BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita
ketahui, banyak sekali firqoh-firqoh yang terjadi dalam Agama Islam. Mereka
mengamalkan ajaran yang berbeda-beda dengan mengatas namakan Islam, ajaran ini
jelas ada yang menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya, ajaran yang
mengutamaakan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber utamanya.
Contoh
beberapa aliran yang akan dibahas dalam makalah ini yakni Aliran Mu’tazilah,
dan Aliran Syi’ah. Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang mempergunakan akal
sebagai sumbernya untuk dapat mengetahui Tuhan. Kemudian Aliran Syi’ah yakni
aliran yang membawa doktrin dalam doktrin bahwa segala petunjuk agama bersumber
dari Ahl al-bait . mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para
sahabat yang bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.
Firqoh-firqoh
tersebut dilatar belakangi oleh politik-politik yang kemudian berdampak pada
Agama. Oleh karena itu dirasa perlu untuk memahami syari’at Islam secara
mendalam, apalagi pada zaman modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan secara
taknik terutama dikalangan pelajar.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah Makalah ini yaitu :
1.
Bagaimana latar
brlakang kemunculan Aliran Mu’tazilah ?
2.
Apa saja
doktrin-doktrin Aliran Mu’tazilah ?
3.
Bagaimana
perkembangan Aliran Mu’tazilah ?
4.
Bagaimana latar
belakang kemunculan Aliran Syi’ah ?
5.
Apa saja
doktrin-doktrin Aaliran Syi’ah ?
C. Tujuan
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
dengan mencari sumber dari beberapa buku sebagai referensi dan dari mata kuliah
ini kami lebih memahami tentang pengetahuan Ilmu Kalam khususnya pada materi
yang kami bahas di makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MU’TAZILAH
1. Latar Belakang
Kemunculan Mu’ tazilah
Golongan Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam
pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ Kaum
Rasionalitas Islam”.
Berbagai analisa diajukan tentang
pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temanya ‘Aamr Ibn Ubaid dan Hasan
Al-Basri di Basrah. Waasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan
Hasan Al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertnya
mengenai pendaapatnya tentang oraang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui
kaum Khawarij memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka
Mukmin. Ketika Hasan Al-Basri masih berfiki, Wasil mengeluarkan pendapatnya
sendiri dengan mengatakan: “ saya berpendapat bahwa orang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir”. Kemudian berdiri dan enhjauhkan diri
dari Hasan Al-Basrah pergi ke tempat lain di Masjid, disana ia mengulangi
pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al-Basrah mengatakan ;Wasil
menjauhkan diri dari kita (‘itazala’ anna).”
Dengan demikian ia dan teman-temanya, kata al-Syahrastani, disebut kaum
Mu’tazilah.[1]Menurut
Al-Bagdadi, Wasil dan temannya, ‘Amr ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan
Al-Basri dari maajlisnya karena adaaanya pertikaian antara mereka mengenai
persoalan qodar dan orang-orang yang berdosa besar.2
Al-Mas’ud memberikan keterangan lain yaitu
Mu’tazilah mengambil posisi antara kedua
posisi itu (mukmin dan kaafir) yakni Al-Manzilah
bainal Manzilatain,3 karena kaum Mu’tazilah membuat orang
yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan
kafir.4
Jadi kata “I’tazala” dan “Mu’atazilah”
telah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil fengan Hasan Al- Basrah, dalam arti
golongan yang tiadak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman
mereka.5
C.A.Nallino, seorang orientaliaas
Itaalia mempunyai pendapat bahwa golongan Mu’tazilah kedua memiliki hubungan
erat dengan golongan Mu’tazilah pertama.6
Untuk mengetahui asal-usul nama
Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan
ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara meraka. Yang jelas ialah bahwa
nama Mu’tazilah sebagai designate bagi
aliran teologi rasional dan liberal Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan
Hasan Al-Basri d Basrah dan baahwa lama sebelum terjadinya Basrah itu telah
pula terdapat kata-kata I’tazala al-
Mu’tazilah.tetapi kalau kita kembaali ke ucaapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu
sendiri, akan kita jumpai keterangan-keterangan yang dapat membeli kesimpulan
bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.7
[2]Selanjutnya
mereka menerangkan adanya hadist Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah
menjadi 73 golongan dan yang paling
patuh dan terbaik seluruhnya dari golongan Mu’tazilah.8
Bahkan menurut Al-Murtada kaum
Mu’tazilah sendirilah dan bukan orang yang memeberikan nama itu kepada golonga
mereka.9
2. Doktrin-Doktrin
Mu’tazilah
Ajaran
Wasil mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa
yang disebut sifat Tuhan sebenarnya
bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat Tuhan tetapi
sifat yang merupakan Esensi Tuhan.10
Selanjutnya
Abu Al-Huzail berpendapat bahwa manusia dengan akalnya dapat dan wajib
mengetahui Tuhan.11
Al-Nazzam
berpendapat Mu’tazilah Al-salah wa Al-
Aslah yakni Tuhan tak berkuasa untuk
mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukkan
orang yang bukan ahli neraka kedalam neraka dan tidak pula Tuhan tak berkuasa
untuk mengurangi kesenangan ahli surga dan menambah siksa ahli neraka.12
Hisyam Ibn ‘Amr
al- Fuwati, seoarng pemimpin dari bagdad, mengatakan bahwa surga dan neraka
belum memiliki wujud sekarang karena masa memasuki surga dan neraka belum tiba.
Dengan demikian adanya surga dan neraka tidak ada faedahnya.13
Ajaran-ajaran Mu’tazilah disebut dengan Al-Usul Al-Khomsah atau
pancasila Mu’tazilah.
a.
Al
–Tauhid atau Kemaha Esa-an Tuhan.
Tuhan dalam faham mereka, akan
betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada
yang serupa dengan Dia. Oleh
karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme. Seperti yang
diketahui paham ini menggambarkan Tuhan dekat menyerupai Mahluk-Nya.14
Paham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk
meniadakan sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri
diluar zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh
kaum Mu’tazilah. Kemudian kaum Mu’tazilah memebagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2
golongan :
·
Sifat-sifat yang
merupakan Esensi Tuhan dan disebut sifat
Zatiah. Sifat-sifat ini seperti wujud, kekekalan dimasa lampau ( Al- qidam ), hidup ( al-haya ), kekuasaan ( al-qudroh).
·
Sifat-sifat yang
merupakan perbuatan Tuhan yang disebut sifat
fi’liyah. sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yaang mengaandung
arti hubungan antara Tuhan dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak ( Al-Iradah), sabda ( kalam), keadilan ( Aal-‘Adl
), dst.
b.
Al-
‘Adl aatau keadilan Tuhan
ada
hubungannya denga At-Tuuhid, kalau dengan
At-Tauhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan
mahluk, maka dengan Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari
persamaan dengan perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yaaang berbuat adil, Tuhan
tidak bisa berbuat Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.15
c.
Al-
Wa’d wa Al-Wai’d atau Janji dan Ancaman
Tuhan dapat disebut adil jika Dia tidak
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang
yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi
hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan tuhan.
d.
Al-Manzilah
baina Al-Manzilatain
Posisi dianytara 2 posisi dalam arti
posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir bukan
pula mukmin. Kata mu’min dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama
pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya.
Tetapi predikat kafir tak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa
besar dia masih mengucapkan syahadad dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.
Orang serupa ini jika meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka, hanya
siksaan yang di terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
e.
Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan
berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja,
tetapi oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara
golona-golongan itu adalah pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau
dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan. Sejarah
membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan
ajaran-ajaran mereka.16
Ahmad Amin sendiri berpendapat bahwa
kaum Mu’tazilah golongan Isalam yang pertama memakai yang senjatayang dipergunakan
lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan matrealistis dalam
menangkis serangan-serangan terhadap Islam permulaan kerajaan Bani Abbas.
Ahmad Amin mengatakan bahwa sebenarnya hanya
merekalah yang memikul beban itu.17 Hanya Allah yang mengetahui bahaya apa yang
akan menimpa umat Islam jika sekiranya kaum Mu’tazilah tidak membela Islam diwaktu
itu dan malapetataka terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya Kaum
Mu’tazilah.18
Menurut Al-Khayyat, orang yang diakui
menjadi pengikut Mu’taazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima
dasar itu. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak
dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah.19
3. Perkembangan Mu’tazilah
Menurut Al-Malatti,
Wasil mempunyai 2 murid penting yang masing-masing bernama Bisyr Ibn Sa’id dan
Abu Usman Al-Za’farani. Dari kedua murid inilah 2 pemimpin lainnya, Abu
Al-Huzail Al-‘Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr
sendiri kemudian menjadi pemimpim Mu’tazilah cabang Bagdad.
Al-Huzail
tetap di Basrah ban menjadi pemimpin ke-2 dari cabang Basrah setelah Wasil. Ia
lahir pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H dan banyak berhungan dengan
filsafat Yunani. Pengethuannya tentang filsafat melaapangkan jalan baginya
untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur.20
Salah seorang
dari murid Al-Huzail, yang kemudian menjadi pemuka Mu’tazilah, bernama Ibrahim
Ibn Sayyar Ibn Hani Al-Nazzam.[4]
Literatu mengenai beliau memberikan gambaran tentang dirinya sebagai
keceradasan yang lebih tinngi dari pada gurunya Abu Al-Huzail.21
di zaman modern dan kemajuan Imu
pengetahuan serta teknik sekarang, ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat
rasional itu telah milai timbulkembali dikalangan umat Islam terutama
dikalangan kaum terpelajar. Secara tdak sadar mereka telah mempunyai pahm-paham
yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai paham-paham
yang bermikian tidaklah membuat mereka
keluar dari Islam. Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang
menyimpang dari Islam dan dengan demikian tidak disenangi oleh sebagian umat
Islam terutama di Indonesia. Pandangan tersebut timbul karena kaum Mu’tazilah
dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleah
dengan perantara rasio.
B. SYI’AH
1.
Pengertian dan
Latar Belakang Kemunculan Syi’ah
Syi’ah secara
bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, sedangkan secara
terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam
bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau
di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah
pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl al-bait . mereka
menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-bait
atau para pengikutnya.[5]
Menurut
Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M). Istilah ‘’Syi’ah’’ untuk pertama kalinya
ditujukan pada para pengikut ‘Ali ( Syi’ah Ali), pemimpin pertama Ahl
al-bait pada masa Nabi Muhammad. Para pengikut ‘Ali yang disebut Syi’ah,
diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-Aswad, dan Ammar bin
Yasir.[6]
Mengenai
kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul ke permukaan sejarah pada masa
akhir pemerintahan Utsman bin Affan, selanjutnya Aliran ini tumbuh dan
berkembang pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib.[7]
Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul
ketika berlangsung peperangan antara ‘Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan
perang Shiffin. Dalam peperangan ini sebagai respons atas penerimaan ‘Ali
terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan ‘Ali diceritakan pecah
menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap ‘Ali- disebut Syi’ah – dan kelompok
lain menolak sikap ‘Ali disebut Khawarij.[8]
Berbeda dengan
pandangan di atas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah
berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, karena dalam
pandangan mereka hanya ‘Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi.
Ketokohan ‘Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa hidupnya,. Pada awal kenabian,
ketika Muhammad diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang
pertama-tama menerima adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Pada saat Nabi mengatakan
bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, ‘Ali merupakan orang yang
menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.[9]
Bukti utama
tentang syahnya ‘Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.[10]
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekah
ke Madinah, di padang pasir yang bernama Ghadir Khumm, nabi memilih ‘Ali
sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesak menyertai beliau.[11]
Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menempatkan ‘Ali sebagai pemimpin umum
umat (walyat- i’ammali), tetapi juga menjadikan ‘Ali sebagai Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.[12]
Berlawanan
dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masing terbaring belum
dikuburkan, anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan
persiapan penguburan dan upacara
pemakamanya. Teman-teman dan
pengikut-pengikut ‘Ali mendengar kabar
adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid tempat umat berkumpul
menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas,
bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan
maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu.
Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahl al-bait ,
keluarganya ataupun sahabatnya yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan
sedikitpun tidak memberi tahu mereka. Dengan demikian kawan-kawan ‘Ali
dihadapkan pada suatu keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi ( faith
accompli). [13]
Berdasarkan
realitas itulah, demikian pandangan kaum Syi’ah, kemudian muncul sikap
dikalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum
mayoritas dalam masalah kepercayaan-kepercayaan tertentu. Mereka tetap
berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah ‘Ali.[14]
Mereka berkeyakinan bahwa persoalan kerohanian dan keagamaan harus merujuk
kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya.[15]
Inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah. Akan tetapi lebih dari itu,seperti
dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa
kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sehingga harus diwujudkan.
Perbedaan
pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan suatu yang
wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam islam
yang mulai mencolok pada masa pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang
shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl
al-bait , berpendapat bahwa perpecahan itu mulai ketika Nabi Muhammad SAW
wafat dan kekhalifahanya jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu terbentuklah
Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Khulafaur rasyidin, kelompok Syi’ah
sudah ada. Mereka bergerak kepermukaan mengajarkan dan menyebarkan
doktrin-doktrin Syi’ah kepada
masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik islam yang
bergerak secara terang-terangan , muncul pada masa kekhalifahan ‘Ali bin Abi
Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan diam-diam oleh ahl
al-bait muncul setelah wafatnya Nabi.
Dalam
perkembanganya , selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-bait
dihadapan dinasti Amawiyah dan Abasiyah Syi’ah juga mengembangkan
doktrin-doktrinya. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman
yaitu : tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah); nubuwwah (
kepercayaan kepada kenabian); ma’ad (kepercayaan akan adanya hidu akhirat); imamah
(kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl al-bait); dan
adl (keadilan ilahi). Dalam insklopedi islam indonesia, ditulis
bahwa perbedaan Sunni dan Syi’ah terletak pada doktrin imamah.[16]
Selanjutnya, meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak bisa
mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya
terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan yang terjadi dikalangan Syi’ah,
terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara sekte-sekte Syi’ah adalah
Itsna Asyariah, Sab’iah, Zaidiah, Ghullat.
a.
Syi’ah Itsna
‘Asyariah ( Syi’ah Bua Belas/ Syi’ah Imamiah )
1)
Asal-
Usul Penyebutan Imamiah dan Syi’ah Itsna
‘Asyariah
Dinamakan Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar
aqidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio-politik,[17]
yaitu bahwa ‘Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya kecakapanya atau kemuliaan
akhlaknya, tetepi ia telah ditunjukkan dan pantas menjadi khalifah pewaris
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.[18]
Syi’ah
Itsna ‘Asyariah sepakat bahwa ‘Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad
SAW, seperti yang ditunjukkan Nash. Al-ausiya (penerima wasiat) selain
‘Ali bin Abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah,yaitu Hasan bin ‘Ali
bin Husein bin ‘Ali sebagaimana yang disepakati.[19]
Bagi Syi’ah Itsna ‘Asyariah, Al-ausiya
yang telah dikultuskan setelah husein adalah ‘Ali zainal Abidin, kemudian serta
berturut-turut; Muhammad al-baqir (w. 115H/733 M), Abdullah Ja’far ash-shadiq
(w.148 H/765 M), Musa al khazim (w. 220 H/835 M), ‘ Ali ar-Rida (w. 183 H/799
M), Muhammad Al-Jawwad (w.220 H/835 M), ‘Ali al-hadi (w. 254 H/874 M), Hasan
al-askari dan terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.[20]
Karena pengikut sekte Syi’ah telah berba’iat dibawah imamah dua belas
imam,mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah
Itsna ‘Asyariah ( Itsna ‘Asyariah).
Nama dua belas (Syi’ah Itsna ‘Asyariah) ini mengandung pesan penting
dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini berbentuk setelah lahirnya
semua imam yang berjumlah dua belas, kira-kira pada tahun 260 H/878 M.[21]
2)
Doktrin-
Doktrin Syi’ah Itsna ‘Asyaria
Didalam sekte Syi’ah
Itsna ‘Asyariah dikenal konsep Usul Ad-din. Konsep ini menjadi akar atau
fondasi pragmatisme agama. Konsep usulludin mempunyai lima akar, yaitu sebagai
berikut :[22]
a)) Tauhid (
the devine unity )
Tuhan adalah Esa. Keesaan Tuhan adalah Mutlak. Ia bereksistensi
dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah Qadim. Tuhan maha tahu, maha mendengar, selalu
hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar, dan bebas berkehendak. Tuhan tidak
membutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata biasa.[23]
b)) Keadilan (
the devine justice )
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia
tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan
dan kedhaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak
mampuan, sementara Tuhan adalah maha tahu dan maha kuasa. Segala macam
keburukan dan ketidak mampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.
Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui benar dan
salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran dan
indera lainnya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan
buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudkan dan
bertanggung jawab atas perbuatannya.[24]
c)) Nubuwwah (
apostleship )
makhluk telah diberi insting, secara alami juga masih membutuhkan
petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun manusia. Rasul merupakan petunjuk
hakiki utusan Tuhan yang secara transenden di utus memberika acuan untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk dialam semesta. Dalam keyakinan
Syi’ah Itsna ‘Asyariah, Tuhan telah
mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.[25]
Syi’ah Itsna ‘Asyariah
percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad, dan
tidak ada Nabi atau Rasul setelah Muhammad. Mereka percaya dengan kiamat.
Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an jauh dari tahrif,perubahan atau
tambahan.[26]
d)) Ma’ad ( the last day )
Ma’ad adalah hari terakhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan
Tuhan di akhirat, setiap muslim harus yakin keberdaan hari kiamat dan kehidupan
suci setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah
periode transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.[27]
e)) Imamah (
the devine guidance )
Imamah adalah institusi yang di inagurasikan Tuhan untuk memberikan
petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan di delegasikan kepada
keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rasuk Terakhir.[28]
Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, Syi’ah Itsna ‘Asyariah berpihak pada delapan cabang
agama yang disebut dengan furu’ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri
atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima
dari penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahyu ‘an
al-munkar.
b.
Syi’ah Sab’iah
( Syi’ah tujuh )
1)
Asal-
Usul Penyebutan Syi’ah Sab’iah
Istilah Syi’ah
Sab’iah “ Syi’ah tujuh” dianalogikan
dengan Syi’ah itsna Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte
Syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam.[29]
Tujuh imam itu ialah ‘Ali, Hasan, Husein, ‘Ali zainal Abidin, Muhammad
Al-Baqir, Ja’far As-shodiq, dan Ismail bin Ja’far.[30]
Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah
sabiah disebut juga Syi’ah ismailiyah.[31]
Berbeda dengan
Syi’ah sab’iah, Syi’ah Itsna Asyariah membatalkan Ismail bin Ja’far sebagai
imam ketujuh karena disamping Ismail berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia
wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, Ja’far (w.756). Sebagai gantinya adalah
Musa al-kadhim, adik Ismail.[32]
Syi’ah sab’iah menolak pembatalan di atas berdasarkan sistem pengangkatan imam
dalam Syi’ah dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh dan
sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail.[33]
2)
Doktrin Imamah
dalam pandangan Syi’ah Sab’iah
Para pengikut
Syi’ah sab’iah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti
dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar
tersebut adalah :
a)
Iman
b)
Thaharah
c)
Shalat
d)
Zakat
e)
Saum (puasa)
f)
Haji
g)
Jihad
Berkaitan
dengan pilar (rukun) pertama yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya
sebagai berikut : iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari
kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para Nabi dan Rasul; iman
kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.[34]
Tentang imam
zaman, Syi’ah sab’iah mendasarkan pada sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW. Yang
terjemahan bahasa inggrisnya “ He who dies without knowing of time when
still alive dies in ignorance” ( ia telah wafat dan waktu wafatnya masih
belum diketahui sampai kini). Hadits yang seperti ini juga terdapat dalam sekte
Sunni dan Syi’ah itsna ‘Asyariah, tetapi tidak mencantumkan imam zaman.[35]
Dalam
pandangan kelompok Syi’ah sab’iah, keimanan hanya bisa diterima apabila sesuai
dengan keyakinan mereka, yaitu dengan melalui walayah (kesetiaan) kepada
imam zaman. Imam adalah seorang yang menuntun pada pengetahuan (ma’rifat) dan
dengan pengetahuan tersebut seseorang muslim akan menjadi seorang mukmin yang
sebenar-benarnya. Sab’iah –berbeda dengan Syi’ah dua belas yang meyakini adanya
imam al-Mahdi Al-Muntadzar- berkeyakinan bahwa dibumi akan selalu ada imam.
Hanya imam itu adakalanya tersembunyi (batin) dan ada kalanya menampakan
diri (dzahir).[36]
Ketika imam bersembunyi para dainya harus dzahir (nampak). Sebaliknya apabila
imamnya Dzahir, dainya dapat tersembunyi.[37]
·
Ajaran Syi’ah Sab’iah lainnya
Ajaran ajaran
Sab’iah yang lain pada dasarnya sama dengan ajaran-ajaran sekte-sekte
Syi’ah lainnya. Perbedaanya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek
batin pada setiap yang lahir dan penolakanya terhadap Al-Mahdi Al- Muntazhar.
Menurut
Sab’iah, al-Qur’an memiliki makna batin selain yang lahir. Dikatakan bahwa
segi-segi lahir atau tersurat dari Syari’at itu diperuntukan bagi orang
awam yang kecerdasanya terbatas dan
tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang tertentu mungkin terjadi
ubahan dan peralihan, bahkan penolakan terhadap pelaksanaan syari’at tersebut
karena mendasarkan pada yang batin tersebut. Yang dimaksud dengan orang-orang
tertentu adalah para imam yang memiliki ilmu Dzahir dan ilmu batin.[38]
Mengenai sifat
Allah. Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah meniadakan sifat dari Dzat Allah.
Penetapan sifat menurut Sab’iah merupakan penyerupaan dengan makhluk. [39]
c.
Syi’ah Zaidiah
1)
Asal- Usul
Penamaan Syi’ah Zaidiah
Sekte ini
mengakui Zahid bin ‘Ali sebagai imam V, putra imam IV, ‘Ali zainal Abidin. Ini
berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak Zainal
abidin yang lain, sebagai imam V, dari nama Zahid bin Ali inilah nama Zaidiah
diambil.[40]
Syi’ah Zaidiah merupakan sekte Syi’ah
yang moderat.[41]
Bahkan Abu Zahrah mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiah merupakan sekte yang paling
dekat dengan Sunni.
2)
Doktrin Imamah
menurut Syi’ah Zaidiah
Imamah
sebagaimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara
umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah
Zaidiah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiah menolak
pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW. Telah ditentukan Nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya
ditentukan sifat-sifatnya.ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang
percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas
sebagai imam setelah Nabi wafat karena sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh
orang lain, selain ‘Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bany Hasyim, wara’
(saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa,baik dan membaur dengan
rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.[42]
Dengan doktrin
imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidah sering mengalami krisis
dalam keimaman. Hal ini karena terbukanya kesempatan bagi setiap keturunan ahl
al-bait untuk memproklamasikan dirinya sebagai imam. Ini berbeda dengan Syi’ah
itsna Asyariah yang hanya mengakui keturuna Husein sebagai imam.[43]
Dalam sejarahnya, krisis dalam Syi’ah Zaidiah
disebabkan oleh dua hal. Pertama,
terdapat pemimpin yang memproklamasikan diriya sebagai imam. Kedua,
tidak seorangpun yang memproklamasikan diri atau pantas diangkat sebagai imam.
Dalam menghadapi krisis ini, Zaidiah telah mengembangkan mekanisme pemecahanya,
diantaranya dengan membagi tugas imam pada dua individu, yaitu dalam bidang politik dan dalam bidang ilmu serta keagamaan.[44]
·
Doktrin- doktrin Syi’ah Zaidiah
lainnya
Bertolak dari
Doktrin tentang imamah al-mafdhul , Syi’ah Zaidiah berpendapat bahwa
kekhalifahan Abu bakar dan Umar bin Khattab adalah sah dari sudut pandang
islam. Dalam pandangan Zaidiah, mereka tidak merampas kekuasaan dari ‘Ali bin
Abi Thalib. Dalam pandangan merekapun, jika ahl al-hall wa al-aqd’ telah
memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim meskipun orang yang dipilih itu
tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiah, padahal
mereka telah membaiatnya, keimananya
menjadi sah dan rakyat wajib berbaiad kepadanya.[45]
Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan sorang pun sahabat. Mengenai ini,
Zaid sebagaimana dikutib Abu Zahrah mengatakan.
“ sesungguh nya Ali bin Abi Thalib
adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahanya diserahkan kepada Abu Bakar
karena mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara,
yaitu untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan
yang terjadi pada masa kenabian baru berlalu. Pedang Amir Al mukminin ‘Ali
belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitu pula kedengkian suku
tertentu untuk menuntut balas dendam belum surut. Sedikitpun hati kita tidak
pantas untuk cenderung kesana. Jangan sampai ada lagi leher yang terputus hanya
karena masalah itu. Melaksanakan pandangan inilah yang dinamakan kemaslahatan
bagi orang yang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi
orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk islam, serta yang dekat dengan
Rasulullah.”[46]
Prinsip inilah
yang menurut Abu Zahrah yang menyebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah
Zaidiah. Salah satu implikasinya adalah mengendornya dukungan terhadap zahid
ketika berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul malik (691-743). Hal ini
wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar seta menuduh mereka sebagai perampas hak
kekhalifahan dari tangan Ali.[47]Meskipun
demikian dalam bidang ibadah, Zaidiah tetap cenderung menunjukkan simbol dan
amalan syi’ah pada umumnya.
d.
Syi’ah Ghulat
1)
Asal-
Usul Penamaan Syi’ah Ghula
Istilah “ghulat”
berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw,
artinya “bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi
ekstrem sehingga melampaui batas.[48]
Syi’ah ghulat berartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sifat berlebihan
atau ekstrem. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat)
adalah kelompok yang menempatkan ‘Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang
mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad.[49]
Gelar eksterm
(ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya
yang ganjal, yaitu ada beberapa orang yang secara khusus di anggap Tuhan dan
ada beberapa orang yang dianggap rasul setelah Nabi Muhammad SAW. [50]Selain
itu mereka mengembangkan doktrin-doktrin
ekstrem lainnya, seperti tanasukh, hulul, tasbih, dan ibaha.[51]
2)
Doktrin-
Doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut
Syahratani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh,
bada’, raj’ah dan tasbih.[52]
Moojan momen menambahkanya dengan hulul dan ghaiba.[53] Tanasukh
adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad lain.
Paham ini diambil dari falsafah hindu. Penganut agama hindu berkeyakinan bahwa
roh disiksa dengan cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi
pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan yang lebih
tinggi.[54]
Syi’ah ghulat menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan – seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far- bahwa roh
Allah berpindah ke pada Adam kemudian kepada imam secara turun-temurun.[55]
Bada’ adalah
keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya.
Serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.[56]
Syahrastani menjelaskan bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat mempunyai
beberapa arti, apabila berkaitan dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang
bertentangan dengan yang diketahui Allah. Apabila berkaitan dengan kehendak,
artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum
yang diterapkan-Nya. Apabila berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan
hal lain yang bertentangan dengan perintah sebelumnya.[57]
Paham ini dipilih oleh Al-mukthar ketika mendakwahkan dirinya mengetahui
hal-hal yang akan terjadi , baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya maupun
surat dari imam , jika ia menjajikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu,
lalu hal itu benar-benar terjadi seperti apa yang diucapkannya, dijustifikasi
sebagai bukti kebenaran ucapanya . jika terjadi sebaliknya,ia mengatakan bahwa
Tuhan menghendaki bada’.
Raj’ah ada
hubunganya dengan Mahdiyah, Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa imam Mahdi akan
datang kebumi, paham raj’ah dan mahdiyah merupakan ajaran seluruh Syi’ah. Akan
tetapi, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagia menyatakan
bahwa ‘Ali yang akan kembali. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan Ja’far
ash-shadiq, Muhammad bin Al-hanafiah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar
ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya
menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam
mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan Makhluk. Tasbih diambil dari
paham hululiyah, dan tanasukh dengan khalik.[58]
Hulul artinya Tuhan
berada disetiap tempat. Berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia.[59]
Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam
harus disembah.
Ghayba artinya
menghilangnya imam Mahdi. Ghaiba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa imam mahdi
ada didalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.[60]
Konsep ghaiba pertama kali di perkenalkan oleh Mukhtar ats-tsaqafi tahun 66
H/686 M di khuffah ketika mempropagandakan Muhammad bin Hanafiah sebagai imam
Mahdi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Golongan
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “ Kaum Rasionalitas Islam”.
Adapun
doktrin-doktrin Aliran Mu’tazilah ada 5 yang disebut dengan Al- Usul Al-Khomsah atau pancasila
Mu’tazilah yaitu at-Tauhid, al-‘Adl, al-wa’d wa al-wa’id, al-Manzilah bainal
Manzilatain dan al-Ma’ruf wa an-Nahi Mungkar.
Syi’ah
secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”,
sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim
yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad
SAW. Atau di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin
Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl
al-bait . mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang
bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.
Menurut
Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M). Istilah ‘’Syi’ah’’ untuk pertama kalinya ditujukan
pada para pengikut ‘Ali ( Syi’ah Ali), pemimpin pertama Ahl al-bait pada
masa Nabi Muhammad. Para pengikut ‘Ali yang disebut Syi’ah, diantaranya adalah
Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
B. Saran
Semoga pembahasan
yang sedikit ini, dapat bermanfaat untuk kelompok kami khususnya dan bagi
pembaca Semoga umumnya. Kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang dapat membangun rasa untuk berfikir
positif , agar makalah ini bisa menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution Harun, Teologi
Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Rozak Abdul, Ilmu
Kalam, Bandung : Cv. Pustaka Setia 2014
[1]
Lihat al-Milal, 1/48
2 lihat al-farq, 20-21
4 lihat fajr al-Islam, hlm.290 dst
5 Cf golongan Murji’ah. supra, hlm. 20
6 lihat ‘Adb al-Rahman Badawi, al-Turas al-Yunani Fi Al-hadarah al-Islamiah
(selanjutnyaa disebut al-Turas),
Kairo. 1965, hal.185
7 dikutip dari Nasy’ah, hlm. 430/6
8 Ibd.
9 lihat fi ‘ilm al- kalam, 75/6
10 zat disini dipakai bukan dalam arti yang
dikenal di dalam bhs. Indonesia yaitu benda materi, tetapi dalam arti aslinya yang dipakai dalam bhs.
arab, yaitu Esensi.
11 lihat al-Milal, 1/52
12 lihat al-farq,133
13 lihat Ibid., 73
14 lihat ‘Abd al-Jabbar Ahmad, syrah
al-Usulal-khamsah (selanjutnya disebut al-Usul),
kairo, hlm. 196. dan karena sifat ini yang betul-betul hanya pada tuhan, maka
‘Abd al-Jabbar senantiasa memakai kata al-Qodim, dan bukankata-kata lain
separti designatie Tuhan.
15 al-Usul,123
16 lihat al-farq, 114
17 Duha
al-Islam, III/206
18 Ibid.
19 Ibid.
20 lihat al-
milal, 1/46
21 Al-Milal, 1/54
[5] Hamid dabashi. “ Shi’i Islam, Modern Shi’i
Thuoght”, dalam John L. Esposito, (Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern
Islamic world, Jilid IV, Oxford University Preaa, Oxford, 1995, hlm. 55.
[6] M.H. Thabathaba’i, islam Syi’ah ,
asal-usul dan perkembanganya, Terj. Djohan Effendi, Grafiti Press, Jakarta,
1989, hlm.37 dan 71.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan
Aqidah dalam islam, terj Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, logos,
jakarta, 1996, hlm.34.
[8] W. Montgomery watt, pemikiran teologi dan
filsafat islam, Terj Umar Basalim, P3M, Jakarta, 1987, hlm.10.
[9] Harun Nasution (Ed), Ensiklopedia islam
indonesia, Djambatan, Jakarta 1992 hlm.904.
[10]
Hadits tentang Ghadir Khumm ini terdapat dalam versi sunni ataupun Syi’ah dan
semuanya merupakan hadits shahih . lebih dari seratus sahabat telah
meriwayatkan hadits ini dalam berbagai sanad dan ungkapan . lihat Thabathaba’i,
op.cit. hlm.72
[11] Ibid
[12] Ibid, hlm. 38.
[13] Ibid, hlm. 39-40.
[14] Ada riwayat yang menceritakan bahwa pada
saat-saat akan meninggal, Nabi berkata “sediakanlah tinta sehingga aku
mempunyai sehelai surat tertulis untuk kalian yang akan menyebabkan kalian
mendapat bimbingan dan terhindar dari kesesatan”. Umar mencegah perbuatan itu dengan alasan sakit beliau
gawat. Riwayat ini terdapat dalam tarikh ath-Thabari, jilid II, hlm. 436,
Shahih bukhori, jilid II, dan shahih muslim, jilid V . lihad Ibid,
hlm.72.
[15] Ibid, hlm. 41
[16] Nasution, op,.cit, hlm. 904.
[17] H.M Rasyidi, Apa itu Syi’ah, Pelita,
Jakarta , hlm. 11.
[18] W. Montgomery watt, Islamic political
Thought, Edinburg University Press, Edinburg, 1968, hlm. 43.
[19] Heinz Halm, shi’ism, Edinburg
University Press, Edinburg, 1991, hlm 29.
[20] Zahrah , op.,cit. Hlm. 52.
[21] Ahmad syalabi, sejarah dan kebudayaan
Islam, jilid II , Terj Mukhtar Yahya, pustaka al-husna, Jakarta , 1938 ,
hlm.220; salman Ghaffari; Shia’ism, Haidari Press, Teheran, 1967 hlm. 147.
[22] Ghaffari, op,.cit,. hlm. 41-42
[23] Ibid, hlm. 42-52
[24] Ibid, hlm. 53
[25] Ibid, hlm. 58-59
[26] Ibid, hlm. 4-5
[27] Ibid, hlm. 67-68
[28] Ibid, hlm. 71-74
[29] Halm, op,.cit. 162.
[30] Ahmad salabi, sejarah dan kebudayaan islam,
jilid II, Terj , Mukhtar Yahya, pustaka Al-husna, Jakarta , 1992, hlm, 208
[31] Harun nasution, islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, jilid I, UI
Press, Jakarta, 1985, hlm 100.
[32] Nasution, Ensiklopedi..., op,cit, hlm,
450.
[33] Ibid,
[34] Sami nasib makareem, the doctrine of
ismailis, the arab institute for
reseach and publishing, Beirut, 1972, hlm, 13
[35] Ibid,
[36] Ibrahim Madkour, aliran dan teori filsafat
islam, Bumi aksara, Jakarta, 1995, hlm 95
[37] Muhammas Syahrastani, Al-milal wa An-nihal
, dar al-fikr, beirut, t.t, hlm.192
[38] Thabathaba’i , op.,cit., hlm. 79-83
[39] Syahrastani, op.,cit, hlm. 193.
[40] Ignaz Gotziher, pengantar teologi dan
hukum islam, Ter. Heri setiawan,
INIS, Jakarta 1991, hlm. 121.
[41] Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan
Aqidah dalam islam. Ter. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Logos,
Jakarta, 1996, hlm. 45.
[42] Ibid, hlm. 47.
[43] Golziher, Ensiklopedi, op,cit. Hlm.
212.
[44] Nasution, Ensiklopedi,,,. Op,cit.,
hlm. 998
[45] Zahrah, op.,cit, hlm, 47.
[47] Ibid.
[48] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughaha wa
Al-A’lam, Al-matba’ah Al-katsulikiah Lil Abi Al- Yasulin, Beirut, 1935. Hlm
586.
[49] Zahrah, op.,cit, hlm 39.
[50] Momen., op,cit, hlm 45.
[51] Heinz Halm, Shi’ism, Edinburgh universaity
press, Edinburg, 1991, hlm. 156.
[52] Syahrastani.,op,cit. Hlm. 173.
[53] Momen., op.cit., hlm 66
[54] Zahra., op,cit. hlm 45.
[55] Al-Ghurabi, Tarikh al- firaq Al-islamiyyah
wa Nasy’h ‘ilm kalam ‘Inda almuslimin, Maktabah Muhammad ‘Ali shabih wa
Auladah , t,t , hlm. 228
[56] Zahrah, op,cit, hlm. 44
[58] Ibid, hlm. 173
[59] Ibid, hlm. 175
[60] Abdorahim Gavahi, Islamic Revolution of
Iran, upsala University Press, Sweden, 1988, hlm, 253.
ini baru masuk akal dan ilmiah... Saya sebagai Suni sangat senang denga tulisan ini.
BalasHapus