Kamis, 09 April 2015
Makalah: Pembebasan Intelektual: Di satu hari yang entahkop...
Makalah: Pembebasan Intelektual: Di satu hari yang entahkop...: Makalah: Di satu hari yang entah kopi panas bercerita perna... : Di satu hari yang entah kopi panas bercerita pernah ada suatu negri ber...
Makalah: pemikiran kalam Muhammad Abduh
Makalah: pemikiran kalam Muhammad Abduh: KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingg...
Rabu, 08 April 2015
Pembebasan Intelektual: Di satu hari yang entahkopi panas berceritaperna...
Makalah: Di satu hari yang entah
kopi panas bercerita
perna...: Di satu hari yang entah kopi panas bercerita pernah ada suatu negri bermana Indonesia Indoneeeeeesia....
kopi panas bercerita
perna...: Di satu hari yang entah kopi panas bercerita pernah ada suatu negri bermana Indonesia Indoneeeeeesia....
Makalah: Pertama kali membuat tanaman hidroponik di kampus ...
Makalah: Pertama kali membuat tanaman hidroponik di kampus ...: Pertama kali membuat tanaman hidroponik di kampus Unisda saat semester 4. kalo ndak salah pada bulan maret 2015. mari berinovasi dimanapun...
Minggu, 05 April 2015
Rabu, 04 Februari 2015
pemikiran kalam Muhammad Abduh
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan kami rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikam makalah yang berjudul “ Manusia,Keragaman dan Kesetaraan“
ini dengan sesuai rencana. Makalah ini bertujuan untuk melatih ketajaman
berfikir dan kekompakan dalam kelompok untuk menyatukan beberapa pemikiran yang
berbeda menjadi makalah yang baik
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak H.M. Afif Hasbullah , S.H, S.Ag, M.Hum,
selaku rector universitas islam darul ulum lamongan dan ibu Hidayatus Shobihah,
M.Pd.I selaku pembimbing yang telah banyak memberikan kami pengarahan kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Kami menyadari bahwa makalah ini
belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangatlah
diharapkan, atas kritik dan sarannya kami mengucapkan terima kasih.
Lamongan, 09 Oktober,2014
Tim penyusun
Kelompok 9
DAFTAR
ISI
Halaman Judul……………………………………............................ i
Kata
Pengantar………………………………………….................... ii
Daftar Isi…………………………………………............................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang…………………………………………........ 3
B. Rumusan
Masalah…………………………………............... 3
C. Tujuan Masalah ...................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Syekh Muhammad Abduh
1. Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh
.................... 5
2. Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
............. 8
B.
Sayyid Ahmad Khan
1. Riwayat Hidup Singkat Sayyid Ahmad Khan
.................... 13
2. Pemikiran-pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
............ 15
C.
Muhammad Iqbal
1. Riwayat Hidup Singkat Muhammad Iqbal
......................... 18
2. Pemikiran-pemikiran Klam Muhammad Iqbal
................... 20
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan……………………………… .............................. 25
B.
Saran-saran………………….................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Blakang
Mempelajari
mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari komponen utama rukun iman.
Ketiga komponen itu, yaitu nutqun bi al-lisani (mengucapkan dengan lisan), ‘amalun bi al-arkani (melaksanakan sesuai
dengan rukun-rukun), dan tashdiqun bi al-qalbi (membenarkan dalam hati). Agar
keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya, para ulama dahulu dan telah
melakukan kajian secara mendalam.
Untuk
menjadikan ucapan lisan secara meyakinkan dan kukuh diperlukan ilmunya, yaitu
ilmu tauhid, ilmu yang membahas tentang ketuhanan. Pada gilirannya dengan
perkembangan situasi dan kondisi sosial yang berlaku saatnya, ilmu tauhid telah
berkembang menjadi ilmu kalam. Sementara itu ilmu yang dapat memperkukuh
amalan-amalan iman dinamakan ilmu fiqh. Ilmu fiqh menjelaskan berbagai hal yang
berkaitan dengan amalan-amalan seorang beriman agar keimanannya kuat.
Di antara
amalan itu, yaitu amalan-amalan ibadah mahdhah, seperti shalat,puasa,zakat, dan
berhaji ke baitullah. Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mu’min dapat
memperileh iman yang kuat, para ulama masa lalu mengajarkan ilmu tasawuf.
Dengan ilmu ini, diharapkan iman seorang mukmin mampu meresap ke dalam hati
seseorang mukmin yang terdalam.
Ketiga
komponenilmu itu, dalam kajian ilmu-ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi
kajian utamanya. Hanya, sterssingya terkadang berbeda-beda antara satu wilayah
atau negara dengan wilayah lain atau negara lain. Terkadang di satu wilayah
atau negara, ilmu fiqh dan ilmu kalam di perkuat seperti itu tasawufnya kurang
berkembang. Di wilayah atau negara lain ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf yang
lebih di kembangkan, dengan kurang memperhatikan pengembangan ilmu kalam,atau
berbagai model lagi.
B. Rumusa Masalah
1. Mengkaji pemikiran kalam Muhammad Abduh.
2. Mengkaji pemikiran kalam Ahmad Khan.
3. Mengkaji peikiran kalam Muhammad Iqbal.
C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa mengenal dan mampu memahami
pemikiran kalam Muhammad Abduh.
2. Mahasiswa mengenal dan mampu memahami
pemikiran kalam Ahmad Khan.
3. Mahasiswa mengenal dan mampu memahami
pemikiran kalam Muhammad Iqbal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syekh Muhammad
Abduh
1. Riwayat Hidup
Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad
bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah di lahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten
Al-Buhairah,Mesir, pada tahun 1849 M. Beliau berasal dari keturunan bangsawan. Namun
demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka meberi pertolongan.[1]
Kekerasan yang ditetapkan penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali alam memungut pajak
menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh mulai
dilahirkan dalam kindisi yang penuh kecemasan ini.[2]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Masjid
Al-Ahmadi Tatan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Akan
tetapi, sistem pembelajaran di sana sangat menjengkelkannya sehingga setelah
dua tahun di sana, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani, seperti
saudara-saudara atau kerabatnya. Waktu kembali ke desa, ia di nikahkan saat ia
berumur 16 tahun. Semula ia berkekas untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi
akhirnya kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak
mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas
jasanya, Abduh berkata, “ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the
prison of ignorance) dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan.”[3]
Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan
pamannya, Abduh melanjutkan studi Al-Azhar pada bulan februari 1866.[4]
Pada tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) tiba
di Mesir. Saat itu, Abduh menjadi mahasiswa Al-Azhar. Kehadirannya di sambut
Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiyahnya. Untuk yang selanjutnya,
ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani.
Lalu, Afghani yang mendorong Abduh aktif menulis dalam
bidang sosial dan politik. Artikel-artikel pembaruannya banyak dimuat di surat
kabar Al-Ahram di Kairo.[5]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada
pada tahun 1877 dengan gelar “alim”, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian
da Dar Ulum dan di rumanhya. Tak lama kemudian Al-Afghani diusir dari Mesir
pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan penenyangan terhadap Khadewi
Taufiq, Abduh juga di pandang ikut campur di dalamnya, di buang di Kairo. Pada
tahun 1880 ia di peroleh kembali ke ibu kota kemudian di angkat menjadi
redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyah.
Pada waktu bersamaan, kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi
itu membuat artikel-artikel tentang ugernes nasionl Mesir di samping
berita-berita resmi.[6]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir
dengan kegagalan), Abduh ketika itu masih memimpin surat kaar Al-Waqa’i dituduh
terlibat dalam revolusi besar tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan
untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk
memilih tempat pengasingannya, Ia pun memilih Suriah. Dia menetap selama satu
tahun. Kemudian ia menyusul gurunya, Al-Afghani yang ketika itu berada di
Paris.
Di sana mereka menerbitkan surat kabarAl-‘Urwah Al-Wutsqa
pada tahun 1884. Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan
berfikir dan modern .
Pendapatnya
mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan masalah
furuiyyah. [7] Yang
bertujuan mendirikan Pan Islam serta menentang penjajah Barat, khususnya
Inggris.
Pada Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar
terseut ke inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada
rakyat Mesir.[8]
Tahun 1899, Abduh di angkat menjadi multi Mesir. Kedudukan tinggi iu di
pegangnya ia meniggal dunia tahun 1905.
2. Pemikiran-pemikiran
Kalam Syekh Muhammad Abduh
a. Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus
pemikiran Abduh, sebagai mana yang diakuinya, yaitu:[9]
1) Membebaskan akal pikiran dari
belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama
sebagaimanahak salaf al-ummah (ulama sebelun abad ke-3 Hijrah), sebelum
timbulnya perpecahan , yaitu memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Qur’an.
2) Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik digunakan
dalan percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan
media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh tampanya ia muncul
ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana yang di
jelaskanSayyid Quthb(l. 1906), kondisi umat islamsaat itu di gambarkan sebagai
“suatu masyarakat yang beku,kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad,mengabaikan
peranan akal dalam memahami syariat Allah atau men-istinbat-kan para
hukum-hukum karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang hidup dalam masa
kebekalan akal serta yang berdasarkan khurafat-khutafat.[10]
Atas dasar kedua pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang
sangat besar pada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya,
sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang
lebih tinggi pada akal dari pada Mu’tazilah.[11] Menurut
Abduh , akal dapat hal-hal berikut ini antara lain :
1) Tuhan dan sifat-sifatnya.
2) Keberadaan hidup di akhirat.
3) Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada
tidak mengenal Tuhan dan berbuat jahat.
4) Kewajiban manusia mengenal tuhan.
5) Kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6) Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.[12]
Abduh
berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat
disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan.[13]
7) Wahyu sudah
diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal.
8) Kesalahan dalam
menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan
bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga
mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya,
sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu
pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat
diketahui pula bagaimana fungsiwahyu baginya. Wahyu adalah penolong (al-mu’in).
Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat dan
mengetahui cara beribadah kepada tuhan.[14]
Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk
menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akkal dan informasi. Abduh memandang
bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar islam. Imam seseorang tidak
sempurna apabila tidak didasarkan persadaraan antara akal dan agama. Islam
menurut agama pertama kali mengikat mengikat persaudaraan akal dan agama.
Menurut kepercayaannya, pada eksistensi Tuhan yang didasarkan akal. Wahyu
yang di bawa Nabi tidak mungkin bertentangan degan akal. Apabila ternyata
antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalam
tataran interpretasi sehingga di perlukan interpretasi lain yang mendorong pada
penyesuaian.[15]
b. Kebebasan manusia dan fanalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir,
manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang
harus ada dalam diri manusia. Jika sifat ini di hilangkan dari dirinya sendiri,
ia bukan manusia lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan
akibat perbuatannya yang di lakukuan, kemudian mengambil keputusan dengan
kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada di dalam dirinya.[16]
Karena manusia menurut hukum alam dan
sunnatullah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk mewujudkan
kamauan. Menurutnya, manusia adalah manusia karena ia mempunyai kemampuan
berpikir dan kebebasan dalam memilih.manusia tidak memiliki kebebasan absolut.
Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai
orang yang angkuh.[17]
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat
itu termasuk esensi Tuhan yang lain, menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar
kemampuan manusia untuk mengetahuinya.[18]
d. Kehendak mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebsan dn kemampuan
manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak.
Tuhan telah membatasi kehendak mutlaknya
dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat
dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Ia tidak mungkin
menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkannya. Di dalam kandungannya
arti bahwa Tuhan dengan kemauannya telah membatasi kehendaknya dengan
sunnatullah yan diciptakannya untuk mengatur alam.[19]
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan
kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau
alam bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, melainkan juga dari segi
pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satu pun ciptaan Tuhan tang tidak membawa
manfaat bagi manusia.
Mengenai keadialan Tuhan, ia memandang tidak hanya dari
segi kesempurnaannya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan
tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.[20]
f. Antropomorfisme
Karena itu Tuhan termasuk dalam alam rohani,
rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifatjasmani.
Abduh memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi
dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini.
Kata-kata wajah,tangan dan sebagainya harus di pahami sesuai dengan pengertian
yang diberikan orang Arab kepadanya.
Demikian kata al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan
atau kekuasaan, kata al-kursy berarti pengetahuan.[21]
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya,
apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat di lihat oleh manusia dengan mata
kepalanya pada hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang
percaya pada tanzih sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat di gambarkan
ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugrahkan
hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[22]
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan
yang wajib, Abduh sepaham dengan mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi
Tuhan untuk berbuat yang terbaik untuk manusia.[23]
B. Sayyid Ahmad
Khan (1817-1898)
1. Riwayat Hidup
Singkat Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun
1817 dan menurut kterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi
MuhammadSAW. Melalui Fatimah dan Ali. Neneknya Sayyid Hadi adalah pembesar
istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, beliaumendapat didikan
tradisional dalam pengetahuan agama, disamping juga belajar bahasa Arab dan
bahasa Persia.beliau orang yang rajin
membaca buku dalam berbagai ilmu pengetahuan.[24]
Pada waktu berusia 18 tahun ia bekerja di Serikat
India Timur. Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam
diakui cukup besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad
19, langsung atau tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian
beberapa gerakan masa dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya
termasuk gerakan modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan
modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.[25] kemudian ia bekerja pla sebagai hakim. Pada tahun 1846,
ia pulang kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[26]
Di Delhi ia dapat melihat langsung
peninggalan-peninggalan kejayaan islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan
pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud
Khan, Nawab Aminuddin. Semasa Delhi ia mulai mengarang, karangan yang pertama
yaitu Asar As-Sanadid.
Pada tahun 1855,
ia pindah ke Bijnore,di tempat itu juga ia tetap mengarang buku-buku penting
tentang islam di India. Pada saat melihat keadaan rakyat Delhi, Sayyid Ahmad
Khan sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Msir, tepai ia sadar untuk
memperjuangkan umat islan Iindia menjadi maju.[27] .
Ia berusaha untuk menjadi terjadinya
kekerasan. Usahanya dalam pendidikakan untuk bangsa India sangat besar karena
pada tahun 1861, ia mendirikan sekolah Inggris di Murabadad. Hingga akhir
hayatnya ia mementingkan pendidikan umat Islam India. Pada tahun 1878, ia juga
mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang
merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat
Islam India.[28]
Membentuk All India Muhammadan Educational Conference yang
bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai
pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya seperti
tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862 tentang bible dan Asbab Baghawat
i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad).
Hingga akhir ayatnya beliau selalu
mementingkan pendidikan umat Islam India40) dan meninggal dunia pada tahun
1989.[29]
2. Pemikiran Kalam
Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran
dengan Muhammad Abduh di Mesir setelah berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani
dan sekembalinya dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang
di kemukakannya terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam
pendangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran islam yang taat dam
percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukan segalanyadan
kekuatan akal terbatas yang sifatnya relative.[30]
Keyakinan kekuatan akal dan kekbebasan akal
menjadi Khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan
melakukan perbuatan. Ini berarti ia mempunyai paham yang sama dengan paham
Qadariah.
Menurutnya manusia
di anugrahi Tuhan berbagai macam daya, di antaranya daya pikir berupa akal dan
fisik untuk merealisasikan kehendaknya.[31]
Karena kepercayaanya kuat terhadap hukum alam
kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat
islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani
(1838-1897) menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut,
Jamaluddin mengarang buku yang berjudul Ar-Radd ‘ala Ad-Dahriyyin (Bantahan
terhadap Materialis). Sejalan dengan paham Qadariyah yang dianutnya, ia
menentang keras faham Taqlid.
Khan berpendapat bahwa umat Islam India mundur
karena mereka tidakmengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik
masih menelankan mereka, sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah
timbul di Barat. Peradaban baru timul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat.[32]
Selanjutnya,Kha mengemukakan bahwa Tuhan telah
menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setiap makhluknya yang
tetap dan tidak berubah. Menurut dia Islam adalah agama yang paling sesuai
dengan hukum alam karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah
firmannya, suddah tentu keduanya sejalan dan tidak ada pertentangan.[33]
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan dan
hukum alam, Khan tidak ingin pemikirannya terganggu otoritas hadis dan fiqh. Segala
sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang beretentangan
dengan logika dan hukum alam, Khan tidak ingin pemikirannya terganggu otoritas
dan fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua
yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya ingin mengambil
Al-Qur’an sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain hanya bersifat
membantu dan kurang begitu penting.[34]
Alasan penolakannya terhadap hadis karena
hadis berisi moralitas sosial ari masyarakat islam pada abad pertama dan kedua
sewaktu habis dikumpulkan. Menurutnya, hukum fiqh berisi moralitas masyarakat
sampai saat timbulnya madzhab-madzhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-Qur’an
untuk menguraikan relavasinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[35]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap
taklid, Khan memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk
menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[36]
C. Muhammad Iqbal
(1876-1938)
1.
Riwayat Hidup Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal
lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh dalam beragama.[37]
Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah
maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[38] Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah
bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa
Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore,
sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College,
Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru
besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[39]
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep
pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran
ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam
hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran.
Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada
dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol
peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[40]
Pada tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A. di
Govermen Collage, Iqbal pergi ke Inggris untk belajar filsafat di Universitas
Cambridge.Dua tahun
kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh
gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of
Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[41] Beliau
tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich,
beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The
Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari
ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam
bidang filsafat.[42]
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang
politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian
pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di
London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk
membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit
dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan
beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[43]
2.
Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal
sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang filsuf eksistensial. Oleh karena
itu, kesulitan untuk menemukan pandangan-pandangannya mengenai wacana-wacana
kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia
dan kewajiban-kewajiban Tuhan. Sebagaimana akan terlihat nanti, ia sering
menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari
perlunya umat islam untuk melakukan pembaharuan dalam islam agar dapat keluar
dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam, menurutnya disebabkan kebekuan umat
islam dalam pemikiran dan di tutupnya pintu Ijtihad. Mereka, seperti kaum
konservativf, menolak kebiasaan berpikir rasional kaum mu’tazilah karena hal
tersebut dianggap akan membawa pada disintegrasiumat Islam dan membahayakan
kestabilan politik mereka.[44]
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan
bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan
mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[45]
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus
menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan
ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan
diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia
sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih
global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika
manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad
yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[46]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika
Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan
menjadi ijtihad kolektif. Menurut
beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu
kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat
untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari
umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan
lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.[47]
Sebagaimana
pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat kedalam tiga
tingkatan, yaitu: [48]
·
Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara
praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
·
Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu
dari satu madzhab;
·
Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam
kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri
madzhab.
a. Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi
keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik).
Didalamnya
terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan”[49].
Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali
(penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik. Mu’tazilah sebaliknya terlalu jauh bersandar
pada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan
agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkert merupakan
kesalahan beasar.[50]
b. Pembuktian
Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen
kosmologis[51]
maupun ontologis.[52]
Beliau juga menolak argumen teleologis[53]
yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari
sebelah luar.
Walaupun demikian, beliau menerima landasan
teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak
pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan Whitehead
tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti.
Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya
Bergson,[54]
yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada
perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).[55]
c. Jati diri Manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri
manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat
dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu
diartikan dengan kepribadian.
Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta
menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan
pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa
sehingga fana dengan Allah.[56]
d. Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang
kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif.
Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang
kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran
tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu
naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar,
sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan
“timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih”. “Alah telah
menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menujukkan kepercayaannya
yang besar kepada manusia. Sekarang, kewajiban manusia adalah membenarkan
adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap kemandirian (manusia) melibatkan
pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbaasan
kemandirian. [57]
e. Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat.
Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah
penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu
sifatnya.
Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang
membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan
manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi
berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[58]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam peradaban
Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadi berbagai macam paham dalam
ajaran Islam di mana umat Islam terpecah-pecah dan pemikir kalam yang
bermacam-macam dalam berpaham ajaran Agama Islam. Di antaranya pemikiran kalam
yang terkenal pada masa sekarang adalah :
1. Syehk Muhammad Abduh
2. Muhammad Iqbal
3. Sayyid Ahmad Khan
Bahwasanya faham dan pemikiran
yang dianut Oleh Sayyid Ahmad Khan ada kesamaan dengan faham yamg dianut oleh
Qodariyah, misalnya manusia di anugrahi Tuhan berbagai macam daya diantaranya
fikiran yang berupa akal dan daya fisik untuk merealisasikan kehendak.
Adapun penolakan taqlid oleh Ahmad Khan dikarenakan dapat mengurangi
relevansi Qur’ an dengan masyarakat baru pada zaman tersebut, maka ia memandang
perlu diadakannya ijtihat – ijtihat baru (tajdid) untuk menyesuaikan dalam
peraksis ajaran – ajaran agama Islam dengan situasi, kondisi dan perkembangan
masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan ataupun tajdid dalam
kehidupan mereka
Dan ia mengedepankan rasio ataupun pemikiran-pemikiran,
dan menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam, misalnya
Hadist dan Fiqih di karenakan itu semua adalah esensinya moralitas – moralitas
masyarakat pada zaman abad pertama dalam pengumpulan Hadist tersebut dan adapun
Fiqih yang esensinya tentang moralitas masyarakat berikutnya sampai timbulnya
mazhab – mazhab. Tetapi Sayyid Ahmad Khan tetap mengambil Al-qur’ an sebagai
pedoman, rujukan dan landasan atas ajaran – ajaran agama Islam.
Dari ketiga
tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela
berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di
dunia Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang
sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh
sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran
Islam yang sebenarnya.
B. SARAN
Penulis
berharap agar makalah ini bermamfaat guna menunjang pemahaman terhadap mata
kuliah Ilmu Kalam. Semoga makalah ini bermamfaat bagi pembaca serta penulis
sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna perkembangan kedepan
dalam menyusun makalah kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag, ; Prof. Dr. H. Rosihon
Anwar,M.Ag. 2012,Ilmu
Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia.
http://ainin-ushri.blogspot.com/2009/07/tokoh
ilmu kalam.html.
[1] Quraish Sihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung,
1994, hlm.12; Versi lain mengatakan bahwa Abduh lahir di Mesir Hilir dan
akhirnya menetap di Mahallah Nashr setelah lari dari ancaman para penguasa
muhammad ‘Ali. Lihat Harun Nasution, pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.68
[3] Albert Huorani, Arabic Thought in the Liberal
Age:179-1939, combridge University Press, 1993, hlm. 131. Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, (CV Pustaka Setia: Bandung,
2006), hlm 252.
[4]
Kendatipun Abduh tidak puas dengan sistem pengajaran Al-Azhar, tetapi di
sana ia beruntung dapat berjumpa dengan Syekh Hasan Ath-Thahawi yang
mengajarinya kitab-kitab filsafat Ibn Sina, logika karangan Aristoteles, ddan
lain-lan. Lihat Shihab, op. Cit., hlm. 13.
[5] Huorani, op. Cit,. Hlm. 132; Shihab, op.
Cit., hlm. 14
[7] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara:
Surabaya, 2004), hlm 259.
[8]Di antara tujuan kunjungannya adalah mendiskusikan kemerdekaan Mesir dengan
para diplomat Inggris. Disini pula, Abduh berkenalan dengan Wilfrid Scawen
Blunt, seorang penulis Inggrisyang berpartisipasi atas nasib Mesir..
[15] Patrick Bannerman, Islam in Perspective: a Guide to Islamic Society,
Politics and Law, Routledge London and New York for the Royal Institute Affairs,
London,hlm.132.
[21] Ibd., 80
[25]
Jamil Ahmad. Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus: Jakarta. 2003. Hlm
323-325.
[29]
Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, hlm 257.
[36] Paham Qodariyah dan ide liberal yang dianutnya, mendorong Khan untuk
memberi penafsiran- penafsiran baru bagi
ajaran-ajaran islam
[37] Khalifah
[38]
Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 219-220
[39] Abdul Wahab Azzam,Iqbal: Siratuh wa Falsafah Wa Syi’ruh, Terj. Pustaka,
Bandung, 1985, hml. 17
[40]
Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, hlm 267-268.
[41] Abdul Wahab Azan, Iqbal: Siratuh wa Falsafah
wa Syi’ruh, Terj. Pustaka, Bandung, 1985, hlm 17.
[46] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of
Religion Thought in Islam, Kitap Bravan, New Delhi, 1981, hlm. 92
[48]
http://ainin-ushri.blogspot.com/2009/07/tokoh ilmu kalam.html
[49] Iqbal, op. Cit,. Hlm. 154
[50] Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm.
86-87. Prof.Drs. Abdul Rozak,M.Ag,.prof. Drs. H. Rosihon Anwar, M.Ag,, Ilmu
Kalam, hlm. 263
[51] Argumen kosmologis disebut juga argumen sebab-musabab yang timbul dari
paham bahwa alam bersifat mungkin (contingen) dan bukan bersifat wajib
(necessary) dalam wujudnya. Dengan kata lain, karena alam di jadikan, harus ada
Dzat yang mewujudkannya. Pertama kali di
ajukan oleh Arustoteles (354-322 S.I.), murid Plato. Lihat Haru Nasution,
Falsafah Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 50.
[52] Ontos= sesuatu yang berwujud. Ontologi = teori tentang wujud, tentang
hakikat yang ada. Argumen ontologi tidak banyak berdasarkan alam nyata, sebagai
argumen kosmonologis. Argumen ini berdasarkan logika semata-mata. Pertama kali
di ajukan oleh Plato (428-348 S.I.) dengan teori idenya. Lihat ibd., hlm. 47.
[53] Teolos berarti tujuan; teologis berarti serbatuju. Alam yang serba
teologis, yaitu alam yang diatur menurut sesuatu tujuan tertentu. Dengan kata
lain, alam ini dalam keseluruhannya berevolusi dan beredar pada suatu tujuan
tertentu. Bagian-bagian alam ini mempunyai hubungan yang erat satu dengan
lainnya dan bekerja sama dalam menuju tercapainya suatu tujuan. Lihat Ibd, hlm.
55
[54] Hendri Bergon adalah filsof Prancis yang paling banyak menarik perhatian
pada abad 19-20. Ia dilahirkan pada tahun 1859 di Paris. Ayahnya berasal dari
Polandia. Nama asinya “Brekson”. Salah
satu pokok pikirannya berkaitan dengan waktu dan keberlangsungan. Lihat Heri
Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 104
[55]
Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 223.
[57] H. A. R. Gibb, Aliran-aliran Mosern dalam Islam, Terj. Machun Husein,
Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm. 131-132.
[58]
Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 225.
Langganan:
Postingan (Atom)