BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam membahas persoalan yang berkaitan
dengan ilmu kalam, pastinya terdapat perbedaan perspektif antara pemikiran satu
dengan pemikiran lainnya. Sebagaimana kata “kalam” yang berarti “pembicaraan”.
Pembicaraan dalam hal ini yaitu, tentang masalah-masalah ketuhanan dengan
menggunakan argumentasi, logika dan filsafat serta memperbandingkan masalah
yang menyangkut pokok-pokok agama dan yang berhubungan dengannya. Ilmu kalam
ataupun filsafat islam tidak akan muncul tanpa adanya perbedaan-perbedaan
paradigm (pandangan)antara satu paham dengan paham lainnya. Aliran mu’tazilah
dalam hal ini sangat berpengaruh terhadap lahirnya ilmu kalam, yang bisa
dikatakan sebagai pencetus paham yang memberikan daya yang kuat terhadap akal (rasional).
B.
Rumusan Masalah
Masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini dirumuskan dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa
kerangka berpikir aliran-aliran ilmu kalam?
2. Apa aliran Antroposentris?
3. Apa Teolog Teosentris?
4. Apa Aliran Konvergensi atau Sintesis?
5. Apa Aliran Nihilis?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan
pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.
Mengetahui kerangka berpikir aliran-aliran ilmu kalam..
2. Mengetahui
aliran Antroposentris.
3. Mengetahui
Teolog Terosentris.
4. Mengetahui Alian Konvergensis atau Sintesis.
5.
Mengetahui Aliran Nihilis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Mengkaji
aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka
berpikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia baik berupa potensi biologis
maupun potensi psikologis, secara natural sangat distingsif. Oleh karena itu,
perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam
mengkaji objektertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.[1]
Dalam kaitan
ini, waliyullah Ad-Dahlawi (1114-1176 H) pernah mengatakan bahwa para sahabat
dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji masalah tertentu. Lebih
lanjut, ia melihat beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat dan tabi’in. Diantaranya adalah kenyataan bahwa terdapat
beberapa sahabat yang mendengar ketentuan hukum yang di putuskan nabi,
sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu
berijtihad. Dari sini, kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan
ketentuan hukum.[2]
Secara umum memang tidak ada suatu kebenaran
yang unggul yang tersedia bagi manusia atau yang di
petik begitu saja. Manusia tiada hentinya (harus) mencari dan mewujudkan
kebenarannya yang di tandai ruang dan waktu, secara konkrit dalam masyarakat
dan sejarah.[3]
Masyarakat atau generasi adalah “anak zamannya”, karena
itu selalu punya keperluan-keperluan khusus sesuai dengan tuntutan zamannya.[4]
Mengikuti pemikiran Foucault, manusia menangkap
(memandang dan memahami) realitas dengan cara-cara tertentu, dan juga dengan
mengekspresikannya pun dengan cara tertentu pula.[5]
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita sering mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang meminta atas landasan atau dasar apa kita berbuat
sesuatu. Ataupun langsung orang lain bertanya kepada kita apadasar al-Qur’an
dan Haditsnya anda berkata demikian? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering
dilontarkan kepada kita ketika orang itu menerima atau menemukan
persoalan-persoalan yang baru atau persoalan-persoalan yang unik yang mereka
temui.
Oleh sebab itu, landasan atau dasar-dasar tasawuf dalam al-Qur’an dan
Hadits urgen untuk dibahas. Karena tanpa kajian yang khusus kita tidak bisa
menjawab pertanya-pertanyaan tersebut. Karena masa modern ini kita harus lebih
banyak mengkaji dan berpegang kepada al-Qur’an dan Hadits yang ditinggalkan
oleh Nabi Muhammad sebagai pedoman bagi kita supaya kita tidak terbawa arus
globalisasi yang semakin merajalela ini.
Ilmu kalam:
1. Sebagai ilmu yang menggunakan logika.
2. Berfungsi untuk mempertahankan keyakinan
ajaran agama yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.
3. Berisi keyakinan-keyakinan agama yang
dipertahankan melalui argumen-argumen rasional.
4. Bermanfaat sebagai ilmu yang mengajak orang
yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya untuk mengenal Tuhan secara
rasional.
5. Ilmu ini menggunakan metode dialektika
(jadaliyah atau dialog keagamaan).
6. Berkembang menjadi teologi rasional dan
tradisional.
Dasar-Dasar Qur’ani dan Sejarah Kemunculan
Persoalan-Persoalan Ilmu kalam
1.
Nama dan Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam juga disebut ilmu Usuluddin, menurut beberapa tokoh, pengertian
ilmu kalam adalah sebagai berikut:
a. Musthafa Abdul Roziq : Ilmu kalam yang
berkaitan dengan akidah, Imam ini sesungguhnya di bangun atas argumentasi-argumentasi
rasional atau ilmu yang berkaitan dengan akidah imam ini bertolak atas bantuan
nalar.
b. Al-Farabi: Ilmu kalam adalah disiplin ilmu
yang membahas tentang dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang
mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati
yang berdasarkan doktrin Islam. Stressing akhirnya memproduksi ilmu ketuhanan
secara filosofis.
c. Ibnu Khaldun: Ilmu kalam merupakan disiplin
ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imami yang di perkuat
dalil-dalil nasional.
Kesimpulan: ilmu yang membahas berbagai
masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika serta filsafat.
Ilmu kalam sebagaimana
diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Di dalam ilmu kalam
itu terdapat sub bahasan tentang perbandingan antara aliran-aliran serta
ajaran-ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui,
menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain.
Sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam artian siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Persoalan ini
kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih
umum, yakni status pelaku dosa besar. Kerangka berpikir yang digunakan
tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang status pelaku dosa
besar.
Selain itu
persoalan yang juga timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur.
Persoalan itu muncul pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap kafir
sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar,
Pernyataan teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam
setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian, termasuk
aliran Murji’ah. Aliran lainnya, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan
Maturidiyah turut ambil bagian dalam polemik tersebut. Malah tak jarang di
dalam tiap-tiap aliran tersebut terdapat perbedaan pandangan di antara sesama
pengikutnya.
Tujuan:
1)
Mengetahui aliran apa saja yang membahas tentang pelaku dosa besar, iman dan kufur.
2)
Mengetahui isi perbandingan-perbandingan antar aliran.
3)
Mengetahui pandangan dan kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap
aliran tentang status pelaku dosa besar, iman dan kufur.
Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua
pendapat diantaranya, yaitu:
1. Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan
sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan Imam
Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilator
belakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas
seseorang sebagai figur pembuat keputusan.
2.
Umar Sulaiman
Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu
terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi
objek perbedaan pendapat, yaitu:
a.
persoalan keyakinan (aqa’id)
b.
persoalan
syariah
c.
persoalan
ekonomi.[6]
Perbedaan
metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional.
Metode berfikir secara rasional memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
1.
Hanya terikat
dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Quran dan
Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasi lagi
kepada arti lain, selain arti harfinya). (tersayang tidak boleh disamakan dengan arti lain)
2.
Memberikan kebebasan kepada manusia dalam
berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.[7]
3.
Fokus dalam
prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus
lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada
orang lain.
Jadi dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu
kalam akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika
yang lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas kemampuan dan daya
serap pikiran manusia biasa.[8]
Ciri teologi rasional adalah:
1.
Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi, karena dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung
menggambar arti majazi.
2.
Manusia bebas
berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mapu berdiri sendiri.
3.
Keadilan Tuhan menurut
pendapat ini, terlatak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur
perjalanan alam ini.[9]
4.
Mengatakan
bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.
5.
Mengatakan
sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu
dan diciptakan Tuhan.[10]
Adapun metode
berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Terikat pada
dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh
mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
2.
Tidak memberikan
kebebasan pada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
3.
Memberikan
daya yang kecil kepada akal.[11]
Adapun ciri
teologi tradisional:
1.
Akal mempunyai
kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung
mengambil arti lafzhi atau literal.
2.
Manusia tidak
bebas bergerak dan berkehendak.
3.
Kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunatullah. Namun benar-benar
menurut kehendak mutlak Tuhan.[12]
4.
Teologi ini
menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat
nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat tajassum atau antropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu
tidak sama dengan sifat jasmani manusia.
5.
Mengatakan
bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.[13]
Ada tiga berometer, sekurang-kurangnya untuk
melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu,
perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak Tuhan.
Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi
rasional adalah mu’tazilah dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode
berfikir tradisional adalahAsy’ariyah.
Teologi liberal dengan keadaannya
banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran kaum
terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya berpegang pada arti
harfi dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya
ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan
terpelajar.
Teologi liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar
dapat ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan
uraiannya yang sederhana, mudah dapat diterima oleh kaum awam.[14]
Teologi adalah
menyejarah, karena itu teologi mesti diperbaharui dan terus diperbaharui. Dalam
konteks modern era global kebenaran teologi tradisional sudah tidak dapat lagi
di pertahankan. Ia sudah tidak dapat lagi menjadi pegangan dan pandangan yang
hidup dan member motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit. Dalam bukunya Min
al-Aqidah ila al-Tsawrah, Hanafi menyatakan, bahwa teologi tradisional telah
gagal menjadi ideologi yang fungsional bagi kehidupan nyata di dunia ini. Kegagalan para teolog
tradisional terjadi karena ketika mereka menyusun teologi tidak menyangkutkan
dengan kesadaran murni dan nilai-nilai dari perbuatan manusia. Hal ini
berakibat munculnya kutub pertentangan antar keimanan teoritik (al-Tauhid
al-Nazhari) dan keimanan praktis (al-Suluk al-Amali) di sementara umat, baik secara
individual maupun secara sosial, sehingga menyebabkan umat di landa
keterceraian, keterpecahan dan terkoyak-koyak.[15]
Disamping pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.:[16]
B.
Aliran Antroposentris
Aliran
antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik yang
natural maupun yang supra natural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah
anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya.
Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan demikian,
manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih
kemerdekaan dari lilitan naturalnya.Orang yang tergolong dalam kelompok ini
berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya
terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan keinginannya.
Sementara ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-praktek pertapaan dan
konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya kedalam realita
impersonalnya.
Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah
mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris
sangat dinamis karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos
dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir.
Daya itu berupa potensi yan menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan
mana yamg jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan
melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memeroleh
kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan
mutlak tanpa campur tangan realitas transenden.aliran teologi yang termasuk
dalam kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
C.
Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden
bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Aliran teosentris menganggap daya
yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari
Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini, Ia
dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak Sewaktu-waktu
ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Dan
manusia adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.
Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan . ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka).
Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan . ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka).
Didalam kondisi
yang serba relatif, diri manusia adalah migran abadi yang aka segera kembali
kepada Tuhan. Untuk itu manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan
realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya,
manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan naturalnya.
Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu
memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam
inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan
datang.
Oleh sebab itu,
ada kalanya manusia mampu melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang
datang kepadanya. Sebaliknya ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun
tatkala ia ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu
campur tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali
terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini
adalah Jabbariyah.
D.
Aliran
Konvergensi atau Sintesis
Aliran konvergensi
menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos
personal dan impersonal. Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan,
sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya
yang dikotomik. Ibnu Arabi (1165-1240) menamakan sifat-sifat yang semacam ini
dengan insijam al-azali (prestabilished harmny)[17].
Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma
dan sifat-sifat realitas mutlak itu. Bahkan, seluruh alam (kosmos), termasuk
manusia, juga merupakan cermin asma dan sifat-Nya yang beragam.
Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai pencipta pada dasarnya
adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali.
Aliran
konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, sagala sesuatu iyu berada dalam
ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal. Sesuatu
substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim)
karena merupakan gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan
kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan relatif. Eksistensinya
sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law
(hukum alam) yang berlaku.
Aliran ini
berkeyakinana bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antar daya
yang transendental (Tuhan) –dalam bentuk kebijaksanaan-- dan daya temporal
(manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak
berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang
transendental yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh
karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya,
ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah
berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya
transendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala
atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan
peristiwa tertentu.
Kebahagiaan,
bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat
pendulum agar selalu tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah
antara ekstrimitas. Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang
tetap, atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan
makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan
suatu bagian yang tidak terpisahkan sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan
dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia
yang profan selalu berdampingan determinisme transendental Tuhan yang
sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke
dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
E.
Aliran Nihilis
Aliran ini Tuhan tidak mempunyai sifat mutlak.
Hakikat prioritasnya nihil semuanya/nonsens.[18]
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat
realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang
mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada
kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik
dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai kebahagian besifat fisik
yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
Manusia
hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang
serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri
sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya,
manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral
perjuangan seluruh manusia.[19]
Semua aliran teologi dalam Islam, baik
Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah sama mempergunakan akal dalam
menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam.
Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat
kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai
daya yang lemah.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalah hal ini, perbedaan yang
terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi
mengenai teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan interpretasi inilah yang
sebenarnya menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu. Hal ini juga tidak
obahnya sebagai hal yang trdapat dalah bidang hukum Islam atau Fiqih.
Disana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab seperti
yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan
mazhab Hambali.[20]
Penyebab utama yang menimbulkan adanya
kerangka berpikir dalam ilmu kalam.
1. Persoalan keyakinan
2. Persoalan Syari’ah
3. Persoalan politik.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan
siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang keluar dari
Islam dan siapa yang tetap Islam. Sehingga persoalan ini menimbulkan aliran
antara lain:
1.
Aliran Khawarij
Iman menurut
pandangan khawariij tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan
kewajiban agama juga merupakan bagian dari iman. Kufur menurut Khawariz adalah
bagi siapa yang tidak mau bergabung kedalam barisan mereka, sedangkan pelaku
dosa besar menurut mereka akan kekal dineraka selama-lamanya.
2.
Aliran Murjiah
Murji’ah
adalah kelompok / aliran yang tetap pada barisan Ali bin Abi Thalib.
Berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam
kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang di
dalam kalbu. Pelaku dosa besar menurut aliran ini tidak akan disiksa di neraka.
Kufur menurut Murji;ah Moderat adalah orang
yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal didalam
neraka,mereka disiksa sebesar dosa yang mereka perbuat, dan jika diampuni Allah
tidak masuk neraka sama sekali.
a. Doktrin – Doktrin Murji’ah
Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis.
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis.
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1) Penangguhan keputusan terhadap Ali dan
Muawiyah hingga Allah memutuskannya kelak di akhirat.
2) Penangguhan Ali untuk menduduki ranting
keempat dan peringkat Al- Khalifah Ar- Rasyidin.
3) Pemberian harapan (giving of hope) terhadap
orang muslim yang berdosa besar untuk
3.
Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang
melekat padanya.
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena
itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah . Untuk membela keyakinan
tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”(Q.S. Ash-shaffat : 96).
Asy’ariyah
yaitu mereka yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar menganggap perbuatannya
halal maka ia disebut kafir. Apabila mati sebelum bertoubat maka Allah-lah yang
mengetahui ganjarannya.
4.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang
melekat pada dirinya.selanjutnya, Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat
immateri, dan tidak dapat dilihat dari mata kepala.
Aliran
Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena
itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil. Aliran Mu’tazilah
mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia
berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Mu’tazilah adalah golongan yang mengatakan
bahwa orang melakukan dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir, tetapi menduduki
tempat diantara mu’min dan kafir. Iman menurut Muktazilah adalah amal perbuatan
yang merupakan terpenting dalam konsep iman baahkan hampir mengidentikannya
dengan iman.
Kufur menurut Muktazilah adalah orang yang
berbuat dosa bukan kafir dan bukan muslim tapi dia adalah fasik.
Kufur menurut mereka adalah orang yag melakukan
dosa besar dan tidak bertobat pada Allah.
Lima
ajaran dasar Teologi Mu’tazilah
1.
At-Tauhid
a.
Tuhan harus
disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengarungi arti kemaha Esaan-Nya.
b.
Untuk
memurnikan keesaan Tuhan (Tanzih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala.
c.
Tidak ada
satupun yang dapat menyamai Tuhan.
2.
Al-‘Adl
(keadilan)
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat
dengan beberapa hal, antara lain:
a.
Perbuatan
manusia
b.
5.
Aliran Qodariyah
Aliran
Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya
atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat.
Doktrin-doktrin
ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an
yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya
: “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia,
dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.
6.
Aliran Jabariyah
Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri.Jabariyah Moderat
mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat
maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya.
7.
Aliran Maturidiyah
Maturidiyah
tentang makna sifat Tuhan cendrung mendekati faham Mu'tazilah. Perbedaanya,
bahwa Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Aliran Maturidiyah ada 2 pandangan
yaitu:
1.
Aliran Maturidiyah Samarkand mereka berpendapat bahwa perbuatan
tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan
berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan
pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
2.
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti
menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan.
Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang
kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya
bersifat mungkin saja.
Maturidiyah yaitu mereka yang mengatakan
pelaku dosa besar masih tetap mukmin karena masih ada keimanan dalam dirinya,
adapun balasan yang diperoleh diakhirat tergantung pada apa yang
AliranMaturidiyah,
Maturidiyah Samarkand Iman adalah tasydiq bil Qalbi, bukan semata-mata iqrar bi ala lisan, dan al Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak daat berkurang tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukannya di dunia.
Maturidiyah Samarkand Iman adalah tasydiq bil Qalbi, bukan semata-mata iqrar bi ala lisan, dan al Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak daat berkurang tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukannya di dunia.
8.
Aliran Syi’ah
Rafizah
Tokoh Syi'ah
Rafidhah menolak bahwa Tuhan senantiasa bersifat tau. Sebagian mereka
berpendapat bahwa Tuhan tidak bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum ia
berkehandak.
9.
Aliran Syi’ah
Zaidiah
Syi’ah Zaidiah adalah mereka yang mengatakan
pelaku dosa besar akan kekal di neraka sebelum ia bertobat dengan sebenar benar
tobat.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
pembahasan di atas kami dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan
intisari dari pembahasan makalah kami, yaitu sebagai berikut:
Menjelaskan
tentang bagaimana kerangkaberpikir aliran-aliran ilmu kalam, Aliran Antroposentris, Teolog Teosentris, Aliran
Konvergensi atau Sintesis, Aliran Nihilis dari amsing-masing aliran-aliran yang
ada dala proses berpikir mengenai ilmu kalam, awal mulanya dsb.
B.
Saran-saran
Setelah
pembuatan makalah ini, penulis mengharapkan agar pembaca bisa lebih termotivasi
untuk mempelajari dan memahami ilmu kalam. Kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca agar dapat lebih baik lagi dalam pembuatan makalah-makalah
selanjutnya.
[1]Prof.Dr. H. Abdul Rozak, M.Agdan Prof. Dr. H. Rohison Anwar, M.Ag. ilmukalam,
Cet.
III, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm.
31.
[2]Sebagai contoh adalah peristiwa berhajinya rasul dengan sebagian
para sahabatnya. Sebagian sahabat menganggap bahwa memperpanjang pelaksanaan
tawaf, sebagaimana yang mereka saksikan dari Nabi, termasuk perbuatan sunnah,
sementara itu, sebagian sahabat merasa ragu-ragu atau bimbang dalam menentukan
persoalan ini. Lihat waliyullah Ad-Dahlawi, Al-Isghaf fi Bayan Asbab
Al-Ikhtilaf, Dar An-Nafais, Beirut, 1978, hlm. 15-30
[3]C.Verhak dan R. Haryono Imam, Filsafat ilmu
Pengetahuan; Telaah Atas cara kerja Ilmu-Ilmu, (jakarta; Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hlm. 174
[4] Nurcholis majid, Perguruan Tinggi Islam dan
Rekontruksi Tradisi Keilmuan di Masa Depan, dalam Ulumuddin, Jurnal Ilmu dan
Pemikiran Keagamaan, No.01 Th.II, Juni 1999, diterbitkan oleh Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah Malang, hlm.13
[5]Lukman S. Thaher, Studi Islam, hlm.203
[10]Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan,UI
Press, Jakarta, 1996, hlm.143
[11]Abdul Razak dan
Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[13]Nasution,
Harun, Op. Cit, hlm. 144.
[15]hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-tsawrah (Kairo:
Maktabah madbuli, 1988), hlm. 68
[16]Muhammad Fazlur Rahman Ansari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern,
Terj. Ridwan, dkk, Risalah, Bandung, 1984, hlm. 92.
[17]lihat Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush
Al-Hikam, Komentar A.R. Nicholson, jilid II, t.t, hlm.22.
[18]omong kosong: tidak berarti: segala yang di ungkapkannya itu
belaka.
[19]Abdul Razak
dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 34-37.
[20]Harun Nasution,
Op. Cit., hlm. 150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar