Senin, 02 Februari 2015

Mu'tazilah dan Syiah



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui, banyak sekali firqoh-firqoh yang terjadi dalam Agama Islam. Mereka mengamalkan ajaran yang berbeda-beda dengan mengatas namakan Islam, ajaran ini jelas ada yang menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya, ajaran yang mengutamaakan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber utamanya.
Contoh beberapa aliran yang akan dibahas dalam makalah ini yakni Aliran Mu’tazilah, dan Aliran Syi’ah. Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang mempergunakan akal sebagai sumbernya untuk dapat mengetahui Tuhan. Kemudian Aliran Syi’ah yakni aliran yang membawa doktrin dalam doktrin bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl al-bait . mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.
Firqoh-firqoh tersebut dilatar belakangi oleh politik-politik yang kemudian berdampak pada Agama. Oleh karena itu dirasa perlu untuk memahami syari’at Islam secara mendalam, apalagi pada zaman modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan secara taknik terutama dikalangan pelajar.
B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah Makalah ini yaitu :
1.      Bagaimana latar brlakang kemunculan Aliran Mu’tazilah ?
2.      Apa saja doktrin-doktrin Aliran Mu’tazilah ?
3.      Bagaimana perkembangan  Aliran Mu’tazilah ?
4.      Bagaimana latar belakang kemunculan Aliran Syi’ah ?
5.      Apa saja doktrin-doktrin Aaliran Syi’ah ?


C.  Tujuan          
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan mencari sumber dari beberapa buku sebagai referensi dan dari mata kuliah ini kami lebih memahami tentang pengetahuan Ilmu Kalam khususnya pada materi yang kami bahas di makalah ini.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.  MU’TAZILAH
1.    Latar Belakang Kemunculan Mu’ tazilah
Golongan Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ Kaum Rasionalitas Islam”.
Berbagai analisa diajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temanya ‘Aamr Ibn Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Waasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertnya mengenai pendaapatnya tentang oraang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka Mukmin. Ketika Hasan Al-Basri masih berfiki, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “ saya berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir”. Kemudian berdiri dan enhjauhkan diri dari Hasan Al-Basrah pergi ke tempat lain di Masjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al-Basrah mengatakan ;Wasil menjauhkan diri dari kita (‘itazala’ anna).” Dengan demikian ia dan teman-temanya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[1]Menurut Al-Bagdadi, Wasil dan temannya, ‘Amr ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan Al-Basri dari maajlisnya karena adaaanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qodar dan orang-orang yang berdosa besar.2
Al-Mas’ud memberikan keterangan lain yaitu Mu’tazilah mengambil posisi  antara kedua posisi itu (mukmin dan kaafir) yakni Al-Manzilah bainal Manzilatain,3 karena kaum Mu’tazilah membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.4
Jadi kata “I’tazala” dan “Mu’atazilah” telah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa  Wasil fengan Hasan Al- Basrah, dalam arti golongan yang tiadak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.5
C.A.Nallino, seorang orientaliaas Itaalia mempunyai pendapat bahwa golongan Mu’tazilah kedua memiliki hubungan erat dengan golongan Mu’tazilah pertama.6
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara meraka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah sebagai designate bagi aliran teologi rasional dan liberal Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri d Basrah dan baahwa lama sebelum terjadinya Basrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala al- Mu’tazilah.tetapi kalau kita kembaali ke ucaapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai keterangan-keterangan yang dapat membeli kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.7
[2]Selanjutnya mereka menerangkan adanya hadist Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan  dan yang paling patuh dan terbaik seluruhnya dari golongan Mu’tazilah.8
Bahkan menurut Al-Murtada kaum Mu’tazilah sendirilah dan bukan orang yang memeberikan nama itu kepada golonga mereka.9
2.      Doktrin-Doktrin Mu’tazilah
Ajaran Wasil mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya  bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat Tuhan tetapi sifat yang merupakan Esensi Tuhan.10
Selanjutnya Abu Al-Huzail berpendapat bahwa manusia dengan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan.11
Al-Nazzam berpendapat Mu’tazilah Al-salah wa Al- Aslah  yakni Tuhan tak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukkan orang yang bukan ahli neraka kedalam neraka dan tidak pula Tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli surga dan menambah siksa ahli neraka.12
Hisyam Ibn ‘Amr al- Fuwati, seoarng pemimpin dari bagdad, mengatakan bahwa surga dan neraka belum memiliki wujud sekarang karena masa memasuki surga dan neraka belum tiba. Dengan demikian adanya surga dan neraka tidak ada faedahnya.13
Ajaran-ajaran Mu’tazilah disebut dengan Al-Usul Al-Khomsah atau
pancasila Mu’tazilah.

a.         Al –Tauhid atau Kemaha Esa-an Tuhan.
Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh
 karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme. Seperti yang diketahui paham ini menggambarkan Tuhan dekat menyerupai Mahluk-Nya.14
Paham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Kemudian kaum Mu’tazilah memebagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2 golongan :
·         Sifat-sifat yang merupakan Esensi Tuhan dan disebut sifat Zatiah. Sifat-sifat ini seperti wujud, kekekalan dimasa lampau ( Al- qidam ), hidup ( al-haya ), kekuasaan ( al-qudroh).
·         Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan yang disebut sifat fi’liyah. sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yaang mengaandung arti hubungan antara Tuhan dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak ( Al-Iradah), sabda ( kalam), keadilan ( Aal-‘Adl ), dst.
b.        Al- ‘Adl aatau keadilan Tuhan
ada hubungannya denga At-Tuuhid, kalau dengan  At-Tauhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan mahluk, maka dengan Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yaaang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.15
c.         Al- Wa’d wa  Al-Wai’d atau Janji dan Ancaman
Tuhan dapat disebut adil jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan tuhan.
  [3]
d.        Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Posisi dianytara 2 posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir bukan pula mukmin. Kata mu’min dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar dia masih mengucapkan syahadad dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang serupa ini jika meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
e.         Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golona-golongan itu adalah pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan. Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.16
Ahmad Amin sendiri berpendapat bahwa kaum Mu’tazilah golongan Isalam yang pertama memakai yang senjatayang dipergunakan lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan matrealistis dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam permulaan kerajaan Bani Abbas.
 Ahmad Amin mengatakan bahwa sebenarnya hanya merekalah yang memikul beban itu.17  Hanya Allah yang mengetahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam jika sekiranya kaum Mu’tazilah tidak membela Islam diwaktu itu dan malapetataka terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya Kaum Mu’tazilah.18         
Menurut Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’taazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah.19
3.      Perkembangan Mu’tazilah        
Menurut Al-Malatti, Wasil mempunyai 2 murid penting yang masing-masing bernama Bisyr Ibn Sa’id dan Abu Usman Al-Za’farani. Dari kedua murid inilah 2 pemimpin lainnya, Abu Al-Huzail Al-‘Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpim Mu’tazilah cabang Bagdad.
Al-Huzail tetap di Basrah ban menjadi pemimpin ke-2 dari cabang Basrah setelah Wasil. Ia lahir pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H dan banyak berhungan dengan filsafat Yunani. Pengethuannya tentang filsafat melaapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur.20
Salah seorang dari murid Al-Huzail, yang kemudian menjadi pemuka Mu’tazilah, bernama Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani Al-Nazzam.[4] Literatu mengenai beliau memberikan gambaran tentang dirinya sebagai keceradasan yang lebih tinngi dari pada gurunya Abu Al-Huzail.21
di zaman modern dan kemajuan Imu pengetahuan serta teknik sekarang, ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional itu telah milai timbulkembali dikalangan umat Islam terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tdak sadar mereka telah mempunyai pahm-paham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai paham-paham yang bermikian tidaklah membuat  mereka keluar dari Islam. Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam dan dengan demikian tidak disenangi oleh sebagian umat Islam terutama di Indonesia. Pandangan tersebut timbul karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleah dengan perantara rasio.
B.  SYI’AH
1.      Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Syi’ah
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl al-bait . mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.[5]
Menurut Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M). Istilah ‘’Syi’ah’’ untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut ‘Ali ( Syi’ah Ali), pemimpin pertama Ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad. Para pengikut ‘Ali yang disebut Syi’ah, diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.[6]
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, selanjutnya Aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib.[7] Watt menyatakan bahwa  Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara ‘Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini sebagai respons atas penerimaan ‘Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan ‘Ali diceritakan pecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap ‘Ali- disebut Syi’ah ­– dan kelompok lain menolak sikap ‘Ali disebut Khawarij.[8]
Berbeda dengan pandangan di atas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, karena dalam pandangan mereka hanya ‘Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Ketokohan ‘Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa hidupnya,. Pada awal kenabian, ketika Muhammad diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Pada saat Nabi mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, ‘Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.[9]
Bukti utama tentang syahnya ‘Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.[10] Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di padang pasir yang bernama Ghadir Khumm, nabi memilih ‘Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesak menyertai beliau.[11] Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menempatkan ‘Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat- i’ammali), tetapi juga menjadikan ‘Ali sebagai  Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.[12]
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masing terbaring belum dikuburkan, anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan  penguburan dan upacara pemakamanya.  Teman-teman dan pengikut-pengikut ‘Ali mendengar  kabar adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahl al-bait , keluarganya ataupun sahabatnya yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberi tahu mereka. Dengan demikian kawan-kawan ‘Ali dihadapkan pada suatu keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi ( faith accompli). [13]
Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum Syi’ah, kemudian muncul sikap dikalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah kepercayaan-kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah ‘Ali.[14] Mereka berkeyakinan bahwa persoalan kerohanian dan keagamaan harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya.[15] Inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah. Akan tetapi lebih dari itu,seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sehingga harus diwujudkan.
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan suatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam islam yang mulai mencolok pada masa pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan  ‘Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait , berpendapat bahwa perpecahan itu mulai ketika Nabi Muhammad SAW wafat dan kekhalifahanya jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Khulafaur rasyidin, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak kepermukaan mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah  kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik islam yang bergerak secara terang-terangan , muncul pada masa kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan diam-diam oleh ahl al-bait muncul setelah wafatnya Nabi.
Dalam perkembanganya , selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-bait dihadapan dinasti Amawiyah dan Abasiyah Syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinya. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman yaitu : tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah); nubuwwah ( kepercayaan kepada kenabian); ma’ad (kepercayaan  akan adanya hidu akhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl al-bait); dan adl (keadilan ilahi). Dalam insklopedi islam indonesia, ditulis bahwa perbedaan Sunni dan Syi’ah terletak pada doktrin imamah.[16] Selanjutnya, meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak bisa mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan yang terjadi dikalangan Syi’ah, terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara sekte-sekte Syi’ah adalah Itsna Asyariah, Sab’iah, Zaidiah, Ghullat.


a.      Syi’ah Itsna ‘Asyariah ( Syi’ah Bua Belas/ Syi’ah Imamiah )
1)      Asal- Usul  Penyebutan Imamiah dan Syi’ah Itsna ‘Asyariah
Dinamakan  Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar aqidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio-politik,[17] yaitu bahwa ‘Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya kecakapanya atau kemuliaan akhlaknya, tetepi ia telah ditunjukkan dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.[18]
Syi’ah  Itsna ‘Asyariah sepakat bahwa ‘Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad SAW, seperti yang ditunjukkan Nash. Al-ausiya (penerima wasiat) selain ‘Ali bin Abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah,yaitu Hasan bin ‘Ali bin Husein bin ‘Ali sebagaimana yang disepakati.[19] Bagi Syi’ah  Itsna ‘Asyariah, Al-ausiya yang telah dikultuskan setelah husein adalah ‘Ali zainal Abidin, kemudian serta berturut-turut; Muhammad al-baqir (w. 115H/733 M), Abdullah Ja’far ash-shadiq (w.148 H/765 M), Musa al khazim (w. 220 H/835 M), ‘ Ali ar-Rida (w. 183 H/799 M), Muhammad Al-Jawwad (w.220 H/835 M), ‘Ali al-hadi (w. 254 H/874 M), Hasan al-askari dan terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.[20] Karena pengikut sekte Syi’ah telah berba’iat dibawah imamah dua belas imam,mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah  Itsna ‘Asyariah ( Itsna ‘Asyariah).
Nama dua belas (Syi’ah  Itsna ‘Asyariah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini berbentuk setelah lahirnya semua imam yang berjumlah dua belas, kira-kira pada tahun 260 H/878 M.[21]
2)      Doktrin- Doktrin Syi’ah Itsna ‘Asyaria
Didalam sekte  Syi’ah  Itsna ‘Asyariah dikenal konsep Usul Ad-din. Konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep usulludin mempunyai lima akar, yaitu sebagai berikut :[22]
a)) Tauhid ( the devine unity )
Tuhan adalah Esa. Keesaan Tuhan adalah Mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah Qadim. Tuhan maha tahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar, dan bebas berkehendak. Tuhan tidak membutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.[23]
b)) Keadilan ( the devine justice )
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kedhaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan, sementara Tuhan adalah maha tahu dan maha kuasa. Segala macam keburukan dan ketidak mampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.
Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui benar dan salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran dan indera lainnya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak  sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.[24]
c)) Nubuwwah ( apostleship )
makhluk telah diberi insting, secara alami juga masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden di utus memberika acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk dialam semesta. Dalam keyakinan Syi’ah  Itsna ‘Asyariah, Tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.[25]
Syi’ah  Itsna ‘Asyariah percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad, dan tidak ada Nabi atau Rasul setelah Muhammad. Mereka percaya dengan kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an jauh dari tahrif,perubahan atau tambahan.[26]
d)) Ma’ad ( the last day )
Ma’ad adalah hari terakhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat, setiap muslim harus yakin keberdaan hari kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.[27]
e)) Imamah ( the devine guidance )
Imamah adalah institusi yang di inagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan di delegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rasuk Terakhir.[28]
Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, Syi’ah  Itsna ‘Asyariah berpihak pada delapan cabang agama yang disebut dengan furu’ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahyu ‘an al-munkar.
b.      Syi’ah Sab’iah ( Syi’ah tujuh )  
1)      Asal- Usul  Penyebutan Syi’ah Sab’iah
Istilah Syi’ah Sab’iah “ Syi’ah tujuh”  dianalogikan dengan Syi’ah itsna Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam.[29] Tujuh imam itu ialah ‘Ali, Hasan, Husein, ‘Ali zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-shodiq, dan Ismail bin Ja’far.[30] Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah sabiah disebut juga Syi’ah ismailiyah.[31]
Berbeda dengan Syi’ah sab’iah, Syi’ah Itsna Asyariah membatalkan Ismail bin Ja’far sebagai imam ketujuh karena disamping Ismail berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, Ja’far (w.756). Sebagai gantinya adalah Musa al-kadhim, adik Ismail.[32] Syi’ah sab’iah menolak pembatalan di atas berdasarkan sistem pengangkatan imam dalam Syi’ah dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail.[33]

2)      Doktrin Imamah dalam pandangan Syi’ah Sab’iah
Para pengikut Syi’ah sab’iah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah :
a)      Iman
b)      Thaharah
c)      Shalat
d)     Zakat
e)      Saum (puasa)
f)       Haji
g)      Jihad
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya sebagai berikut : iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para Nabi dan Rasul; iman kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.[34]
Tentang imam zaman, Syi’ah sab’iah mendasarkan pada sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW. Yang terjemahan bahasa inggrisnya “ He who dies without knowing of time when still alive dies in ignorance” ( ia telah wafat dan waktu wafatnya masih belum diketahui sampai kini). Hadits yang seperti ini juga terdapat dalam sekte Sunni dan Syi’ah itsna ‘Asyariah, tetapi tidak mencantumkan imam zaman.[35]
Dalam pandangan kelompok Syi’ah sab’iah, keimanan hanya bisa diterima apabila sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu dengan melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah seorang yang menuntun pada pengetahuan (ma’rifat) dan dengan pengetahuan tersebut seseorang muslim akan menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Sab’iah –berbeda dengan Syi’ah dua belas yang meyakini adanya imam al-Mahdi Al-Muntadzar- berkeyakinan bahwa dibumi akan selalu ada imam. Hanya imam itu adakalanya tersembunyi (batin) dan ada kalanya menampakan diri (dzahir).[36] Ketika imam bersembunyi para dainya harus dzahir (nampak). Sebaliknya apabila imamnya Dzahir, dainya dapat tersembunyi.[37]
·         Ajaran Syi’ah Sab’iah lainnya
Ajaran ajaran Sab’iah yang lain pada dasarnya sama dengan ajaran-ajaran sekte-sekte Syi’ah lainnya. Perbedaanya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir dan penolakanya terhadap Al-Mahdi Al- Muntazhar.
Menurut Sab’iah, al-Qur’an memiliki makna batin selain yang lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari Syari’at itu diperuntukan bagi orang awam  yang kecerdasanya terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang tertentu mungkin terjadi ubahan dan peralihan, bahkan penolakan terhadap pelaksanaan syari’at tersebut karena mendasarkan pada yang batin tersebut. Yang dimaksud dengan orang-orang tertentu adalah para imam yang memiliki ilmu Dzahir dan ilmu batin.[38]
Mengenai sifat Allah. Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah meniadakan sifat dari Dzat Allah. Penetapan sifat menurut Sab’iah merupakan penyerupaan dengan makhluk. [39]
c.       Syi’ah Zaidiah
1)      Asal- Usul Penamaan  Syi’ah Zaidiah
Sekte ini mengakui Zahid bin ‘Ali sebagai imam V, putra imam IV, ‘Ali zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak Zainal abidin yang lain, sebagai imam V, dari nama Zahid bin Ali inilah nama Zaidiah diambil.[40] Syi’ah Zaidiah  merupakan sekte Syi’ah yang moderat.[41] Bahkan Abu Zahrah mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiah merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.
2)      Doktrin Imamah menurut Syi’ah Zaidiah
Imamah sebagaimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Telah ditentukan Nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya.ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafat karena sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh orang lain, selain ‘Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bany Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa,baik dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.[42]
Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidah sering mengalami krisis dalam keimaman. Hal ini karena terbukanya kesempatan bagi setiap keturunan ahl al-bait untuk memproklamasikan dirinya sebagai imam. Ini berbeda dengan Syi’ah itsna Asyariah yang hanya mengakui keturuna Husein sebagai imam.[43] Dalam sejarahnya, krisis dalam Syi’ah Zaidiah  disebabkan oleh dua hal. Pertama,  terdapat pemimpin yang memproklamasikan diriya sebagai imam. Kedua, tidak seorangpun yang memproklamasikan diri atau pantas diangkat sebagai imam. Dalam menghadapi krisis ini, Zaidiah telah mengembangkan mekanisme pemecahanya, diantaranya dengan membagi tugas imam pada dua individu,  yaitu dalam bidang politik dan dalam  bidang ilmu serta keagamaan.[44]
·         Doktrin- doktrin Syi’ah Zaidiah lainnya
Bertolak dari Doktrin tentang imamah al-mafdhul , Syi’ah Zaidiah berpendapat bahwa kekhalifahan Abu bakar dan Umar bin Khattab adalah sah dari sudut pandang islam. Dalam pandangan Zaidiah, mereka tidak merampas kekuasaan dari ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan merekapun, jika ahl al-hall wa al-aqd’ telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim meskipun orang yang dipilih itu tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiah, padahal mereka telah membaiatnya, keimananya  menjadi sah dan rakyat wajib berbaiad kepadanya.[45] Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan sorang pun sahabat. Mengenai ini, Zaid sebagaimana dikutib Abu Zahrah mengatakan.
“ sesungguh nya Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahanya diserahkan kepada Abu Bakar karena mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara, yaitu untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru berlalu. Pedang Amir Al mukminin ‘Ali belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitu pula kedengkian suku tertentu untuk menuntut balas dendam belum surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas untuk cenderung kesana. Jangan sampai ada lagi leher yang terputus hanya karena masalah itu. Melaksanakan pandangan inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk islam, serta yang dekat dengan Rasulullah.”[46]
Prinsip inilah yang menurut Abu Zahrah yang menyebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah Zaidiah. Salah satu implikasinya adalah mengendornya dukungan terhadap zahid ketika berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul malik (691-743). Hal ini wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar seta menuduh mereka sebagai perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.[47]Meskipun demikian dalam bidang ibadah, Zaidiah tetap cenderung menunjukkan simbol dan amalan syi’ah pada umumnya.
d.      Syi’ah Ghulat
1)      Asal- Usul  Penamaan Syi’ah Ghula
Istilah “ghulat” berasal dari kata  ghala-yaghlu-ghuluw, artinya “bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrem sehingga melampaui batas.[48] Syi’ah ghulat berartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sifat berlebihan atau ekstrem. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan ‘Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad.[49]
Gelar eksterm (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang ganjal, yaitu ada beberapa orang yang secara khusus di anggap Tuhan dan ada beberapa orang yang dianggap rasul setelah Nabi Muhammad SAW. [50]Selain itu mereka mengembangkan doktrin-doktrin  ekstrem lainnya, seperti tanasukh, hulul, tasbih, dan ibaha.[51]



2)      Doktrin- Doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahratani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah dan tasbih.[52] Moojan momen menambahkanya dengan hulul dan ghaiba.[53] Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad lain. Paham ini diambil dari falsafah hindu. Penganut agama hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi.[54] Syi’ah ghulat menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan – seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far- bahwa roh Allah berpindah ke pada Adam kemudian kepada imam secara turun-temurun.[55]
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya. Serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.[56] Syahrastani menjelaskan bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat mempunyai beberapa arti, apabila berkaitan dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Apabila berkaitan dengan kehendak, artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkan-Nya. Apabila berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah sebelumnya.[57] Paham ini dipilih oleh Al-mukthar ketika mendakwahkan dirinya mengetahui hal-hal yang akan terjadi , baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya maupun surat dari imam , jika ia menjajikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti apa yang diucapkannya, dijustifikasi sebagai bukti kebenaran ucapanya . jika terjadi sebaliknya,ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’.
Raj’ah ada hubunganya dengan Mahdiyah, Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa imam Mahdi akan datang kebumi, paham raj’ah dan mahdiyah merupakan ajaran seluruh Syi’ah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagia menyatakan bahwa ‘Ali yang akan kembali. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan Ja’far ash-shadiq, Muhammad bin Al-hanafiah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan Makhluk. Tasbih diambil dari paham hululiyah, dan tanasukh dengan khalik.[58]
Hulul artinya Tuhan berada disetiap tempat. Berbicara dengan semua bahasa  dan ada pada setiap individu manusia.[59] Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
Ghayba artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghaiba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa imam mahdi ada didalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.[60] Konsep ghaiba pertama kali di perkenalkan oleh Mukhtar ats-tsaqafi tahun 66 H/686 M di khuffah ketika mempropagandakan Muhammad bin Hanafiah sebagai imam Mahdi. 




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Golongan Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ Kaum Rasionalitas Islam”.
Adapun doktrin-doktrin Aliran Mu’tazilah ada 5 yang disebut dengan Al- Usul Al-Khomsah atau pancasila Mu’tazilah yaitu at-Tauhid, al-‘Adl,  al-wa’d wa al-wa’id, al-Manzilah bainal Manzilatain dan al-Ma’ruf wa an-Nahi Mungkar.
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl al-bait . mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.
Menurut Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M). Istilah ‘’Syi’ah’’ untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut ‘Ali ( Syi’ah Ali), pemimpin pertama Ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad. Para pengikut ‘Ali yang disebut Syi’ah, diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.



B.  Saran
Semoga pembahasan yang sedikit ini, dapat bermanfaat untuk kelompok kami khususnya dan bagi pembaca Semoga umumnya. Kami juga sangat mengharapkan saran dan  kritik dari pembaca  yang dapat membangun rasa untuk berfikir positif , agar makalah ini bisa menjadi lebih baik.

























DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Rozak Abdul, Ilmu Kalam, Bandung : Cv. Pustaka Setia 2014


[1] Lihat al-Milal, 1/48
2 lihat al-farq, 20-21
3 dikutip dari Ibid,76
4 lihat fajr al-Islam, hlm.290 dst
5 Cf golongan Murji’ah. supra, hlm. 20
6 lihat ‘Adb al-Rahman Badawi, al-Turas al-Yunani Fi Al-hadarah al-Islamiah (selanjutnyaa disebut al-Turas), Kairo. 1965,  hal.185
7 dikutip dari Nasy’ah, hlm. 430/6
8 Ibd.
9 lihat fi ‘ilm al- kalam, 75/6
10  zat disini dipakai bukan dalam arti yang dikenal di dalam bhs. Indonesia yaitu benda materi, tetapi  dalam arti aslinya yang dipakai dalam bhs. arab, yaitu Esensi.
11 lihat al-Milal, 1/52
12 lihat al-farq,133
13 lihat Ibid., 73
14  lihat ‘Abd al-Jabbar  Ahmad, syrah al-Usulal-khamsah (selanjutnya disebut al-Usul), kairo, hlm. 196. dan karena sifat ini yang betul-betul hanya pada tuhan, maka ‘Abd al-Jabbar senantiasa memakai kata  al-Qodim, dan bukankata-kata lain separti designatie Tuhan.
15 al-Usul,123

16 lihat al-farq, 114
17  Duha al-Islam, III/206
18 Ibid.

19 Ibid.
20  lihat al- milal, 1/46
21 Al-Milal, 1/54
[5]  Hamid dabashi. “ Shi’i Islam, Modern Shi’i Thuoght”, dalam John L. Esposito, (Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic world, Jilid IV, Oxford University Preaa, Oxford, 1995, hlm. 55.
[6]  M.H. Thabathaba’i, islam Syi’ah , asal-usul dan perkembanganya, Terj. Djohan Effendi, Grafiti Press, Jakarta, 1989, hlm.37 dan 71.
[7]  Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan Aqidah dalam islam, terj Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, logos, jakarta, 1996, hlm.34.
[8]  W. Montgomery watt, pemikiran teologi dan filsafat islam, Terj Umar Basalim, P3M, Jakarta, 1987, hlm.10.
[9]  Harun Nasution (Ed), Ensiklopedia islam indonesia, Djambatan, Jakarta 1992 hlm.904.
[10] Hadits tentang Ghadir Khumm ini terdapat dalam versi sunni ataupun Syi’ah dan semuanya merupakan hadits shahih . lebih dari seratus sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam berbagai sanad dan ungkapan . lihat Thabathaba’i, op.cit. hlm.72
[11]  Ibid
[12]  Ibid, hlm. 38.
[13]  Ibid, hlm. 39-40.
[14]  Ada riwayat yang menceritakan bahwa pada saat-saat akan meninggal, Nabi berkata “sediakanlah tinta sehingga aku mempunyai sehelai surat tertulis untuk kalian yang akan menyebabkan kalian mendapat bimbingan dan terhindar dari kesesatan”. Umar mencegah  perbuatan itu dengan alasan sakit beliau gawat. Riwayat ini terdapat dalam tarikh ath-Thabari, jilid II, hlm. 436, Shahih bukhori, jilid II, dan shahih muslim, jilid V . lihad Ibid, hlm.72.
[15]  Ibid, hlm. 41
[16]  Nasution, op,.cit, hlm. 904.
[17]  H.M Rasyidi, Apa itu Syi’ah, Pelita, Jakarta , hlm. 11.
[18]  W. Montgomery watt, Islamic political Thought, Edinburg University Press, Edinburg, 1968, hlm. 43.
[19]  Heinz Halm, shi’ism, Edinburg University Press, Edinburg, 1991, hlm 29.
[20]  Zahrah , op.,cit. Hlm. 52.
[21]  Ahmad syalabi, sejarah dan kebudayaan Islam, jilid II , Terj Mukhtar Yahya, pustaka al-husna, Jakarta , 1938 , hlm.220; salman Ghaffari; Shia’ism, Haidari Press, Teheran, 1967 hlm. 147.
[22]  Ghaffari, op,.cit,. hlm. 41-42
[23]  Ibid, hlm. 42-52
[24]  Ibid, hlm. 53
[25]  Ibid, hlm. 58-59
[26]  Ibid, hlm. 4-5
[27]  Ibid, hlm. 67-68
[28]  Ibid, hlm. 71-74
[29]  Halm, op,.cit. 162.
[30]  Ahmad salabi, sejarah dan kebudayaan islam, jilid II, Terj , Mukhtar Yahya, pustaka Al-husna, Jakarta , 1992, hlm, 208
[31]  Harun nasution, islam ditinjau dari berbagai  aspeknya, jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, hlm 100.
[32]  Nasution, Ensiklopedi..., op,cit, hlm, 450.
[33]  Ibid,
[34]  Sami nasib makareem, the doctrine of ismailis, the arab institute for  reseach and publishing, Beirut, 1972, hlm, 13
[35] Ibid,
[36]  Ibrahim Madkour, aliran dan teori filsafat islam, Bumi aksara, Jakarta, 1995, hlm 95
[37]  Muhammas Syahrastani, Al-milal wa An-nihal , dar al-fikr, beirut, t.t, hlm.192
[38]  Thabathaba’i , op.,cit., hlm. 79-83
[39]  Syahrastani, op.,cit, hlm. 193.
[40]  Ignaz Gotziher, pengantar teologi dan hukum islam,  Ter. Heri setiawan, INIS, Jakarta 1991, hlm. 121.
[41]  Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan Aqidah dalam islam. Ter. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Logos, Jakarta, 1996, hlm. 45.
[42]  Ibid, hlm. 47.
[43]  Golziher, Ensiklopedi, op,cit. Hlm. 212.
[44]  Nasution, Ensiklopedi,,,. Op,cit., hlm. 998
[45]  Zahrah, op.,cit, hlm, 47.
[46]  Ibid,  hlm. 42.
[47]  Ibid.
[48]  Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughaha wa Al-A’lam, Al-matba’ah Al-katsulikiah Lil Abi Al- Yasulin, Beirut, 1935. Hlm 586.
[49]  Zahrah, op.,cit, hlm 39.
[50]  Momen., op,cit, hlm 45.
[51]  Heinz Halm, Shi’ism, Edinburgh universaity press, Edinburg, 1991, hlm. 156.
[52]  Syahrastani.,op,cit. Hlm. 173.
[53]  Momen., op.cit., hlm 66
[54]  Zahra., op,cit. hlm 45.
[55]  Al-Ghurabi, Tarikh al- firaq Al-islamiyyah wa Nasy’h ‘ilm kalam ‘Inda almuslimin, Maktabah Muhammad ‘Ali shabih wa Auladah , t,t , hlm. 228
[56]  Zahrah, op,cit, hlm. 44
[57]  Syahrastani, op,cit,  hlm  148-149.
[58]  Ibid, hlm. 173
[59]  Ibid, hlm. 175
[60]  Abdorahim Gavahi, Islamic Revolution of Iran, upsala University Press, Sweden, 1988, hlm, 253.

1 komentar:

  1. ini baru masuk akal dan ilmiah... Saya sebagai Suni sangat senang denga tulisan ini.

    BalasHapus