tidak ada satu hadits pun yang terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa ini masih terjadi kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; seperti perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadits Nabi atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.[12]
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat (Khulafar Rasyidin) itu antara lain:
1.      Periwayatan hadits sebagaimana manusia tidak terlepas dari unsur kekeliruan.
2.  Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadits. Pada zaman Nabi penulisan hadits harus atas izin Nabi, tapi pada umumnya periwayatan mengandalkan hafalan.
3.     Terjadi periwayatan secara makna atau adanya hadits yang sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.[13]
Disamping kekeliruan pada masa ini juga sudah ada hadits palsu. Pemalsuan hadits yang dimulai sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadits seperti ini, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu:
1.     Melakukan seleksi dan koreksi tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
2.      Hanya menerima riwayat hadis dari periwayatan yang tsiqah saja.
3.     Melakukan penyaringan terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah.
4.     Mensyaratkan tidak adanya Syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain.
5.     Meneliti sanad dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[14]

B.     Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi
Masa pasca kodifikasi berarti masa sesudah hadits dibukukan. Mulai sejak munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Masa  Pasca Kodifikasi ini mencakup empat periode penting dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode keempat, periode kelima, periode keenam dan periode ketujuh hingga sekarang.
a.       Periode Keempat (Perkembangan Hadits pada Abad II dan III H)
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[15] Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[16] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan  mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[17]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[18] Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
            Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
1.        Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.        Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.        Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4.        Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5.        Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
6.        Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7.        Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
8.        Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.        Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10.    Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).[19]
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
1.        Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
2.        Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3.        Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
4.        Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5.        Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
6.        Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7.        Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
8.        Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
9.       Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10.    A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11.    Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12.    Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
13.    Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.[20]
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[21]

b.      Periode Kelima (Masa Men-tasbihkan Hadits dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya)
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.[22]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan  Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk pengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.     Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.    Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist
U1ama hadist yang mula-mula menyaringdan  membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan  Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:
1.      Ali Ibnul Madany
2.        Abu Hatim Ar-Razy
3.        Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4.        Muhammad Ibn Sa'ad
5.        Ishaq Ibnu Rahawaih
6.        Ahmad.
7.        Al-Bukhari
8.        Muslim
9.        An-Nasa'i
10.    Abu Dawud
11.    At-Tirmidzi
12.    Ibnu Majah
13.    Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.[23]

c. Periode Keenam (Dari Abad IV hingga Tahun 656 H)
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.[24]
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan  pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
1.        Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2.        At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3.        Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
4.        Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
5.        Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
6.       Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[25]
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.    Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily (582 H).

2.     Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
3.        Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
4.        Mengumpulan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.

d.  Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[26]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami' yang umum':
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul  fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada masa ini adalah: (1) Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3) Ibnu Daqiq Al-`Ied, (4) Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6) Ad¬Dimyaty (705 H), (7) Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9) Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy (742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762 H), (14) Ibnu Rajab (795 H), (15) Ibnu Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805 H), (` 7) Al-`Iraqy (w. 806 H), ,(18) Al-Haitsamy (807 H), dan (19) A’ u Zurah (826 H).[27]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan  sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindahdan  disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hafalannya. Hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan  dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan  penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan  Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.

B.     Saran
      Setelah mempelajari perkembangan hadits dari masa ke masa  diharapakan kita mampu untuk memahami dan dapat mengapliksikanya dalam kehidupan sehari-hari, walaupun masih kurang maksimal. Namun itu merupakan suatu bentuk usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh pengabdian dan keikhlasan kepada-NYA.
      Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak. Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan sehingga perlu disempurnakan lagi di kesempatan yang akan datang.



[1] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Mesir: Syirkah Sahimah Mishriyah, 1987), hlm. 48
[2] Ibid.h.53
[3] ‘Abd al-Nashr. Tawfiq al-‘Aththar, Dutsur, hlm. 71
[4] H.R. Muslim dalam Syarh al-Nawawi, J. 18, hlm. 129
[5] Muhammad Ajjaj al-khatib, al-sunnah, hlm 92-93
[6] Al-Hakim al-Naysaburi, kitab ma’rifah, hlm. 15
[7] Ibid.h.48-51
[8]Ibid.h.48-41
[9] Musthafa al-siba’i, al-sunnah, hlm 79
[10] Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-sunnah, hlm. 189
[11] Shalah al-Din ibn Ahmad, manhaj, hlm 30
[12] Ibid,h.52-53
[13] Muhammad Ajjaj al-Khatib, ushul al-hadits, hlm 53-55
[14] Muhammad Abu Zahw, al-hadits. Hlm 99
[15] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 78-88
[16] Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 54
[17] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
[18] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
[19] Ibid,h.8
[20] Ibid,h.83
[21] Ibid,h.88
[22] Ibid,h.89-104
[23] Ibid,h.101-102
[24] Ibid,h.103
[25] Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm. 115-116
[26] Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965.h.126-134
[27] Ibid,h.132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar