Minggu, 01 Februari 2015

Makalah Jabariya dan Qodariyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang 
  Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat betanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya  semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhangan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju  Penganut islam sudah beragam dan sebagiaanya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dianalisa. Al Syahrastani menyebutkan beberapa prinsip yang yang meruapakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ilmu al kalam yakni berkenaan dengan qodar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama’ kalam membicarakan masalah qodho’ dan qodar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.Dalam makalah ini kami akan membahas tentang aliran Jabariyah dan Qodariyah secara lebih rinci pada bab selanjutnya.
B.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah Makalah ini yaitu :
1.      Latar belakang kemunculan Jabariyah ?
2.      Doktrin-doktrin pokok Jabariyah ?
3.      Latar belakang kemunculan Qodariyah?
4.      Doktrin-doktrin pokok Qodariyah?
5.      Perkembangan Jabariyah Dan Qodariyah ?


C.    Tujuan  
 Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan mencari sumber dari beberapa buku sebagai referensi dan dari mata kuliah ini kami lebih memahami tentang pengetahuan Ilmu Kalam, khususnya pada materi yang kami bahas pada makalah ini. Semoga bermanfaat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  JABARIYAH
1.        Latar Belakang Jabariyah
 Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang berarti memaksa. Didalam Al Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata Jabara yang artinya memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.[1] Dikatakan Allah mempunyai sifat al jabar (dalam bentuk mubalaghoh, artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan Al Insan Majbur (bentuk ) yang berarti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya Kata Jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah Ya Nisbah) artinya adalah  suatu kelompok atau aliran (isme).  Lebih lanjut As Syahrat Tsani menegaskan bahwa paham Al Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah SWT.[2] Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatanya dalam keadaan terpaksa. Dalam Bahasa Inggris (Teologi), Jabariyah dikenal dengan sebutan Fatalism atau Predestination yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qodho’ dan Qodar Tuhan. [3]   Untuk mengetahui  lebih lanjut mengenai asal usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah,  Tampaknya perlu dijelaskan siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebarluaskan paham Al Jabar  serta dalam situasi kepahaman ini muncul.
    Paham Al Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) kemudian disebarkan oleh Jam’ Shafwan (125 H) dari Khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Ja’m sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia duduk sebagai kesekretaris Suraih bin Al Haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah.[4] Dalam perkembanganya Paham Al Jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Dan masih banyak tokoh-tokoh yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, diantaranya adalah Husain bin Muhammad An Najjar dan Ja’d bin Dirar.
   Mengenai Kemunculan faham Al Jabar, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahlinya adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan kehidupan bangsa arab yang dikunkung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. [5]Ketergantungan mereka pada alam sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
   Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Mereka banyak bergantung pada kehendak alam, hal ini membawa mereka pada sikap Fatalisme.[6]                                               Benih-benih faham Al Jabar sudah muncul sebelum kedua tokoh diatas, terlihat dalam peristiwa sejarah sebagai berikut:
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah taqdir Tuhan. Nabi melarang untuk memeperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan bebrapa penafsiran tentang ayat-ayat Al Qur’an mengenai takdir.[7]
b.      Kholifah Umar bin Khottob pernah menagkap sesorang yang ketahuan mencuri, dia diinterogasi pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberi dua jenis hukuman  kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil taqdir Tuhan.[8]
c.       Kholifah Ali bin Abi Tholib seusai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya,” Apabila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan Qodho’ dan Qodar Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutkan menjelaskan sekiranya qodho’ dan qodar merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pula makna janji dan ancaman Tuhan serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujiannya bagi orang-orang yang baik.[9]
d.      Pada pemeintahan daulah Bani Umayah, pandangan tentang Al Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya mmeberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham “Jabariyah”.[10]
Beberapa peristiwa diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Akan tetapi, al jabar sebagai pola pikir atau  aliran yang di anut, di pelajari dan di kembangkan terjadi pada masa pemerintahan daulah bani umayah, yaitu oleh kedua tokoh yang di sebutkan.[11]
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah dalam islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya dipengaruhi oleh pemikiran asing, yaitu pengaruh yahudi bermadzab qurra dan agama kristen bermadzab yacobit.[12] Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al jabar akan muncul dikalangan umat islam. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini,yang berarti:
Dalam surat An An’am ayat 111:
“....Mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki......”
Dalam surat As Shaffat ayat 96:
“padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
Dalam surat Al Anfal ayat 17:
وما رميت اذ رميت ولكن الله رمي
“Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allah lah yang melontar (mereka).”
مااصاب من مصيبة في الارض ولا في انفسكم الا في كتاب من قبل ان تبرأها.
Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kami wujudkan”, (Q.S al-Hadid 57-22).
Terjemahnya : ” Bukanlah engkau melontar ketika engkau melontar, tetapi Allah lah yang melontar, (Q.S al-Anfal 8-17).
وما تشاءون الا ان يشاء الله
”Tidak kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki
(Q.S al-Insan 76-30).
Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran jabariah. Mungkin inilah sebabnya pola pikir jabariyah masih tetap ada di kalangan umat islam hingga kini walaupun anjuranya  telah tiada.

2.    Doktrin-doktrin Pokok Jabariyah
 Menurut As Syahrastani, Jabariyah itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : Eksterm dan Moderat. [13]
Di antara doktrin Jabariyah Eksterm adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau sesorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena qodho’ dan qodar Tuhan yang menghendaki demikian. [14]

3.    Para Pemuka Jabariyah
Diantara pemuka Jabariyah eksterm adalah sebagai berikut:
a.      Jahm bin Shofwan
 Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus bin Shofwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah ( orator). Ia duduk sebagai sekretaris Harist bin Suraist, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.[15]
     Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak uasaha yang dilakukan Jahm, antara lain menyebarkan doktrinnya ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
 Di antara pendapat-pendapat Jahm berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1)      Manusia tidak mampu unuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal dibandingkan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu as sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2)      Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)      Iman dan ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)      Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata di akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah sehingga para pengritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al Mu’tazili, Al Murji’i, dan Al Asy’ari.
b.       Ja’d bin Dirham
   Al Ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim, tinggal di Damaskus. Mereka dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah pikiran-pikirannya yang kontroversial terlihat, Bani Umayah menolaknya sehingga ia harus lari ke Kufah dan bertemu dengan Jahm, yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
  Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al Ghuraby menjelaskannya seebagai berikut:[16]
1)      Al Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
 Berbeda dengan Jabariyah eksterm, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai manusia mempunyai bagia di dalamnya. efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquistion).[17] Menurut paham kasab, manusia tidak Majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang terkendali di tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[18]

Diantara pemuka Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
a.      An Najjar
            Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An Najjaraiyah atau Al Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnaya adalah:
1)      Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut Kasab dalam teori Al Asy’ari.[19]
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada adalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2)      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[20]
b.      Ad Dhirar
   Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain An Najjar, yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagia dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak semata-mata karna terpaksa dalam melakukan perbuatannya.[21] Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[22]
Mengenal ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui “indra keenam”. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah Ijtihad. Hadits Ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[23]

B.  QADARIYAH
1.      Latar Belakang Qadariyah
Qodariyah berasal dari bahasa arab qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan.[24] Menurut pengertian terminologi, Qodariyah adalah aliran yang terpecaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatanya;ia dapat berbuat sesuatau atau meninggalkanya atas kehendak sendiri.[25]Berdasarkan pengertian  tersebut, dapat di pahami bahwa Qodariyah digunakan untuk nama aliran yang memberikan penekanan atas pembebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nation turut menegaskan bahwa kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendakanya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[26]
Qadariah  dalam teologi barat dikenal dengan istilah free will dan free act[27]. Penganut paham Qadariah berpendapat bahwa Allah swt, tidak memaksakan kehendaknya pada manusia dalam mengatur hidupnya, tetapi Allah swt memberikan kepada manusia kemampuan untuk berbuat sesuatu sehingga mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkannya, dan sebagai konsekuensinya manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Adapun ayat-ayat yang membawa kepada paham Qadariah dalam al-Qur’an disebutkan antara lain :
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
”kebenaran datang dari tuhanmu,  siapa yang mau, percayalah ia, siapa yang mau, janganlah ia percaya”, (Q.S al-Kahfi 18-29).
اعملوا ما شئتم انه بما تعملون بصير
”Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu kerjakan”, (al-Fushilat 41) .

ان الله لايغير ما بقوم حتي يغيروا ما بانفسهم
Tuhan tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”, (Q.S al-Ra’ad 13-11).
Sebutan qadariah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan tersebut telah melakat pada aliran yang terpecaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Demikianlah pemahaman kaum sunni pada umumnya. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk pada hadist yang membuat negatif nama Qadariyah.
Hadist ini berarti :
 “kaum qadariyah adalah majusinya umat ini.”
Menurut Ahmad Amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariah pertama dimunculkan oleh Ma’ad Al jauhani (w. 80 H) dan Ghailan ad-Dimasyqy. Ma’ad adalah seorang ta”bai yang dapat di percaya dan pernah berguru kepada hasan Al-Bisri. Sementara, Ghailan adalah seorang arator berasal dari damaskus dan ayahnya menjadi nmaulana Utsman bin Affan
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-uyun,seperti di kutip Ahmad Amin (1886-1954M), .memberi informasi lain bahwa yang pertama kali munculkan faham Qadariyah  adalah orang irak yang semula beragama kristen kemudaian masuk islam dan kembali ke agama kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan ghailan mengambil paham ini. Orang irak yang dimaksud,sebagaimana yang dikatakan muhammmad ibnu Syu’ib yang memperolah informasi dari auzai adalah Susan.[28]
Sementara itu, W.Montgomey Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang di publikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan faham qadariyah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk  Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri Sekitar tahun 700M. Hasan Al Basri (642-728) adalah anak seorang yang berstatus tahanan diirak , lahir di madinah , tetapi pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Apakah Hasan Al-Basri orang Qodariyah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi yang jelas –berdasarkan catatanya yang terdapat dalam Kitab Risalah ini-ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat  baik atau berbuat buruk.[29]
Ma’bad Al-jauhani  dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qodariyah yang hidup setelah Hasan Al Bashri.[30] Apabila dihubungkan dengan keterangan Adz Dzahabi dalam Mizan Al I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al Jauhari pernah belajar kepada Hasan Al Bashri. Jadi, sangat mungkin faham Qodariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam Syarh Al Uyun yang menyatakan bahwa paham Qodariah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali ke Kristen, ada kemungkinan direkayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qodaiyah. Menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu perdebatan tentang butir doktrin “Qodariyah” mencekam pikiran para teolognya.[31]
Berkaitan dengan persoalan pertama kali Qodariyah muncul, penting untuk melirik kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai ini karena ketika itu penganut Qodariyah sangat banyak. Sebagian terdapat di Irak denagn bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al Bashri. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ibn Nabatan bahwa yang mencentuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam dan dari orang ini diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa paham ini muncul di Damascus disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana kholifah.[32]        
Paham Qodariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qodariyah. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam dipengarui oleh paham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka sellau terpaksa mengalah pada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alasan sekelilingnya. Paham itu terus dianut meskipun mereka sudah beragama Islam. Oleh karena itu, ketika paham Qodariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Paham Qodariyah dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan ketika itu menganut paham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pemerintah menganggap gerakan paham Qodariyah merupakan suatu usaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis rakyat, yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bahkan dapat mnggulingkan mereka dari tahta kerajaaan.
2.      Doktrin-doktrin Pokok Qadariyah
 Dalam kitab Al Milal wa An Nihal, masalah Qodariyah disatukan pembahasannya dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang jelas.[33] Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qodar kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah. Sebab, paham ini dijadikan sebagai salahsatu di antara doktrin Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemmpuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[34]
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia berkuasa atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukaan atau menjahui perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya.[35] Salah seorang pemuka Qodariyah yang lain, An Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mampunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.[36]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala peebuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan-kajahatan yang diperbuatannya. Dalam kaitan ini, apabila seseorang diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh taqdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya.
Paham takdir dalam pandangan Qodariyah bukan dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbauatan-perbauatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham Qodariyah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam istilah Al Qur’an adalah Sunatulloh.[37]
Secara alamiyah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip, seperti dimiliki ikan sehingga dapat berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuataan seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia dapat meniru yang dimiliki ikan sehingga dapat berenang di lau lepas. Demikian juga, manusia dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah, bahkan lebih dari itu. Di sini, terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Bahkan, suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia, siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia, atau dengan pertanyaan lain, di mana bataas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuaatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan doktrin Islam.
Banyak ayat Al Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al Kahf ayat 29.
“Dan katakanlah (Muhammad), Kebenaran itu datangnya dar Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir...”
Dalam Surat Ali Imron ayat 165:
“..... Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata, Dari mana datangnya (kekalahan) ini? Katkanlah, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri...”
Dalam surat Ar Ro’d ayat 11:
“.... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...”
            Ayat-ayat yang boleh membawa kepada paham Qodariyah umpamanya:
Dalam surat Al Kahfi ayat 29:
“Kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau, percayalah ia, siapa yang mau janganlah ia percaya.”
Dalam surat Fusshilat ayat 40:
“Buatlah apa yang kamu hendaki, sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.”
Dalam surat Ali Imron ayat 164:
Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang belipat ganda (pada kaum musyrik di Badar)
kamu bertanya:”Dari mana datangnya ini?” Jawablah:”Dari kamu sendiri.”
Dalam surat Al Ro’d ayat 11:
“Tuhan tidak mengubah apa ada yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
3.      Para Pemuka Qadariyah
a.    Ma’bad Al Juhani dan Ghailan Al Dimasyqi
Timbulnya paham Qodariyah dalam sejarah perkembangan teologi Islam tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari keterangan ahli-ahli teologi Islam, paham Qodariyah tampaknya ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad Al Juhani dan Ghailan Al Dimasyqi. Menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham Qodariyah dari seorang penduduk Islam yang pada mulanya beragama kristen, lalu masuk Islam, dan akhirnya masuk kristen lagi. Ma’bad Al Juhani mati terbunuh di tangan Al Hajjaj dalam sebuah pertempuran menentang kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 80 H. Paham ini lalu dilanjutkan penyiarannya oleh Ghailan di Damscus yang akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam Abdul Malik.
Menurut Ma’bad dan Ghilan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam brtindak atau berbuat, setiap manusia memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa saja, baik buruk sesuai kehendaknya. Paham yang dibawa oleh Ma’bad dan Ghilan ini dalah paham Qodariyah ekstrim, hal itu dipahami dari pandangan mereka yang memisahkan campur tangan Tuhan dalam perbuatan manusia secara muthlaq, dan bahwa manusia bebas dalam segala tindakannya.

b.   Washil Ibn Atha
Beliau ini bernama lengkap Abu Hudzaifah Washil Ibn Atha Al Gazzal (tahun 80 sampai 131 H, tau 699 sampai 748 M). Selama di Madinah Washil belajar agama pada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad Al Hanafiyah, setelah Abu Hasyim wafat, Washil pindah ke  Bashroh dan belajar pada Imam Al Hasan Al Bashri.
Dalam pandangan Washil Ibn Atha, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat Dzalim. Tuhan tidak mungkin menghendaki agar manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahat, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya kepada Tuhan. Atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan, untuk itu Tuhan memeberikan daya kepadanya, tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu, perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu, jika manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat.
Beliau wafat dengan meninggalkan karya-karya intelektual yang cemerlang sebagai tokoh besar pewaris mahdzab Mu’tazilah dengan meninggalkan beberapa pemikiran yang terangkum dalam kitab-kitab yang berkembang di masanya di antaranya adalah: al-Manzilah bain al-Mansilatain, Asnaf al-Murjiah, al-Kutub fi al-Tauhid wa al-Adl dan masih banyak lagi yang belum sempat disebutkan.
c.     Ibrohim Al Jazzam
            Nama lengkapnya adalah Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Nazzam pendiri firqah ’’al-Nazzamiyyah’’ . Dia lahir di Basrah pada tahun 185 H, dan meninggal dalam usia muda pada tahun 221 H. Literatur mengenai al-Nazhzhan memberikan gambaran tentang dirinya sebagai orang mempunyai kecerdasan yang lebih besar dari gurunya Abu Huzail. Ia juga banyak mempunyai hubungan dengan filsafat Yunani.
            Dalam membahas soal keadilan Tuhan, Abu Huzail berpendapat bahwa Tuhan berkuasa untuk berbuat dzalim tapi mustahil Tuhan bersikap dzalim, karena itu membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan. An Nazzam, berlainan dengan gurunya, ia berpendapat bahwa bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap dzalim, bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak dzalim. Tuhan tidak dapat dikatakan Qudrah untuk berbuat yang salah dan jahat, perbuatan demikian tidak termasuk dalam kekuasaan Tuhan. Alasan yang dimajukan Al Nazzam ialah bahwa hanya ke dzaliman dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Tidak mempunyai pengetahuan dan berhajat adalah sifat yang tidak kekal,dan Tuhan Maha Suci dari sifat-sifat yang demikian. Oleh karena itu an-Nazhzhan berpendapat Tuhan tidak bisa dan tidak sanggup berbuat yang tidak baik, dan seterusnya wajib bagi Tuhan untuk berbuat hanya yang baik bagi manusia, yaitu apa yang disebut dalam istilah al-S}alah wa al-As}lah, sehingga ia berpendapat bahwa Tuhan tak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukan orang yang bukan ahli neraka ke dalam neraka, dan pula Tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli surga atau menambah siksaan ahli neraka.
d.      Al Jubbay
            Nama lengkapnya ialah Abu Ali Muhammad Abd al-Wahhab al-Jubbai. Ia menimba ilmu Ibn Yusuf Ya’quf Ibn Abdullah al-Syiham al-Basri dan termasuk mazhab Mu’tazilah yang masyhur. Ia wafat 295 H. Dan termasuk banyak menulis kitab-kitab teologi antara lain: Kitab al-Ushul, Kitab Asma wa al-S}ifat, Kitab al-Nafyi wa al-Istbat, Kitab al-Ta’dil wa al-Tajrir, Kitab al-Lathif, Kitab al-Tauhid, kitab al-Ru’yat. Dalam kajian tafsir al-Jubbai mempunyai kitab yang bermazhab Mu’tazilah yang terpenting, seperti Muqaddima al-Tafsir, Mutasyabihah al-Qur’an.
            Al Jubbay dalam menanggapi perbuatan manusia maenyatakan bahwa sebelum melakukan perbuatan, daya untuk berbuat sesuatu telah ada dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat. Ia menambahkan bahwa ajaran-ajaran yang dibawa para nabi diperlukan manusia untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang yang patuh kepada Tuhan akan mendapatkan upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan mendapatkan hukuman, dan melalui wahtulah manusia mengetahui berapa besar upah atau hukuman itu.

4.      Perkembangan Qadariyah
Menurut Ahlusunah wal Jama’ah menyakini bahwasanya iman kepada qodar (takdir).
mekiputi empat perkara:
1.      Keyakinan bahwa sesungguhnya Allah maha mengetahui terhadap apa yang telah dan akan terjadi. Allah mengetahui segala keadaan hamba-hambanya. Allah mengetahui Rizki, ajal, dan amal perbuatan mereka. Segala urusan gerak mereka tidak pernah luput dari pengawasan Allah. Firmanya: Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS. Al Ankabut: 62)
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.(qs. At-thalaq: 12)
2.      Keyakinan akan adanya catatan Allah tentang apa yang telah di taqdirkan dan telah diputuskan-Nya.
Allah berfirman:Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka, dan pada sisi Kamipun ada kitab yang memelihara (mencatat).(QS. Qaaf:4)
“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS. Yasin:12)
3.      Keyakinan bahwa kehendaknya tidak dapat di ganggu gugat, jika Allah berkehendak maka jadilah. Dan jika Allah tidak berkehendak maka tidak akan terjadi. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.(QS. Al-hajj: 18)
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.(QS. Yasin: 82).
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila llah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-insan: 30)
4.      Keyakinan bahwa Allah pencita seluruh yang ada, tidak ada pencipta selain Dia dan tidak ada rabb selain Dia. Allah berfirman.
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.(QS. Az-zumar: 62)
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ?tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?(QS. Faathir: 3)










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Paham al-jabar pertama kali di perkenalkan oleh ja’d bin dirham yang kemudian
diserbakan oleh jahm bin shafwan dari khurasan. Dalam sejarah teologi islam, jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia duduk sebagai sekertaris suraih bin al-haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayah. Akan tetapi, dalam perkembangannya paham al-jabar ternyata tidak hanya di bawah oleh dua tokoh di atas. Masih banyak tokoh- tokoh lain yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya adalah Al- Husain bin Muhammad An- Najjar dan Ja’d bin Dhirar.
Qodariyah pertama di munculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan ghailan Ad- Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada hasan Al-Bisri. Sementara Ghailan adalah seorang Orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman bin Affan.

B.  Saran
Semoga pembahasan yang sedikit ini, dapat bermanfaat untuk kelompok kami khususnya dan bagi pembaca Semoga umumnya. Kami juga sangat mengharapkan saran dan  kritik dari pembaca  yang dapat membangun rasa untuk berfikir positif , agar makalah ini bisa menjadi lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Rozak Abdul, Ilmu Kalam, Bandung : Cv. Pustaka Setia 2014





[1]  L.Mal’uf, Al Munjid Fi Al Lughoh wa Al Alam, Dar Al Masyriq, Beirut, 1998, hlm.78.
[2]  As Syahrastani, Al Milal wa An Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm.85.
[3]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Cet.V, Jakarta, 1986, hlm.31.
[4]  Ibid, hlm. 33
[5] Ahmad Amin, Fajr Al Islam, Maktabah An Nahdhah Al Mishriyah li Askhabina Hasan Muhammad wa Auladihi, Kairo, 1924, hlm. 45.
[6] Nasution, loc. Cit.
[7]Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Beunebi Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 27-29
[8] Ali Mushtofa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Kairo, 1958, hlm. 15
[9] Ibid, hlm. 28
[10] Huwaidhy, Dirasat fi ‘Ilmi Al Kalam wa Al Falsafah Al Islamiyah, Dar Ats Tsaqofah, Kairo, 1980, hlm. 98.
[11]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 37.
[12] Sahiludin A. Nashir, Pengantar Ilmu Kalam, Rajawali, Jakarta, 1991, hlm. 133
[13] As Syarashrani, op. Cit, hlm. 85.
[14] Nasution, op. Cit., hlm. 34.
[15] Ahmad Amin, op. Cit, hlm. 286-287.
[17] Nasution, op.,cit., hlm. 35.
[18] Harun nasution, Ensiklopedia islam indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.522.
[19]  Asy- Syahrastani ,op.,cit., hlm.89.
[20]  Ibid.
[21] Nasution, Teologi...., hlm.35.
[22] As-syahrastani, loc. Cit.
[23] Ibid.
[24] Luwis Ma’luf Al-Yusu’i, Al-munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut, 1945, hlm.463; lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Wrintten Arabic. Wlesbanden, hlm.745.
[25]  Al-Yusu’i, op.,cit., hlm. 436.
[26] Nasution, Teologi islam...., hlm.31.

[28]  Al-bagdadi, Al-Farq Bain A-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo, hlm.18.
[29]  Watt, op.,cit., hlm.25.
[30]  Ibid., hlm. 28.
[31]  Ignez Goldziher, pengantar Teologi dan Hukum Islam, Terj. Hersri  Setiawan, INIS, Jakarta,  1991, hlm.79.
[32]  Ahmad Amin, op.cit., hlm. 286.
[33]  Al- Syahrastani, op.,cit., hlm. 85.
[34]  Ahmad Amin.,op.cit., hlm. 287.
[35]  Harun Nasution, Teologi islam..., hlm.31.
[36]  Al-Ghurabi, op.,cit, hlm. 201.
[37]  M. Yunan Yusuf, Alam pikiran Islam, Jakarta, 1990, hlm. 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar