KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji
syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya makalah (Perkembangan Hadits
Masa Pra Kodifikasi dan Pasca Kodifikasi) ini. Tanpa Ridho, Hidayah
dan Inayah-NYA mustahil penulisan makalah ini bisa selesai secara tepat
waktu.
Kami ucapkan banyak terima kasih
kepada Bapak Mahbub Junaidi M.THi yang telah membimbing dan mengajarkan Mata Kuliah Study Hadits I ini serta
pihak-pihak yang bersangkutan yang telah membantu, sehingga makalah ini bisa
terselesaikan.
Meskipun demikian kami menyadari
makalah ini jauh dari kata sempurna ,oleh karena itu saran dan kritik dari
semua pihak,khususnya teman-teman seprofesi menjadi harapan bagi kami guna
perbaikan selanjutnya.
Akhirnya permohonan dan harapan
semoga apa yang telah kami lakukan mendapat ridho dan kebaikan dari Allah SWT,
serta bermanfaat bagi para pembaca sebagai jembatan ilmu pengetahuan. Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Lamongan,
03 Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR…………………………………………………...1
2. DAFTAR ISI…………………………………………………………….2
3. BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….3
A. Latar Belakang……………………………………………………….3
B. Rumusan Masalah……………………………………………………3
C. Tujuan………………………………………………………………..4
D. Manfaat………………………………………………………………4
4. BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..5
A. Sejarah Perkembanga Hadits pada Masa Pra
Kodifikasi…………….5
a.
Periode Pertama………………………………………………….5
b.
Periode Kedua……………………………………………………7
c.
Periode Ketiga……………………………………………………9
B. Sejarah Perkembanga Hadits pada Masa Pasca
Kodifikasi…………11
d.
Periode Keempat…………………………………………………11
e.
Periode Kelima…………………………………………………...14
f.
Periode Keenam………………………………………………….16
g.
Periode Ketujuh-Sekarang……………………………………….18
5. BAB III PENUTUP……………………………………………………..20
A. Kesimpulan…………………………………………………………..20
B. Saran …………………………………………………………………21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan Hadits bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang
membatasi ruang gerak manusia. Al-Qur’an
dan hadits adalah panduan hidup yang mengiringi manusia menuji ketentraman,
kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi
dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dpat dirasakan dengan jiwa yang
tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi
dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti melalui panca indra dan organ
tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses komunikasi yang dilakukan antara
jiwa suci dngan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang luat biasa dan
anugrah yang tiada tara.
Keberadaan hadits
sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan
penebaran secara kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi yaitu zaman Nabi,
Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.
Perkembangan hadits
pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk
menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kakhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash A-Qur’an dengan hadits. Selain itu juga disebabkan focus Nabi
pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan tersebut
berlanjut sampai masa Tabi’in. bahkan dengan khalifah yang lain. Periodesasi
penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Pra Kodifikasi?
2.
Baaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan Perkembangan Hadits pada Masa Pra Kodifikasi.
2.
Menjelaskan Perkembangan Hadits
pada Masa Pasca Kodifikasi.
D.
Manfaat
1.
Mengetahui dan Memahami Perkembangan Hadits pada Masa Pra Kodifikasi.
2.
Mengetahui dan Memahami Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembanga Hadits pada Masa Pra Kodifikasi
Masa pra kodifikasi berarti masa sebelum hadits dibukukan. Mulai sejak
munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Masa pra
kodifikasi ini mencakup tiga periode penting dalam sejarah transmisi hadits,
yaitu periode Rasulullah SAW, periode Sahabat dan periode Tabi’in.
a.
Hadits di Masa Nabi
Masa dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy wa
al-Takwin, yaitu masa wahyu dan masa pembentukan karena pada masa Nabi ini
wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya.
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber
kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa
jahiliyah. Mereka menyadari betapa pentingnya kedudukan hadis Nabi dalam agama
Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang
meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan
mendapat kebahagiaan.[1]
Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh dengan beberapa cara, yaitu:
1.
Melalui majelis al-‘ilm, yaitu tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk
membina para jemaah. Periwayatan hadis melalui majelis ini dilakukan secara
reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di majelis ini.
2. Melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat disampaikan
kepada orang lain.
3.
Untuk hal-hal sensitif yang berkaitan dengan
persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, terutama menyangkut hubungan
suami-istri, Nabi menyampaikannya melalui istri-istrinya.
4. Melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti pada saat menunaikan ibadah haji,
Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah didepan ratusan ribu kaum
muslimin yang isinya banyak terkait dengan muamalah, siyasah, jinayah dan hak
asasi manusia.
5.
Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh
para sahabatnya, seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
muamalah.
Pada masa Nabi, sedikit sekali
sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima
hadis adalah ingatan mereka.[2]
Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan
al-Qur’an, hadis, syair dan lain-lainnya dengan baik. Seakan mereka membaca
dari sebuah buku.[3]
Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan
membukukannya sebagaimana al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn
Tsabit, sekretaris pribadi beliau.
Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:
لا
تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب
عليّ
متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).[4]
b.
Hadits di Masa Sahabat
Periwayatan hadits pada masa sahabat besar (khulafa rasyidin) sejak tahun 11 H sampai 40 H belum begitu
berkembang, karena pada satu sisi perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharan dan penyebaran al-Qur’an. Mereka berusaha untuk membatasi
periwayatan hadits. Meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharan
al-Qur’an, bukan berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang
mereka terima ketika Nabi masih hidup. Akan tetapi mereka hanya sangat
berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits. Hal ini dilakukan
karena mereka khawatir akan terjadinya kekeliruan, mereka sadar bahwa hadits
adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat
khususnya Khulafa Rasyidin dan
sahabat lain seperti al-Zubayr,
Ibn ‘Abbas dan Abu Ubaydah berusah memperketat
periwayatan dan penerimaan hadits.[5]
Sikap hati-hati ditunjukan oleh khalifah pertama, Abu bakar. Hal ini
terlihat pada riwayat Ibn Syihab al-Zuhri bahwa seorang nenek bertanya kepada
Abu Bakar soal bagian waris untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu
tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Qur’an maupun hadits, nenek itu
menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Kemudian Abu Bakar meminta
nenek itu untuk mengajukan saksi terlebih dahulu sebelum haditsnya tersebut
diterima.[6]
Sikap demikian diambil Abu Bakar agar supaya berita yang disampaikan
benar-benar secara meyakinkan dari Nabi, sehingga dapat dijadikan sumber hukum.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam
periwayatan hadits. Karena mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan
hadits, seperti:
1. Para sahabat (Khulafa Rasyidin)
bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat.
2. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun
isi riwayat itu sendiri.
3. Para sahabat mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
4.
Para sahabat meminta sumpah dari periwayat
hadits.
Sungguhpun demikian tidak berarti pada masa sahabat tidak terjadi kekeliruan
dalam periwayatan. Sebagai manusia yang tidak ma’shum, meskipun secara
umum memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat, dapat saja melakukan
kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad,
kekeliruan terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat, yaitu
seperti:
1. Sahabat itu meriwayatkan hadits yang didengarnya langsung dari Nabi tetapi
ia tidak tahu kalo hadits tersebut telah di nasakh.
2. Periwayat mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits.
3. Periwayat meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki
cakupan yang lebih luas dari makna yang sebenarnya yang bersumber dari Nabi.
4. Periwayat meriwayatkan hadits secara keliru yakni yang sebenarnya tidak
bersumber dari Nabi, melainkan dari dirinya sendiri.
5. Periwayat tidak sadar dengan pemakaian suatu kata yang bukan asli dari Nabi
sehingga memiliki perbedaan maksud.[8]
Dalam sejarah disebutkan sebagaimana disepakati ulama hadits bahwa telah
terjadi pemalsuan hadits (wadh’ al-hadits)
pada masa Ali ibn Abi Thalib. Kemunculan hadits palsu untuk pertama kalinya ini
disebabkan oleh faktor politik. Menurut al-Siba’i pihak yang pertama kali
membuat hadits palsu adalah orang Syi’ah.[9]
Kaum Syi’ah yang banyak membuat hadits palsu adalah kelompok al-Rafidhah,
menurut Ibn Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khatib.[10]
Karena Irak merupakan pusat Syi’ah, maka ulama hadits menilai bahwa negeri
itulah yang menjadi pusat munculnya hadits-hadits palsu untuk pertama kalinya.[11]
Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan.
c.
Hadits pada Masa Tabi’in
Sebagaimana sahabat besar,
para sahabat kecil dan tabi’in juga
cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja beban mereka tidak
terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat (Khulafar Rasyidin). Karena pada masa ini
al-Qur’an sudah dikumpulkan pada satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan
mereka. Selain itu pada masa akhir periode Khulafar
Rasyidin para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah
kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in lain untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Oleh
sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits, yaitu
masa dimana hadits tidak lagi terpusat di Madinah tapi sudah diriwayatkan
diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya. Kemudian
bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu
Zahw, yaitu:
1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan
sahabat: Aisyah, Abu Hurairah, Ibn Umar, Abu Said al-Khudzri dan lain-lain.
Tokoh dari kalangan tabi’in Sa’id ibn
Musayyib, ‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ maula Ibn ‘Umar dan lain-lain.
2. Makkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Ibn Abbas, ‘Abd Allah ibn Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr,
‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, Atha ibn Abi Rabah dan lain-lain.
3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi
Waqqas dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in seperti Masruq ibn al-Ajda, Syuraikh ibn al-Haris dan
lain-lain.
4. Basrah, dengan tokoh dari kalangan
sahabat: ‘Uthbah ibn Ghazawan, ‘Imran ibn Husayin dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti al-Hasan al-Basri, Abu
al-‘Aliyah dan lain-lain.
5.
Syam, dengan tokoh dari kalangan
sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah ibn Shamit dan lain-lain.
Dari kalangan tabi’in seperti Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib dan Makhul ibn
Abi Muslim.
6.
Mesir, dengan tokoh dari kalangan
sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘Ash, ‘Uqbah ibn Amir dan lain-lain. Dari
kalangan tabi’in seperti Yazid ibn
Abi Hubayib, Abu Basrah al-Ghifari dan lain-lain.
Hadits-hadits yang diterima
para tabi’in ada yang dalam bentuk
catatan atau tulisan dan ada pula yang harus di hafal. Kedua bentuk ini saling
melengkapi sehingga tidak ada satu hadits pun yang terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa
ini masih terjadi kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap
hati-hati melemah.
Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil
menimbulkan salah kutip; seperti perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadits
Nabi atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.[12]
Faktor-faktor penyebab
terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat (Khulafar Rasyidin) itu
antara lain:
1.
Periwayatan hadits sebagaimana manusia tidak
terlepas dari unsur kekeliruan.
2. Terbatasnya penulisan dan
kodifikasi hadits. Pada zaman Nabi penulisan hadits harus atas izin Nabi, tapi
pada umumnya periwayatan mengandalkan hafalan.
3. Terjadi
periwayatan secara makna atau adanya hadits yang sama tetapi memiliki redaksi
yang beragam.[13]
Disamping kekeliruan pada masa
ini juga sudah ada hadits palsu. Pemalsuan hadits yang dimulai sejak masa Ali
ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak. Menghadapi terjadinya
pemalsuan hadits seperti ini, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu:
1. Melakukan
seleksi dan koreksi tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
2. Hanya
menerima riwayat hadis dari periwayatan yang tsiqah saja.
3. Melakukan
penyaringan terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang
tsiqah.
4. Mensyaratkan
tidak adanya Syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat
lain.
B.
Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Pasca Kodifikasi
Masa pasca kodifikasi
berarti masa sesudah hadits dibukukan. Mulai sejak munculnya hadits pertama
yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Masa
Pasca Kodifikasi ini mencakup empat periode penting dalam sejarah
transmisi hadits, yaitu periode keempat, periode kelima, periode keenam dan
periode ketujuh hingga sekarang.
a.
Periode Keempat (Perkembangan Hadits pada Abad II dan III H)
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin
(masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[15] Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[16] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang
menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau
khawatir apabila tidak membukukandan
mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan
hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian
para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk
mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur
Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru
Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk
membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu
Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh,
murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis
yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M),
seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[17]
Di samping itu, Umar
mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk
membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka
masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan
Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab
Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[18] Mereka
inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan
oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai
seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba
membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari
khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan
hadits :
1. Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7. Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari
ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan
dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di
kalangan ahli hadis adalah:
1. Al-Muwaththa', susurran Imam Malik
(95 H-179 H);
2. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn
Ishaq (150 H)
3. Al-jami', susunan Abdul Razzaq
As-San'any (211 H)
4. Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn
Hajjaj (160 H)
5. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn
'Uyainah (198 H)
6. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn
Sa'ad (175 H)
7. Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150
H)
8. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy
(219 H)
9. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn
Waqid Al¬Aslamy.
10. A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah
adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan
Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi,
Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[21]
b.
Periode Kelima (Masa Men-tasbihkan Hadits dan
Penyusuran Kaidah-Kaidahnya)
Abad ketiga Hijriah
merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa'
-Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah
ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke
negeri lain untuk mencari hadis.[22]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis
yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka
yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang
mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau
pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir,
Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan
hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus
menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi
lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan
tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis
dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk pengacaukan hadis, para ulama
pun melakukan hal-hal berikut.
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan,
tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis
yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan
hadist
U1ama hadist yang mula-mula menyaringdan membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang
palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn
Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan
dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya
yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya
membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini
diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang
mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di
antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan
An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih
Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian
dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya.
Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam
kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian
dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang
lahir dalam masa ini adalah:
1. Ali Ibnul Madany
2.
Abu Hatim Ar-Razy
3. Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4. Muhammad Ibn Sa'ad
5. Ishaq Ibnu Rahawaih
6. Ahmad.
7. Al-Bukhari
8. Muslim
9. An-Nasa'i
10. Abu Dawud
11. At-Tirmidzi
12. Ibnu Majah
c. Periode Keenam (Dari Abad IV hingga Tahun
656 H)
Periode keenam ini
dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan
kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi
wa Al-jami'.[24]
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3,
digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata
berpegang pada usaha sendiridan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di
setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad
keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'.
Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak
terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
1.
Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2.
At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3.
Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
4.
Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
5.
Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting
dalam periode ini adalah:
1. Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab
yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami'
Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu
Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh
Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily (582 H).
2. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu
As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul
Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
3.
Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab
yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih
As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul
Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul
Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
4.
Mengumpulan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.
d. Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah
Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini
dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu
masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[26]
Usaha-usaha yang
dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis,
menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat
kitab-kitab fami' yang umum':
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id,
yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke
dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah,
Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan
masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini
mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah
kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan
Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911
H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung
hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian
ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu
dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij
Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi
Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak
lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun
muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf
Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf
Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan
masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada masa ini adalah:
(1) Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3) Ibnu Daqiq Al-`Ied,
(4) Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6) Ad¬Dimyaty (705 H), (7)
Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9) Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy
(742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762
H), (14) Ibnu Rajab (795 H), (15) Ibnu Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805
H), (` 7) Al-`Iraqy (w. 806 H), ,(18) Al-Haitsamy (807 H), dan (19) A’ u Zurah
(826 H).[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW.,
Khulafaar Rasyidin,dan sebagian besar
masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu
berpindah-pindahdan disampaikan dari
mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis
berdasarkan kekuatan hafalannya. Hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis
yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara
tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (23
H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila
umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz
yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah
angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal
sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara'
sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para
perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para
penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para
penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis
memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm
untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa
pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan.
Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan,
termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis
Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan
sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w.
204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh
imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan lain-lain.
B.
Saran
Setelah mempelajari
perkembangan hadits dari masa ke masa diharapakan kita mampu untuk memahami dan dapat mengapliksikanya dalam kehidupan sehari-hari, walaupun masih kurang maksimal. Namun
itu merupakan suatu bentuk usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
penuh pengabdian dan keikhlasan kepada-NYA.
Kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak. Kami menyadari bahwa
makalah ini banyak kekurangan sehingga perlu disempurnakan lagi di kesempatan
yang akan datang.
[1] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Mesir:
Syirkah Sahimah Mishriyah, 1987), hlm. 48
[4] H.R. Muslim
dalam Syarh al-Nawawi, J. 18, hlm. 129
[5] Muhammad Ajjaj al-khatib, al-sunnah, hlm 92-93
[6] Al-Hakim al-Naysaburi, kitab ma’rifah, hlm. 15
[10] Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-sunnah, hlm. 189
[11] Shalah al-Din ibn Ahmad, manhaj, hlm 30
[13] Muhammad Ajjaj al-Khatib, ushul al-hadits, hlm 53-55
[14] Muhammad Abu Zahw, al-hadits. Hlm 99
[15] M. Hasbi
Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
1987. Hlm. 78-88
[16] Endang
Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar
Pustaka. 2005, hlm. 54
[17] Ketujuh Fuqaha
Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id
Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid
IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
[18]
Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik,
Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
[19] Ibid,h.8
[22] Ibid,h.89-104
[23] Ibid,h.101-102
[25]
Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm. 115-116
[26]
Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti
Sjamsijah. 1965.h.126-134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar