Rabu, 28 Januari 2015

Aliran Antroposentris,Teolog Teosentris dan Konvergensi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan ilmu kalam, pastinya terdapat perbedaan perspektif antara pemikiran satu dengan pemikiran lainnya. Sebagaimana kata “kalam” yang berarti “pembicaraan”. Pembicaraan dalam hal ini yaitu, tentang masalah-masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi, logika dan filsafat serta memperbandingkan masalah yang menyangkut pokok-pokok agama dan yang berhubungan dengannya. Ilmu kalam ataupun filsafat islam tidak akan muncul tanpa adanya perbedaan-perbedaan paradigm (pandangan)antara satu paham dengan paham lainnya. Aliran mu’tazilah dalam hal ini sangat berpengaruh terhadap lahirnya ilmu kalam, yang bisa dikatakan sebagai pencetus paham yang memberikan daya yang kuat terhadap akal (rasional).
B.        Rumusan  Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dirumuskan dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Apa kerangka berpikir aliran-aliran ilmu kalam?
2.  Apa aliran Antroposentris?
3. Apa Teolog Teosentris?
4. Apa Aliran Konvergensi atau Sintesis?
5. Apa Aliran Nihilis?
C.        Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.  Mengetahui kerangka berpikir aliran-aliran ilmu kalam..
2.  Mengetahui aliran Antroposentris.
3.  Mengetahui Teolog Terosentris.
4.  Mengetahui Alian Konvergensis atau Sintesis.
5. Mengetahui Aliran Nihilis.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki  setiap manusia baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis, secara natural sangat distingsif. Oleh karena itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji objektertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.[1]
Dalam kaitan ini, waliyullah Ad-Dahlawi (1114-1176 H) pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji masalah tertentu. Lebih lanjut, ia melihat beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dan tabi’in. Diantaranya adalah kenyataan bahwa terdapat beberapa sahabat yang mendengar ketentuan hukum yang di putuskan nabi, sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu berijtihad. Dari sini, kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan ketentuan hukum.[2]
Secara umum memang tidak ada suatu kebenaran yang unggul yang tersedia bagi manusia atau yang di petik begitu saja. Manusia tiada hentinya (harus) mencari dan mewujudkan kebenarannya yang di tandai ruang dan waktu, secara konkrit dalam masyarakat dan sejarah.[3]

Masyarakat atau generasi adalah “anak zamannya”, karena itu selalu punya keperluan-keperluan khusus sesuai dengan tuntutan zamannya.[4]

Mengikuti pemikiran Foucault, manusia menangkap (memandang dan memahami) realitas dengan cara-cara tertentu, dan juga dengan mengekspresikannya pun dengan cara tertentu pula.[5]
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang meminta atas landasan atau dasar apa kita berbuat sesuatu. Ataupun langsung orang lain bertanya kepada kita apadasar al-Qur’an dan Haditsnya anda berkata demikian? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering dilontarkan kepada kita ketika orang itu menerima atau menemukan persoalan-persoalan yang baru atau persoalan-persoalan yang unik yang mereka temui.
Oleh sebab itu, landasan atau dasar-dasar tasawuf dalam al-Qur’an dan Hadits urgen untuk dibahas. Karena tanpa kajian yang khusus kita tidak bisa menjawab pertanya-pertanyaan tersebut. Karena masa modern ini kita harus lebih banyak mengkaji dan berpegang kepada al-Qur’an dan Hadits yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad sebagai pedoman bagi kita supaya kita tidak terbawa arus globalisasi yang semakin merajalela ini.


Ilmu kalam:
1.      Sebagai ilmu yang menggunakan logika.
2.      Berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.
3.      Berisi keyakinan-keyakinan agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional.
4.      Bermanfaat sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya untuk mengenal Tuhan secara rasional.
5.      Ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliyah atau dialog keagamaan).
6.      Berkembang menjadi teologi rasional dan tradisional.


Dasar-Dasar Qur’ani dan Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Ilmu kalam
1.         Nama dan Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam juga disebut ilmu Usuluddin, menurut beberapa tokoh, pengertian ilmu kalam adalah sebagai berikut:
a.    Musthafa Abdul Roziq : Ilmu kalam yang berkaitan dengan akidah, Imam ini sesungguhnya di bangun atas argumentasi-argumentasi rasional atau ilmu yang berkaitan dengan akidah imam ini bertolak atas bantuan nalar.
b.    Al-Farabi: Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berdasarkan doktrin Islam. Stressing akhirnya memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis.
c.    Ibnu Khaldun: Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imami yang di perkuat dalil-dalil nasional.
Kesimpulan: ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika serta filsafat.

Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan tentang perbandingan antara aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. Sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam artian siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa besar. Kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang status pelaku dosa besar.
Selain itu persoalan yang juga timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu muncul pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar, Pernyataan teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran Murji’ah. Aliran lainnya, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam polemik tersebut. Malah tak jarang di dalam tiap-tiap aliran tersebut terdapat perbedaan pandangan di antara sesama pengikutnya.
Tujuan:
1)        Mengetahui aliran apa saja yang membahas tentang pelaku dosa besar, iman dan kufur.
2)        Mengetahui isi perbandingan-perbandingan antar aliran.
3)        Mengetahui pandangan dan kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran tentang status pelaku dosa besar, iman dan kufur.

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua pendapat diantaranya, yaitu:
1.    Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilator belakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan.
2.    Umar Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek keputusan  sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu:
a.     persoalan keyakinan (aqa’id)
b.    persoalan syariah
c.    persoalan ekonomi.[6]

Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional.
Metode berfikir secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
1.    Hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfinya). (tersayang tidak boleh disamakan dengan arti lain)
2.     Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.[7]
3.    Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.
          Jadi dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yang lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.[8]

Ciri teologi rasional adalah:
1.        Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung menggambar arti majazi.
2.        Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mapu berdiri sendiri.
3.        Keadilan Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.[9]
4.        Mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.
5.        Mengatakan sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan.[10]
Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.        Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
2.        Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
3.         Memberikan daya yang kecil kepada akal.[11]



Adapun ciri teologi tradisional:
1.      Akal mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami  wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.
2.      Manusia tidak bebas bergerak dan berkehendak.
3.      Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunatullah. Namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.[12]
4.      Teologi ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau antropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia.
5.      Mengatakan bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.[13]

Ada tiga berometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak Tuhan.
               Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah mu’tazilah dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalahAsy’ariyah.
                  Teologi liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya berpegang pada arti harfi dari  teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar.
         Teologi liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar dapat ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan uraiannya yang sederhana, mudah dapat diterima oleh kaum awam.[14]
     Teologi adalah menyejarah, karena itu teologi mesti diperbaharui dan terus diperbaharui. Dalam konteks modern era global kebenaran teologi tradisional sudah tidak dapat lagi di pertahankan. Ia sudah tidak dapat lagi menjadi pegangan dan pandangan yang hidup dan member motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit. Dalam bukunya Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, Hanafi menyatakan, bahwa teologi tradisional telah gagal menjadi ideologi yang fungsional bagi kehidupan nyata di dunia ini. Kegagalan para teolog tradisional terjadi karena ketika mereka menyusun teologi tidak menyangkutkan dengan kesadaran murni dan nilai-nilai dari perbuatan manusia. Hal ini berakibat munculnya kutub pertentangan antar keimanan teoritik (al-Tauhid al-Nazhari) dan keimanan praktis (al-Suluk al-Amali) di sementara umat, baik secara individual maupun secara sosial, sehingga menyebabkan umat di landa keterceraian, keterpecahan dan terkoyak-koyak.[15]

Disamping pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.:[16]

B.     Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik yang natural maupun yang supra natural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya.Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.
Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

            Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yan menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan mana yamg jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden.aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

C.    Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini, Ia dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Dan manusia adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.
Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.
Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan . ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka).
Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan. Untuk itu manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang. 
Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah Jabbariyah.

D.    Aliran Konvergensi atau Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos personal dan impersonal. Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya yang dikotomik. Ibnu Arabi (1165-1240) menamakan sifat-sifat yang semacam ini dengan insijam al-azali (prestabilished harmny)[17]. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma dan sifat-sifat realitas mutlak itu. Bahkan, seluruh alam (kosmos), termasuk manusia, juga merupakan cermin asma dan sifat-Nya yang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai pencipta pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali.
Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, sagala sesuatu iyu berada dalam ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal. Sesuatu substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law (hukum alam) yang berlaku.
Aliran ini berkeyakinana bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antar daya yang transendental (Tuhan) –dalam bentuk kebijaksanaan-- dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.
Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah antara ekstrimitas. Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan determinisme transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.

E.     Aliran Nihilis
Aliran ini Tuhan tidak mempunyai sifat mutlak. Hakikat prioritasnya nihil semuanya/nonsens.[18]
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.[19]

Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah sama mempergunakan akal dalam menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
            Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalah hal ini, perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu. Hal ini juga tidak obahnya sebagai hal yang  trdapat dalah bidang hukum Islam atau Fiqih. Disana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.[20]

Penyebab utama yang menimbulkan adanya kerangka berpikir dalam ilmu kalam.
1.   Persoalan keyakinan
2.   Persoalan Syari’ah
3.      Persoalan politik.
     Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang tetap Islam. Sehingga persoalan ini menimbulkan aliran antara lain:

1.      Aliran Khawarij
Iman menurut pandangan khawariij tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan kewajiban agama juga merupakan bagian dari iman. Kufur menurut Khawariz adalah bagi siapa yang tidak mau bergabung kedalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar menurut mereka akan kekal dineraka selama-lamanya.
2.      Aliran Murjiah
Murji’ah adalah kelompok / aliran yang tetap pada barisan Ali bin Abi Thalib.
Berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang di dalam kalbu. Pelaku dosa besar menurut aliran ini tidak akan disiksa di neraka.
Kufur menurut Murji;ah Moderat adalah orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal didalam neraka,mereka disiksa sebesar dosa yang mereka perbuat, dan jika diampuni Allah tidak masuk neraka sama sekali.
a.       Doktrin – Doktrin Murji’ah
Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis.
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1)    Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya kelak di akhirat.
2)    Penangguhan Ali untuk menduduki ranting keempat dan peringkat Al- Khalifah Ar- Rasyidin.
3)    Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
3.   Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang melekat padanya.
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah . Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”(Q.S. Ash-shaffat : 96).
Asy’ariyah yaitu mereka yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar menganggap perbuatannya halal maka ia disebut kafir. Apabila mati sebelum bertoubat maka Allah-lah yang mengetahui ganjarannya.


4.      Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang melekat pada dirinya.selanjutnya, Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat immateri, dan tidak dapat dilihat dari mata kepala.
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.  Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Mu’tazilah adalah golongan yang mengatakan bahwa orang melakukan dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir, tetapi menduduki tempat diantara mu’min dan kafir. Iman menurut Muktazilah adalah amal perbuatan yang merupakan terpenting dalam konsep iman baahkan hampir mengidentikannya dengan iman.
Kufur menurut Muktazilah adalah orang yang berbuat dosa bukan kafir dan bukan muslim tapi dia adalah fasik.
Kufur menurut mereka adalah orang yag melakukan dosa besar dan tidak bertobat pada Allah.

Lima ajaran dasar Teologi Mu’tazilah
1.      At-Tauhid
a.       Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengarungi arti kemaha Esaan-Nya.
b.      Untuk memurnikan keesaan Tuhan (Tanzih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
c.       Tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan.
2.      Al-‘Adl (keadilan)
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
a.       Perbuatan manusia
b.       
5.      Aliran Qodariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat.
Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.

6.      Aliran Jabariyah
Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri.Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya.

7.      Aliran Maturidiyah
Maturidiyah tentang makna sifat Tuhan cendrung mendekati faham Mu'tazilah. Perbedaanya, bahwa Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Aliran Maturidiyah ada 2 pandangan yaitu:
1.      Aliran Maturidiyah Samarkand mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
2.      Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan  bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Maturidiyah  yaitu mereka yang mengatakan pelaku dosa besar masih tetap mukmin karena masih ada keimanan dalam dirinya, adapun balasan yang diperoleh diakhirat tergantung pada apa yang AliranMaturidiyah,
Maturidiyah Samarkand Iman adalah tasydiq bil Qalbi, bukan semata-mata  iqrar bi ala lisan, dan al Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak daat berkurang tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukannya di dunia.
8.         Aliran Syi’ah Rafizah
Tokoh Syi'ah Rafidhah menolak bahwa Tuhan senantiasa bersifat tau. Sebagian mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum ia berkehandak.
9.         Aliran Syi’ah Zaidiah
Syi’ah Zaidiah adalah mereka yang mengatakan pelaku dosa besar akan kekal di neraka sebelum ia bertobat dengan sebenar benar tobat.
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas kami dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan makalah kami, yaitu sebagai berikut:
Menjelaskan tentang bagaimana kerangkaberpikir aliran-aliran ilmu kalam, Aliran Antroposentris, Teolog Teosentris, Aliran Konvergensi atau Sintesis, Aliran Nihilis dari amsing-masing aliran-aliran yang ada dala proses berpikir mengenai ilmu kalam, awal mulanya dsb.
B.        Saran-saran
Setelah pembuatan makalah ini, penulis mengharapkan agar pembaca bisa lebih termotivasi untuk mempelajari dan memahami ilmu kalam. Kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dapat lebih baik lagi dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.



[1]Prof.Dr. H. Abdul Rozak, M.Agdan Prof. Dr. H. Rohison Anwar, M.Ag. ilmukalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 31.
[2]Sebagai contoh adalah peristiwa berhajinya rasul dengan sebagian para sahabatnya. Sebagian sahabat menganggap bahwa memperpanjang pelaksanaan tawaf, sebagaimana yang mereka saksikan dari Nabi, termasuk perbuatan sunnah, sementara itu, sebagian sahabat merasa ragu-ragu atau bimbang dalam menentukan persoalan ini. Lihat waliyullah Ad-Dahlawi, Al-Isghaf fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf, Dar An-Nafais, Beirut, 1978, hlm. 15-30
[3]C.Verhak dan R. Haryono Imam, Filsafat ilmu Pengetahuan; Telaah Atas cara kerja Ilmu-Ilmu, (jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 174
[4] Nurcholis majid, Perguruan Tinggi Islam dan Rekontruksi Tradisi Keilmuan di Masa Depan, dalam Ulumuddin, Jurnal Ilmu dan Pemikiran Keagamaan, No.01 Th.II, Juni 1999, diterbitkan oleh Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, hlm.13
[5]Lukman S. Thaher, Studi Islam, hlm.203
[6]Ibid., hlm. 31-32.
[7]Ibid., hlm. 32
[10]Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan,UI Press, Jakarta, 1996, hlm.143
[11]Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[13]Nasution, Harun, Op. Cit, hlm. 144.

[14]Ibid., hlm. 151
[15]hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-tsawrah (Kairo: Maktabah madbuli, 1988), hlm. 68
[16]Muhammad Fazlur Rahman Ansari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Ridwan, dkk, Risalah, Bandung, 1984, hlm. 92.
[17]lihat Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R. Nicholson, jilid II, t.t, hlm.22.
[18]omong kosong: tidak berarti: segala yang di ungkapkannya itu belaka.

[19]Abdul Razak dan  Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 34-37.
[20]Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar