BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil
pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa
itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya
penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang
diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman. Hal itu berubah setelah Nabi
wafat. Nabi tempat betanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan
budaya semakin berkembang pesat karena
terjadi persentuhangan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju Penganut islam sudah beragam dan sebagiaanya
telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima
secara imani mulai dipertanyakan dianalisa. Al Syahrastani menyebutkan beberapa
prinsip yang yang meruapakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam islam.
Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ilmu al kalam yakni berkenaan
dengan qodar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama’ kalam membicarakan masalah
qodho’ dan qodar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif,
pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan
manusia.Dalam makalah ini kami akan membahas tentang aliran Jabariyah dan
Qodariyah secara lebih rinci pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah Makalah ini
yaitu :
1.
Latar belakang
kemunculan Jabariyah ?
2.
Doktrin-doktrin
pokok Jabariyah ?
3.
Latar belakang
kemunculan Qodariyah?
4.
Doktrin-doktrin
pokok Qodariyah?
5.
Perkembangan
Jabariyah Dan Qodariyah ?
C. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan mencari sumber dari beberapa buku
sebagai referensi dan dari mata kuliah ini kami lebih memahami tentang
pengetahuan Ilmu Kalam, khususnya pada materi yang kami bahas pada makalah ini.
Semoga bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. JABARIYAH
1.
Latar
Belakang Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang
berarti memaksa. Didalam Al Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari
kata Jabara yang artinya memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.[1]
Dikatakan Allah mempunyai sifat al jabar (dalam bentuk mubalaghoh, artinya
Allah Maha Memaksa. Ungkapan Al Insan
Majbur (bentuk ) yang berarti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Selanjutnya Kata Jabara (bentuk
pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah Ya Nisbah) artinya
adalah suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut As Syahrat Tsani menegaskan bahwa paham Al Jabar berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya
kepada Allah SWT.[2]
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatanya dalam keadaan terpaksa. Dalam
Bahasa Inggris (Teologi), Jabariyah dikenal dengan sebutan Fatalism atau Predestination
yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qodho’
dan Qodar Tuhan. [3] Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal usul kemunculan
dan perkembangan Jabariyah, Tampaknya
perlu dijelaskan siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebarluaskan paham Al
Jabar serta dalam situasi kepahaman ini
muncul.
Paham Al Jabar pertama kali diperkenalkan
oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) kemudian disebarkan oleh Jam’ Shafwan
(125 H) dari Khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Ja’m sebagai tokoh yang
mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia duduk sebagai
kesekretaris Suraih bin Al Haris dan menemaninya dalam gerakan melawan
kekuasaan Bani Umayah.[4]
Dalam perkembanganya Paham Al Jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh
diatas. Dan masih banyak tokoh-tokoh yang berjasa dalam mengembangkan paham
ini, diantaranya adalah Husain bin Muhammad An Najjar dan Ja’d bin Dirar.
Mengenai Kemunculan faham Al Jabar, para
ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.
Di antara ahlinya adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan kehidupan bangsa arab
yang dikunkung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh besar ke dalam
cara hidup mereka. [5]Ketergantungan
mereka pada alam sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian, masyarakat Arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah
keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Mereka merasa dirinya
lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Mereka banyak
bergantung pada kehendak alam, hal ini membawa mereka pada sikap Fatalisme.[6] Benih-benih faham Al Jabar sudah muncul
sebelum kedua tokoh diatas, terlihat dalam peristiwa sejarah sebagai berikut:
a.
Suatu ketika
Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah taqdir Tuhan.
Nabi melarang untuk memeperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan bebrapa penafsiran tentang ayat-ayat Al Qur’an mengenai takdir.[7]
b.
Kholifah Umar
bin Khottob pernah menagkap sesorang yang ketahuan mencuri, dia diinterogasi
pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku itu telah berdusta kepada
Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil taqdir Tuhan.[8]
c.
Kholifah Ali bin
Abi Tholib seusai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar
(ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya,” Apabila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan Qodho’
dan Qodar Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal
perbuatan manusia. Ali selanjutkan menjelaskan sekiranya qodho’ dan qodar
merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pula makna janji dan
ancaman Tuhan serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujiannya bagi
orang-orang yang baik.[9]
d.
Pada pemeintahan
daulah Bani Umayah, pandangan tentang Al Jabar semakin mencuat ke permukaan.
Abdullah bin Abbas melalui suratnya mmeberikan reaksi keras kepada penduduk
Syiria yang diduga berfaham “Jabariyah”.[10]
Beberapa peristiwa
diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode
islam. Akan tetapi, al jabar sebagai pola pikir atau aliran yang di anut, di pelajari dan di
kembangkan terjadi pada masa pemerintahan daulah bani umayah, yaitu oleh kedua
tokoh yang di sebutkan.[11]
Berkaitan dengan kemunculan aliran
jabariyah dalam islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya
dipengaruhi oleh pemikiran asing, yaitu pengaruh yahudi bermadzab qurra dan
agama kristen bermadzab yacobit.[12]
Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al jabar akan
muncul dikalangan umat islam. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
dapat menimbulkan faham ini,yang berarti:
Dalam
surat An An’am ayat 111:
“....Mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki......”
“....Mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki......”
Dalam
surat As Shaffat ayat 96:
“padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
Dalam
surat Al Anfal ayat 17:
وما رميت اذ رميت ولكن الله رمي
“Bukanlah engkau yang melontar
ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allah lah yang melontar (mereka).”
مااصاب من مصيبة في الارض ولا في انفسكم الا في كتاب من قبل ان تبرأها.
”Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah
ditentukan di dalam buku sebelum kami wujudkan”, (Q.S al-Hadid 57-22).
Terjemahnya : ” Bukanlah engkau melontar ketika engkau melontar, tetapi
Allah lah yang melontar, (Q.S al-Anfal 8-17).
وما تشاءون الا ان يشاء الله
”Tidak kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki
(Q.S al-Insan 76-30).
Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada
alam pikiran jabariah. Mungkin inilah sebabnya pola pikir jabariyah masih tetap
ada di kalangan umat islam hingga kini walaupun anjuranya telah tiada.
2. Doktrin-doktrin
Pokok Jabariyah
Menurut As Syahrastani, Jabariyah itu dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : Eksterm dan Moderat. [13]
Di
antara doktrin Jabariyah Eksterm adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau sesorang mencuri,
perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena
qodho’ dan qodar Tuhan yang menghendaki demikian. [14]
3. Para Pemuka
Jabariyah
Diantara
pemuka Jabariyah eksterm adalah sebagai berikut:
a. Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus bin Shofwan.
Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang fasih
dan lincah ( orator). Ia duduk sebagai sekretaris Harist bin Suraist, seorang
mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian
dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.[15]
Sebagai seorang penganut dan penyebar
paham Jabariyah, banyak uasaha yang dilakukan Jahm, antara lain menyebarkan
doktrinnya ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Di antara pendapat-pendapat Jahm berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1)
Manusia tidak
mampu unuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih
terkenal dibandingkan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu as
sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2)
Surga dan neraka
tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)
Iman dan
ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)
Kalam Tuhan
adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak
dapat dilihat dengan indra mata di akhirat kelak.
Dengan
demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah,
Mu’tazilah, dan Asy’ariyah sehingga para pengritik dan sejarawan menyebutnya
dengan Al Mu’tazili, Al Murji’i, dan Al Asy’ari.
b. Ja’d bin Dirham
Al Ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim,
tinggal di Damaskus. Mereka dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang
senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah pikiran-pikirannya yang kontroversial
terlihat, Bani Umayah menolaknya sehingga ia harus lari ke Kufah dan bertemu
dengan Jahm, yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin
pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al Ghuraby menjelaskannya
seebagai berikut:[16]
1) Al
Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru tidak
dapat disifatkan kepada Allah.
2)
Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan
mendengar.
3)
Manusia terpaksa
oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah eksterm, Jabariyah
moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan
jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai manusia mempunyai bagia
di dalamnya. efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan
kasab (acquistion).[17]
Menurut paham kasab, manusia tidak Majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti
wayang yang terkendali di tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[18]
Diantara pemuka
Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
a. An Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An
Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An Najjaraiyah atau Al
Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnaya adalah:
1)
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut Kasab dalam
teori Al Asy’ari.[19]
Dengan
demikian, manusia dalam pandangan An Najjar tidak lagi seperti wayang yang
gerakannya bergantung pada adalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan dalam
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2)
Tuhan tidak
dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Tuhan.[20]
b. Ad Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr.
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain An Najjar, yaitu bahwa
manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai
bagia dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak semata-mata karna terpaksa dalam
melakukan perbuatannya.[21]
Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua
pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh
Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.[22]
Mengenal
ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui “indra keenam”. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima
setelah Nabi adalah Ijtihad. Hadits Ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum.[23]
B. QADARIYAH
1. Latar Belakang
Qadariyah
Qodariyah
berasal dari bahasa arab qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan.[24]
Menurut pengertian terminologi, Qodariyah adalah aliran yang terpecaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatanya;ia dapat berbuat
sesuatau atau meninggalkanya atas kehendak sendiri.[25]Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat di pahami
bahwa Qodariyah digunakan untuk nama aliran yang memberikan penekanan atas
pembebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun
Nation turut menegaskan bahwa kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendakanya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[26]
Qadariah dalam teologi barat dikenal
dengan istilah free will dan free act[27]. Penganut paham
Qadariah berpendapat bahwa Allah swt, tidak memaksakan kehendaknya pada manusia
dalam mengatur hidupnya, tetapi Allah swt memberikan kepada manusia kemampuan
untuk berbuat sesuatu sehingga mereka bebas melakukan apa saja yang
diinginkannya, dan sebagai konsekuensinya manusia mutlak bertanggung jawab atas
segala perbuatannya.
Adapun ayat-ayat yang membawa kepada paham Qadariah dalam al-Qur’an
disebutkan antara lain :
وقل الحق
من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
”kebenaran
datang dari tuhanmu, siapa yang mau,
percayalah ia, siapa yang mau, janganlah ia percaya”, (Q.S al-Kahfi 18-29).
اعملوا ما شئتم انه بما تعملون
بصير
”Buatlah apa
yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu kerjakan”, (al-Fushilat
41) .
ان الله لايغير ما بقوم حتي يغيروا ما بانفسهم
”Tuhan tidak akan merubah apa yang
ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”,
(Q.S al-Ra’ad 13-11).
Sebutan
qadariah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan
tersebut telah melakat pada aliran yang terpecaya bahwa manusia mempunyai
kebebasan berkehendak. Demikianlah pemahaman kaum sunni pada umumnya. Menurut
Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan
mereka dengan merujuk pada hadist yang membuat negatif nama Qadariyah.
Hadist
ini berarti :
“kaum qadariyah adalah majusinya umat ini.”
“kaum qadariyah adalah majusinya umat ini.”
Menurut Ahmad Amin, ada para ahli
teologi yang mengatakan bahwa qadariah pertama dimunculkan oleh Ma’ad Al
jauhani (w. 80 H) dan Ghailan ad-Dimasyqy. Ma’ad adalah seorang ta”bai yang
dapat di percaya dan pernah berguru kepada hasan Al-Bisri. Sementara, Ghailan
adalah seorang arator berasal dari damaskus dan ayahnya menjadi nmaulana Utsman
bin Affan
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh
Al-uyun,seperti di kutip Ahmad Amin (1886-1954M), .memberi informasi lain bahwa
yang pertama kali munculkan faham Qadariyah
adalah orang irak yang semula beragama kristen kemudaian masuk islam dan
kembali ke agama kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan ghailan mengambil paham
ini. Orang irak yang dimaksud,sebagaimana yang dikatakan muhammmad ibnu Syu’ib
yang memperolah informasi dari auzai adalah Susan.[28]
Sementara itu, W.Montgomey Watt
menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang
di publikasikan melalui majalah Der Islam
pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan faham qadariyah yang terdapat dalam
kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri
Sekitar tahun 700M. Hasan Al Basri (642-728) adalah anak seorang yang berstatus
tahanan diirak , lahir di madinah , tetapi pada tahun 657 pergi ke Basrah dan
tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Apakah Hasan Al-Basri orang Qodariyah
atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi yang jelas
–berdasarkan catatanya yang terdapat dalam Kitab Risalah ini-ia percaya bahwa
manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa
manusia bebas memilih antara berbuat
baik atau berbuat buruk.[29]
Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah
penganut Qodariyah yang hidup setelah Hasan Al Bashri.[30]
Apabila dihubungkan dengan keterangan Adz Dzahabi dalam Mizan Al I’tidal,
seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al Jauhari pernah
belajar kepada Hasan Al Bashri. Jadi, sangat mungkin faham Qodariyah ini
mula-mula dikembangkan Hasan Al Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis
oleh Ibn Nabatah dalam Syarh Al Uyun yang menyatakan bahwa paham Qodariah
berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali ke Kristen,
ada kemungkinan direkayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini,
agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qodaiyah. Menurut Kremer,
seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu perdebatan
tentang butir doktrin “Qodariyah” mencekam pikiran para teolognya.[31]
Berkaitan dengan persoalan pertama kali
Qodariyah muncul, penting untuk melirik kembali pendapat Ahmad Amin yang
menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum
sepakat mengenai ini karena ketika itu penganut Qodariyah sangat banyak.
Sebagian terdapat di Irak denagn bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian
Hasan Al Bashri. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ibn Nabatan bahwa yang
mencentuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari
Irak yang telah masuk Islam dan dari orang ini diambil oleh Ma’bad dan Ghailan.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa paham ini muncul di Damascus disebabkan
oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana
kholifah.[32]
Paham Qodariyah mendapat tantangan keras
dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya
reaksi keras terhadap paham Qodariyah. Pertama,
seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam
dipengarui oleh paham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana
dan jauh dari pengetahuan. Mereka sellau terpaksa mengalah pada keganasan alam,
panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa
dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh
alasan sekelilingnya. Paham itu terus dianut meskipun mereka sudah beragama
Islam. Oleh karena itu, ketika paham Qodariyah dikembangkan, mereka tidak dapat
menerimanya. Paham Qodariyah dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua,
tantangan
dari pemerintah. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat
pemerintahan ketika itu menganut paham Jabariyah. Ada kemungkinan juga
pemerintah menganggap gerakan paham Qodariyah merupakan suatu usaha menyebarkan
paham dinamis dan daya kritis rakyat,
yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai,
bahkan dapat mnggulingkan mereka dari tahta kerajaaan.
2. Doktrin-doktrin
Pokok Qadariyah
Dalam kitab Al Milal wa
An Nihal, masalah Qodariyah disatukan pembahasannya dengan pembahasan tentang
doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang
jelas.[33]
Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qodar kiranya lebih luas dikupas oleh
kalangan Mu’tazilah. Sebab, paham ini dijadikan sebagai salahsatu di antara
doktrin Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai
kemmpuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[34]
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia
berkuasa atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukaan
atau menjahui perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya.[35]
Salah seorang pemuka Qodariyah yang lain, An Nazzam, mengemukakan bahwa manusia
hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mampunyai daya, ia berkuasa atas
segala perbuatannya.[36]
Dari
beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qodariyah pada
dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan
segala peebuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat
jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan
yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan-kajahatan
yang diperbuatannya. Dalam kaitan ini, apabila seseorang diberi ganjaran siksa
dengan balasan neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan
oleh taqdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau salah
yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya.
Paham
takdir dalam pandangan Qodariyah bukan dalam pengertian takdir yang umum
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbauatan-perbauatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal
terhadap dirinya. Dalam paham Qodariyah, takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya berlaku untuk alam istilah Al Qur’an adalah Sunatulloh.[37]
Secara
alamiyah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti
hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip,
seperti dimiliki ikan sehingga dapat berenang di lautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuataan seperti gajah yang mampu membawa barang
beratus kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.
Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat tampil
membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat
dilatih terampil, manusia dapat meniru yang dimiliki ikan sehingga dapat
berenang di lau lepas. Demikian juga, manusia dapat membuat benda lain yang
dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah, bahkan lebih dari
itu. Di sini, terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.
Bahkan, suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui, sejauh mana
kebebasan yang dimiliki manusia, siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia,
atau dengan pertanyaan lain, di mana bataas akhir kreativitas manusia?
Dengan
pemahaman seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuaatan Tuhan.
Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan doktrin Islam.
Banyak
ayat Al Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al Kahf
ayat 29.
“Dan katakanlah
(Muhammad), Kebenaran itu datangnya dar Tuhanmu; barangsiapa menghendaki
(beriman) hendaklah dia beriman dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah
dia kafir...”
Dalam
Surat Ali Imron ayat 165:
“..... Dan mengapa kamu
(heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang Uhud), padahal kamu telah
menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu
berkata, Dari mana datangnya (kekalahan) ini? Katkanlah, itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri...”
Dalam
surat Ar Ro’d ayat 11:
“.... Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri...”
Ayat-ayat yang boleh membawa kepada
paham Qodariyah umpamanya:
Dalam
surat Al Kahfi ayat 29:
“Kebenaran datang dari
Tuhanmu. Siapa yang mau, percayalah ia, siapa yang mau janganlah ia percaya.”
Dalam
surat Fusshilat ayat 40:
“Buatlah apa yang kamu
hendaki, sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.”
Dalam
surat Ali Imron ayat 164:
Bagaimana? Apabila
bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang belipat
ganda (pada kaum musyrik di Badar)
kamu bertanya:”Dari mana datangnya ini?” Jawablah:”Dari kamu sendiri.”
kamu bertanya:”Dari mana datangnya ini?” Jawablah:”Dari kamu sendiri.”
Dalam
surat Al Ro’d ayat 11:
“Tuhan tidak mengubah
apa ada yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka mengubah apa yang ada
pada diri mereka.”
3. Para Pemuka
Qadariyah
a.
Ma’bad
Al Juhani dan Ghailan Al Dimasyqi
Timbulnya paham Qodariyah dalam sejarah
perkembangan teologi Islam tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari
keterangan ahli-ahli teologi Islam, paham Qodariyah tampaknya ditimbulkan
pertama kali oleh Ma’bad Al Juhani dan Ghailan Al Dimasyqi. Menurut Ibnu
Nabatah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham Qodariyah dari seorang penduduk
Islam yang pada mulanya beragama kristen, lalu masuk Islam, dan akhirnya masuk
kristen lagi. Ma’bad Al Juhani mati terbunuh di tangan Al Hajjaj dalam sebuah
pertempuran menentang kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 80 H. Paham ini lalu
dilanjutkan penyiarannya oleh Ghailan di Damscus yang akhirnya mati dihukum
bunuh oleh Hisyam Abdul Malik.
Menurut Ma’bad dan Ghilan bahwa manusia
memiliki kebebasan dalam brtindak atau berbuat, setiap manusia memiliki
kemerdekaan untuk melakukan apa saja, baik buruk sesuai kehendaknya. Paham yang
dibawa oleh Ma’bad dan Ghilan ini dalah paham Qodariyah ekstrim, hal itu
dipahami dari pandangan mereka yang memisahkan campur tangan Tuhan dalam
perbuatan manusia secara muthlaq, dan bahwa manusia bebas dalam segala tindakannya.
b.
Washil
Ibn Atha
Beliau ini bernama lengkap Abu Hudzaifah Washil Ibn
Atha Al Gazzal (tahun 80 sampai 131 H, tau 699 sampai 748 M). Selama di Madinah
Washil belajar agama pada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad Al Hanafiyah,
setelah Abu Hasyim wafat, Washil pindah ke
Bashroh dan belajar pada Imam Al Hasan Al Bashri.
Dalam
pandangan Washil Ibn Atha, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat
berbuat jahat dan bersifat Dzalim. Tuhan tidak mungkin menghendaki agar manusia
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Manusia sendirilah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahat, iman dan
kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya kepada Tuhan. Atas
perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan, untuk itu Tuhan memeberikan
daya kepadanya, tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk
berbuat sesuatu, perintah kepada manusia untuk
berbuat sesuatu, jika manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat.
Beliau wafat dengan meninggalkan karya-karya
intelektual yang cemerlang sebagai tokoh besar pewaris mahdzab Mu’tazilah
dengan meninggalkan beberapa pemikiran yang terangkum dalam kitab-kitab yang
berkembang di masanya di antaranya adalah: al-Manzilah bain al-Mansilatain, Asnaf al-Murjiah, al-Kutub fi al-Tauhid
wa al-Adl dan masih banyak lagi yang belum
sempat disebutkan.
c. Ibrohim
Al Jazzam
Nama lengkapnya adalah Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Nazzam pendiri firqah ’’al-Nazzamiyyah’’ . Dia lahir di Basrah pada tahun 185 H, dan meninggal dalam usia muda pada
tahun 221 H. Literatur mengenai al-Nazhzhan memberikan gambaran tentang dirinya
sebagai orang mempunyai kecerdasan yang lebih besar dari gurunya Abu Huzail. Ia
juga banyak mempunyai hubungan dengan filsafat Yunani.
Dalam membahas soal
keadilan Tuhan, Abu Huzail berpendapat bahwa Tuhan berkuasa untuk berbuat
dzalim tapi mustahil Tuhan bersikap dzalim, karena itu membawa kepada kurang
sempurnanya sifat Tuhan. An Nazzam, berlainan dengan gurunya, ia berpendapat
bahwa bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap dzalim, bahkan Tuhan tidak
berkuasa untuk bertindak dzalim. Tuhan tidak dapat dikatakan Qudrah untuk
berbuat yang salah dan jahat, perbuatan demikian tidak termasuk dalam kekuasaan
Tuhan. Alasan yang dimajukan Al Nazzam ialah bahwa hanya ke dzaliman dilakukan
oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau
oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Tidak mempunyai
pengetahuan dan berhajat adalah sifat yang tidak kekal,dan Tuhan
Maha Suci dari sifat-sifat yang demikian. Oleh karena
itu an-Nazhzhan berpendapat Tuhan tidak bisa dan tidak sanggup berbuat
yang tidak baik, dan seterusnya wajib bagi Tuhan untuk berbuat hanya yang baik
bagi manusia, yaitu apa yang disebut dalam istilah al-S}alah wa al-As}lah,
sehingga ia berpendapat bahwa Tuhan tak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang
telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukan orang yang bukan ahli neraka
ke dalam neraka, dan pula Tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli
surga atau menambah siksaan ahli neraka.
d. Al Jubbay
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Muhammad Abd al-Wahhab al-Jubbai. Ia menimba
ilmu Ibn Yusuf Ya’quf Ibn Abdullah al-Syiham al-Basri dan termasuk mazhab
Mu’tazilah yang masyhur. Ia wafat 295 H. Dan termasuk banyak menulis
kitab-kitab teologi antara lain: Kitab al-Ushul, Kitab Asma wa al-S}ifat,
Kitab al-Nafyi wa al-Istbat, Kitab al-Ta’dil wa al-Tajrir, Kitab al-Lathif,
Kitab al-Tauhid, kitab al-Ru’yat. Dalam kajian tafsir al-Jubbai mempunyai
kitab yang bermazhab Mu’tazilah yang terpenting, seperti Muqaddima al-Tafsir,
Mutasyabihah al-Qur’an.
Al Jubbay dalam menanggapi perbuatan
manusia maenyatakan bahwa sebelum melakukan perbuatan, daya untuk berbuat
sesuatu telah ada dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan daya itu
merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat. Ia menambahkan bahwa
ajaran-ajaran yang dibawa para nabi diperlukan manusia untuk mengenal besarnya
balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya
dapat mengetahui bahwa orang yang patuh kepada Tuhan akan mendapatkan upah dan
bahwa orang yang melawan Tuhan akan mendapatkan hukuman, dan melalui wahtulah
manusia mengetahui berapa besar upah atau hukuman itu.
4. Perkembangan
Qadariyah
Menurut Ahlusunah wal Jama’ah menyakini bahwasanya iman
kepada qodar (takdir).
mekiputi empat perkara:
1. Keyakinan bahwa sesungguhnya Allah maha mengetahui terhadap apa yang telah
dan akan terjadi. Allah mengetahui segala keadaan hamba-hambanya. Allah
mengetahui Rizki, ajal, dan amal perbuatan mereka. Segala urusan gerak mereka
tidak pernah luput dari pengawasan Allah. Firmanya: “Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS. Al Ankabut: 62)
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah
Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala
sesuatu.(qs. At-thalaq: 12)
2. Keyakinan akan adanya catatan Allah tentang apa yang telah di taqdirkan dan
telah diputuskan-Nya.
Allah berfirman:“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang
dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka, dan pada sisi Kamipun ada
kitab yang memelihara (mencatat).(QS. Qaaf:4)
“Dan segala
sesuatu kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS.
Yasin:12)
3. Keyakinan bahwa kehendaknya tidak dapat di ganggu gugat, jika Allah
berkehendak maka jadilah. Dan jika Allah tidak berkehendak maka tidak akan
terjadi. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.(QS. Al-hajj: 18)
“Sesungguhnya keadaan-Nya
apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia.(QS. Yasin: 82).
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila llah. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-insan: 30)
4. Keyakinan bahwa Allah pencita seluruh yang ada, tidak ada pencipta selain
Dia dan tidak ada rabb selain Dia. Allah berfirman.
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia
memelihara segala sesuatu.(QS. Az-zumar: 62)
“Hai manusia, ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki
kepada kamu dari langit dan bumi ?tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah
kamu berpaling (dari ketauhidan)?”(QS. Faathir: 3)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paham al-jabar pertama kali di perkenalkan oleh ja’d bin dirham yang
kemudian
diserbakan oleh jahm bin
shafwan dari khurasan. Dalam sejarah teologi islam, jahm tercatat sebagai tokoh
yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia duduk sebagai
sekertaris suraih bin al-haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan
bani umayah. Akan tetapi, dalam perkembangannya paham al-jabar ternyata tidak
hanya di bawah oleh dua tokoh di atas. Masih banyak tokoh- tokoh lain yang
berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya adalah Al- Husain bin
Muhammad An- Najjar dan Ja’d bin Dhirar.
Qodariyah pertama di
munculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan ghailan Ad- Dimasyqy. Ma’bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada hasan Al-Bisri.
Sementara Ghailan adalah seorang Orator berasal dari Damaskus dan ayahnya
menjadi maula Utsman bin Affan.
B. Saran
Semoga pembahasan yang sedikit ini, dapat
bermanfaat untuk kelompok kami khususnya dan bagi pembaca Semoga umumnya. Kami
juga sangat mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca yang dapat
membangun rasa untuk berfikir positif , agar makalah ini bisa menjadi lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986.
Rozak
Abdul, Ilmu Kalam, Bandung : Cv. Pustaka Setia 2014
[1] L.Mal’uf, Al Munjid Fi Al Lughoh wa Al Alam,
Dar Al Masyriq, Beirut, 1998, hlm.78.
[2] As Syahrastani, Al Milal wa An Nihal, Darul
Fikr, Beirut, hlm.85.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, Cet.V, Jakarta, 1986, hlm.31.
[4] Ibid,
hlm. 33
[5] Ahmad
Amin, Fajr Al Islam, Maktabah An Nahdhah Al Mishriyah li Askhabina Hasan
Muhammad wa Auladihi, Kairo, 1924, hlm. 45.
[6]
Nasution, loc. Cit.
[7]Aziz
Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran
Dalam Islam, Beunebi Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 27-29
[8] Ali
Mushtofa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Kairo, 1958, hlm. 15
[9] Ibid, hlm. 28
[10]
Huwaidhy, Dirasat fi ‘Ilmi Al Kalam wa Al Falsafah Al Islamiyah, Dar Ats
Tsaqofah, Kairo, 1980, hlm. 98.
[11]Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986,
hlm. 37.
[12]
Sahiludin A. Nashir, Pengantar Ilmu Kalam, Rajawali, Jakarta, 1991, hlm. 133
[13] As
Syarashrani, op. Cit, hlm. 85.
[14]
Nasution, op. Cit., hlm. 34.
[15] Ahmad
Amin, op. Cit, hlm. 286-287.
[17]
Nasution, op.,cit., hlm. 35.
[18] Harun
nasution, Ensiklopedia islam indonesia,
Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.522.
[19] Asy- Syahrastani ,op.,cit., hlm.89.
[20] Ibid.
[21]
Nasution, Teologi...., hlm.35.
[22]
As-syahrastani, loc. Cit.
[23] Ibid.
[24] Luwis
Ma’luf Al-Yusu’i, Al-munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut, 1945, hlm.463; lihat
juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Wrintten Arabic. Wlesbanden, hlm.745.
[25] Al-Yusu’i, op.,cit., hlm. 436.
[26]
Nasution, Teologi islam...., hlm.31.
[28] Al-bagdadi, Al-Farq Bain A-Firaq, Maktabah
Muhammad Ali Subeih, Kairo, hlm.18.
[29] Watt, op.,cit.,
hlm.25.
[30] Ibid.,
hlm. 28.
[31] Ignez Goldziher, pengantar Teologi dan Hukum Islam, Terj. Hersri Setiawan, INIS, Jakarta, 1991, hlm.79.
[32] Ahmad Amin, op.cit., hlm. 286.
[33] Al- Syahrastani, op.,cit., hlm. 85.
[34] Ahmad Amin.,op.cit., hlm. 287.
[35] Harun Nasution, Teologi islam..., hlm.31.
[36] Al-Ghurabi, op.,cit, hlm. 201.
[37] M. Yunan Yusuf, Alam pikiran Islam, Jakarta, 1990, hlm. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar